Maret 29, 2024
iden

Efek ”Ekor Jas” yang Tak Berpengaruh OLEH RAMLAN SURBAKTI

Apabila anggota DPR dipilih bersamaan dengan pemilihan presiden, siapa anggota DPR yang dipilih akan dipengaruhi oleh siapa calon presiden yang dipilih. Artinya, kalau seorang pemilih memberikan suara kepada pasangan X sebagai presiden dan wakil presiden, maka dalam pemilu anggota DPR, sang pemilih akan memberikan suara kepada partai/calon yang mengusulkan pasangan X tersebut.

Hampir semua pemilih mengikuti dan mengenal para calon presiden (capres) karena jumlah capres sedikit (untuk Indonesia paling banyak lima orang), dan semua capres melaksanakan kampanye di seluruh daerah dan disiarkan semua stasiun televisi serta diberitakan di semua surat kabar, majalah berita, dan internet.

Karena itu, sebagian besar pemilih lebih mampu menentukan pilihan tentang siapa capres yang akan dicoblos daripada menentukan pilihan tentang partai/calon yang akan dicoblos.

Memilih partai/calon lebih sukar karena jumlahnya banyak dan tak melakukan kampanye pemilu secara menyeluruh. Karena itu partai/calon yang akan dicoblos dipengaruhi capres yang dicoblos, yaitu akan mencoblos partai/calon yang mengusulkan capres yang dicoblos. Mekanisme penentuan pilihan seperti itulah yang disebut efek ekor jas (coat-tail effect).

Mengingat pada Pemilu Serentak 2019, baik presiden maupun DPR dipilih pada hari/tanggal dan tempat pemungutan suara (TPS) yang sama, bahkan pada surat suara pilpres tanda gambar partai yang mengusulkan ditempatkan di bawah foto pasangan capres dan cawapres yang diusulkan, maka pertanyaan yang hendak dijawab pada tulisan ini adalah apakah parpol mendapatkan perolehan suara yang signifikan dari tindakan mengusulkan pasangan capres dan cawapres tertentu?

Karena itu, sebagian besar pemilih lebih mampu menentukan pilihan tentang siapa capres yang akan dicoblos daripada menentukan pilihan tentang partai/calon yang akan dicoblos.

Apakah PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan Partai Hanura mendapat suara dalam jumlah signifikan karena mengusulkan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai pasangan capres dan cawapres?

Apakah Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, dan PAN mendapatkan suara dalam jumlah signifikan karena mengusulkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai pasangan capres dan cawapres?

Dari hasil pemilu anggota DPR tahun 2019 yang ditetapkan KPU pada 21 Mei 2019 (sebelum putusan MK tentang perselisihan hasil pemilu umum/PHPU), ternyata PDI-P hanya mengalami kenaikan yang sangat kecil (0,38 persen) pada pemilu anggota DPR tahun 2019 dibandingkan dengan hasil pemilu DPR tahun 2014.

Demikian pula Partai Gerindra hanya mengalami kenaikan yang sangat kecil (0,76 persen) pada pemilu anggota DPR tahun 2019 dibandingkan dengan hasil pemilu DPR pada 2014.

Partai pengusul pasangan Jokowi-Ma’ruf yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah Nasdem, yaitu 2,33 persen, sedangkan partai pengusul pasangan Prabowo-Sandi yang mengalami peningkatan paling tinggi PKS, yaitu 1,42 persen.

Walaupun Nasdem dalam kampanye Pemilu 2019 dengan gencar mendukung Jokowi (salah satu tema kampanye Nasdem: ”Nasdem adalah Jokowi, dan Jokowi adalah Nasdem”), sukar dipastikan apakah peningkatan jumlah suara Nasdem terjadi semata-mata karena mengusulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf karena Nasdem melalui Metro TV bersama setiap calon Nasdem dengan gencar melakukan kampanye.

Singkat kata, ’Ekor Jas’ ternyata tidak berpengaruh secara signifikan.

Tak signifikan

Jumlah suara yang diperoleh 10 parpol pada pemilu anggota DPR pada Pemilu 2019 yang secara resmi mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf mencapai 62,01 persen, sedangkan jumlah suara yang diperoleh pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam pilpres mencapai 55,50 persen. Artinya, terdapat 6,51 persen dari pemilih 10 partai pendukung pasangan 01 (Jokowi-Ma’ruf) yang memilih pasangan 02 (Prabowo-Sandi).

Jumlah suara yang diperoleh enam partai pendukung pasangan Prabowo-Sandi dalam pemilu anggota DPR mencapai 37,98 persen, sedangkan jumlah suara yang diperoleh Prabowo-Sandi dalam pilpres mencapai 44,50 persen.

Dapat diduga sebagian kecil pemilih partai pengusul pasangan Prabowo-Sandi, khususnya PAN dan Partai Demokrat, memberikan suara kepada pasangan calon Jokowi-Ma’ruf.

Kalau semua pemilih enam partai pendukung pasangan Prabowo-Sandi memberikan suara kepada pasangan 02, maka terdapat tambahan sebesar 6,52 persen suara yang diperoleh pasangan 02 dari pemilih sepuluh partai pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Sepuluh partai pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf kehilangan 6,51 persen suara kepada pasangan 02, sedangkan enam partai pendukung pasangan Prabowo-Sandi mendapat tambahan sebesar 6,52 persen dari pemilih sepuluh partai pendukung pasangan 01.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pemilih partai pengusul pasangan 01 mencoblos pasangan 01. Demikian pula sebagian besar pemilih partai yang mengusulkan pasangan 02 mencoblos pasangan calon nomor 02.

Karena itu, tampaknya parpol kian lama semakin tak jadi pertimbangan bagi pemilih dalam memberikan suara untuk memilih anggota DPR ataupun memilih presiden.

Singkat kata, ”Ekor Jas” ternyata tidak berpengaruh secara signifikan. Diduga terdapat dua faktor penyebab. Pertama, sistem pemilu proporsional terbuka yang berpusat pada calon  (candidate-centered) yang digunakan untuk memilih anggota DPR.

Sistem pemilu proporsional terbuka yang digunakan untuk memilih anggota DPR menempatkan para calon anggota DPR sebagai peserta pemilu, dalam arti para calonlah yang paling aktif melakukan segala bentuk kampanye untuk mendapatkan suara.

Sebanyak 7,968 calon anggota DPR dari 16 partai politik peserta pemilu berupaya dengan segala cara kampanye yang mungkin untuk mendapatkan suara dari pemilih.

Bentuk kampanye pemilu yang digunakan para calon bukan rapat umum, pertemuan terbatas, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, pemasangan iklan di media massa ataupun berdebat, melainkan pertemuan tatap muka dari rumah ke rumah.

Yang datang ke rumah pemilih bukan sang calon, melainkan operator lapangan; bahan yang disampaikan kepada pemilih di setiap rumah bukan visi, misi, dan program pasangan capres dan cawapres yang diusulkan partainya ataupun visi, misi, dan program partai, melainkan pesan sang calon.

Pertemuan tatap muka antara sang calon/operator lapangan tidak berisi dialog (misalnya pemilih menyampaikan harapan sedangkan sang calon memberikan tanggapan) melainkan terjadi semacam pertukaran antara sang calon/operator yang memberikan uang dan/atau sembako dengan pemilih yang akan memberikan suara.

Singkat kata, sebagian besar dari 7,968 calon anggota DPR tidak bicara tentang calon presiden yang didukung, tetapi berbicara tentang dirinya sendiri agar dipilih.

Dan kedua,  partai politik peserta pemilu tidak berperan sebagai peserta pemilu dalam arti melakukan kampanye pemilu untuk menyampaikan rencana kebijakan publik yang akan diperjuangkan, dan melakukan kampanye pemilu untuk mendukung pasangan capres dan cawapres yang diusulkan.

Apabila berkomitmen mendukung suatu pasangan capres dan cawapres, setiap partai politik peserta pemilu seharusnya mendukung visi, misi, dan program pasangan calon tersebut, baik yang dimuat dalam visi, misi dan program partai maupun dalam pelaksanaan kampanye pemilu yang dilaksanakan institusi partai ataupun oleh para calon.

Institusi partai tidak hanya telah kehilangan roh, asas, dan ciri suatu partai, tetapi juga tidak melakukan kampanye pada Pemilu Serentak 2019. Padahal, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan KPU memfasilitasi (dengan dana APBN) partai politik peserta pemilu (bukan memfasilitasi calon), dalam bentuk pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye, dan pemasangan iklan kampanye pemilu melalui TV.

Tidak jadi pertimbangan

Pada Pemilu 2019, KPU telah memfasilitasi, tetapi parpol peserta pemilu tak menggunakan kesempatan tersebut secara maksimal untuk menyampaikan asas dan ciri partai dalam wujud rencana kebijakan publik yang akan diperjuangkan.

Parpol sebagai institusi hampir tak tampak pada Pemilu 2019, tak lain karena parpol ”tenggelam” oleh pilpres dan karena parpol dengan ”senang hati” membiarkan para calon mengambil alih sepenuhnya peran sebagai peserta pemilu.

Karena itu, tampaknya parpol kian lama semakin tak jadi pertimbangan bagi pemilih dalam memberikan suara untuk memilih anggota DPR ataupun memilih presiden. Hal itu kalau sebagian besar pemilih sepuluh partai pendukung Jokowi-Ma’ruf mencoblos pasangan 01 bukan karena partai/calon yang dipilih melainkan karena figur Jokowi-Ma’ruf.

Juga bila sebagian besar pemilih enam partai pendukung pasangan 02 mencoblos Prabowo-Sandi bukan karena partai/calon yang dipilih, melainkan karena sosok Prabowo-Sandi.

RAMLAN SURBAKTI, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK PADA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA, SURABAYA, DAN ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2019 di halaman 6 dengan judul “Efek “Ekor Jas” yang Tak Berpengaruh”. https://kompas.id/baca/utama/2019/07/12/efek-ekor-jas-yang-tak-berpengaruh/