November 14, 2024

Electoral College Bukan Gerrymandering

Di dalam artikelnya yang berjudul Electoral College = Gerrymandering?, Usep Hasan Sadikin menjabarkan keberatannya terhadap sistem Electoral College (EC) yang diterapkan di dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS). Keberatan Usep terhadap sistem EC dapat kita ringkas ke dalam tiga poin berikut: (1) pelanggaran terhadap prinsip one person, one vote, one value (OPOVOV), (2) persoalan representasi dan praktek gerrymandering, dan (3) kerentanan terhadap fraud (kecurangan) dan technical error.

Memang, setelah pelaksanaan pemilu presiden AS pada 8 November kemarin, banyak orang mulai memperbincangkan sistem EC. Pasalnya, banyak pihak yang kecewa: Hillary Clinton kalah dari Donald Trump meskipun beliau memenangkan lebih banyak suara (popular vote) ketimbang Trump.

Sistem EC memang sebuah sistem pemilihan presiden yang menafikan keunggulan suara terbanyak dalam skala nasional. Presiden terpilih bisa saja bukan merupakan kandidat yang memenangkan suara terbanyak (popular vote), karena kemenangan kandidat ditentukan oleh jumlah suara elektoral (electoral vote).

Jumlah suara elektoral adalah jumlah perwakilan pemilih (elector) yang didapatkan oleh kandidat dengan memenangkan popular vote di setiap negara bagian. Masing-masing negara bagian di AS memiliki sejumlah elector yang bertugas melantik presiden terpilih.

Jadi, ketika pemilih di AS memberikan suara mereka di dalam sebuah pilpres, pada hakekatnya mereka sedang memilih sejumlah perwakilan yang akan melantik presiden terpilih, di mana presiden terpilih adalah kandidat yang mendapatkan paling banyak elector dari seluruh negara bagian (untuk lebih jelas, silakan baca artikel berikut: http://rumahpemilu.org/id/3197-2/).

Tepat pada poin inilah keberatan Usep yang pertama, yakni soal prinsip OPOVOV. Bagi para penganut prinsip OPOVOV seperti Usep, sistem pemilihan tidak langsung seperti di dalam EC ala AS ini tidak demokratis, karena menafikan suara-suara pemilih perorangan yang, berdasarkan prinsip OPOVOV, harus benar-benar diperhitungkan dan haram untuk diabaikan.

Keberatan ini bisa dimaklumi. Mungkin Usep tidak memahami spirit sesungguhnya dari Konstitusi AS. Sejak awal, para founding fathers Amerika Serikat tidak pernah memaksudkan negara mereka untuk menganut sistem demokrasi murni (pure democracy). Jika kita baca baik-baik Konstitusi AS, para founding fathers seperti George Washington, Thomas Jefferson, dan James Madison, menginginkan negara mereka menjadi sebuah republik, di mana rakyat (the people) di masing-masing negara bagian diwakili oleh anggota Senat dan House of Representative.

Tidak sekalipun disebutkan bahwa sistem pemerintahan di AS harus ditentukan berdasarkan prinsip satu orang satu suara. Inilah alasannya kenapa negara bagian seperti Montana yang hanya punya sekitar 883.000 penduduk memiliki jumlah senator yang sama dengan California yang berpenduduk 33 juta orang. Keadilan yang diinginkan para founding fathers AS adalah keadilan melalui sistem perwakilan, bukan melalui besaran jumlah massa atau gerombolan (mob).

Jadi, ada perbedaan cara pandang antara Usep dengan para founding fathers Amerika Serikat terkait soal “representasi yang adil”.

Keberatan Usep yang kedua, mengenai gerrymandering, ini saya tidak dapat maklumi. Atau mungkin saya gagal memahami keberatan Usep. Gerrymandering, secara definisi, adalah praktek curang dengan cara memanipulasi wilayah daerah pemilihan untuk keuntungan kandidat atau partai tertentu. Sebagai contoh, suatu wilayah berpopulasi mayoritas beragama Islam dibuat menjadi satu daerah pemilihan (dapil) tersendiri untuk memenangkan partai-partai Islam.

Sistem EC sendiri memiliki preseden konstitusional. Di dalam Pasal II, Bagian 1, Klausul 2 dari Konstitusi AS, dikatakan bahwa “masing-masing negara bagian menunjuk Sejumlah Electors, dalam jumlah yang sama dengan anggota Senat dan anggota Representatives di Kongres…”. Jadi, untuk dapat mengatakan bahwa sistem EC adalah sistem gerrymandering, Usep harus dapat membuktikan bahwa para pembuat konstitusi AS memang sengaja menerapkan EC sebagai privilese bagi kelompok-kelompok tertentu.

Di dalam artikelnya, Usep menyebut bahwa sistem EC merupakan buah dari intervensi kekuasaan yang keberatan terhadap pengaruh populasi budak kulit hitam dan perempuan. Memang, dalam sejarahnya, sistem EC ini lebih banyak menguntungkan negara bagian konservatif yang memiliki jumlah populasi lebih sedikit. Namun, patut dipahami bahwa dukungan terhadap sistem ini justru untuk menghindari dominasi mayoritarianisme di negara bagian berpopulasi padat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di tingkat federal.

Pada poin ini, saya justru sangat mengagumi sistem EC dan demokrasi perwakilan di AS. Melalui sistem EC (plus bikameralisme dan pemisahan tiga cabang pemerintahan eksekutif), warga AS memiliki mekanisme check and balances yang lebih ketat daripada sistem pemerintahan mana pun di seluruh dunia. Kekuasaan politik benar-benar tersebar (dispersed) ke berbagai institusi sehingga tidak ada satu pun partai yang mampu mendominasi pemerintahan secara total.

Keberatan Usep yang ketiga, mengenai kerentanan sistem EC terhadap fraud dan technical error, membuat saya lebih bingung lagi. Tidak ada pelaksanaan pemilu yang sempurna. Saya yakin Usep juga tahu itu. Maka saya heran jika kemudian Usep merujuk pemilu presiden AS tahun 2000 untuk membuktikan kecacatan sistem EC.

Pilpres tahun 2000 adalah Pilpres pertama setelah sekian lama di mana pemenangnya tidak mendapatkan popular vote mayoritas. Terakhir, kejadian semacam ini terjadi tahun 1888, lebih dari seratus tahun sebelumnya. Maka tidak heran jika kemudian banyak gugatan dan tuntutan pemilu ulang, serta investigasi yang lebih teliti dari pihak penyelenggara pemilu. Apalagi George W. Bush, presiden terpilih, hanya menang dengan margin tipis dari Al Gore di swing state Florida. Dengan banyaknya tuntutan dan investigasi yang lebih mendalam, jelas akan ditemukan lebih banyak kejanggalan dan kecurangan di Pilpres tahun 2000 ketimbang Pilpres-Pilpres yang lainnya.

Di sini Usep sudah melakukan selective bias, yakni kecenderungan untuk memilih-milih fakta dan bukti yang hanya menyokong asumsinya sendiri. Untuk lepas dari selective bias, tidak perlu jauh-jauh sebetulnya. Usep bisa merujuk pada Pilpres AS tahun 2016 ini. Kejadian yang sama terulang: Donald Trump, presiden terpilih, memenangi pemilu tanpa mendapatkan popular vote mayoritas. Berbeda dengan tahun 2000, nyaris tidak ada laporan soal kecurangan atau technical error di Pilpres 2016 ini. Kenapa Usep tidak menggunakan fakta ini untuk menyangkal asumsinya bahwa sistem EC rentan kecurangan?

Di dua artikelnya mengenai EC, Usep menggunakan film berjudul Recount sebagai contoh bagaimana sistem EC lebih rentan kecurangan daripada sistem pemilihan berbasis OPOVOV (popular vote). Sayangnya, Usep tampaknya gagal membaca subtext yang secara implisit dibawa oleh film tersebut.

Melalui film Recount, kita justru dapat melihat bahwa sistem EC merupakan sistem pemilihan yang lebih praktis ketimbang sistem pemilihan berbasis popular vote, terutama ketika terjadi konflik terkait hasil akhir pemilu. Mengapa begitu?

Sebagaimana ditulis oleh Richard Posner, melalui sistem EC, setiap tuntutan pemilu ulang (akibat gugatan atau ketidakpercayaan terhadap hasil akhir pemilu) hanya akan perlu dilaksanakan di negara-negara bagian yang tidak memiliki tradisi pemenangan terhadap satu partai tertentu, atau yang biasa disebut sebagai swing states. Hal ini membuat praktek pemilu ulang menjadi lebih praktis, efektif, dan efisien.

Akan berbeda halnya jika kemenangan kandidat ditentukan berdasarkan jumlah popular vote terbanyak. Di dalam situasi semacam itu, kandidat yang kalah memiliki insentif lebih besar untuk meminta pelaksanaan pemilu ulang di sebanyak mungkin negara bagian, termasuk di District of Columbia. Ini membuat urusan penyelesaian konflik pasca-pemilu menjadi berlarut-larut dan berpotensi melahirkan konflik baru. Sebagaimana terjadi di Indonesia, tempat di mana prinsip satu orang satu suara disanjung-sanjung sedemikian rupa.

 

DJOHAN RADY

Aktivis Rumah Pemilu, seorang libertarian, pendukung republikanisme.