October 8, 2024

Fadli Ramadhanil: Hukuman Pidana Percobaan Sudah Berkekuatan Hukum Tetap

Terpidana hukuman percobaan bisa maju di pilkada. Rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak mengubah kesimpulan soal legalitas terpidana dengan hukuman percobaan untuk maju pilkada.

Komisi II menilai putusan hukuman percobaan belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Putusan itu baru berkekuatan hukum tetap setelah hukuman percobaan dilalui. Terpidana hukuman percobaan juga biasanya tak mendapat hukuman penahanan karena biasanya hanya melakukan tindak pidana ringan.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), status terpidana hukuman percobaan tidak boleh menghilangkan hak untuk dipilih. Pasal 14c ayat 3 menekankan, terpidana hukuman percobaan tidak boleh dikurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitiknya.

Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum terpidana dengan hukuman percobaan ini? Apakah dia berhak untuk mencalonkan diri jadi kepala daerah? Simak wawancara mendalam Rumah Pemilu dengan Fadli Ramadhanil, peneliti hukum pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) (31/8).

Mengapa terpidana dengan hukuman percobaan tak boleh mencalonkan diri jadi kepala daerah?

Syarat jadi calon kepala daerah itu tidak boleh orang yang berstatus terpidana—orang yang menjalani masa pemidanaan terkait tuduhan tindak pidana. Itu ada di logika yang sama dengan syarat calon kepala daerah itu tidak boleh bebas bersyarat karena statusnya masih terpidana

Terpidana adalah orang yang diputus bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkuatan tetap. Dia menjalani proses pidana karena dia sudah terbukti kesalahannya. Itu terpidana. Kalau orang yang dikenai pidana percobaan itu statusnya terpidana. Jadi tidak mungkin dia berstatus terpidana tapi dia memenuhi syarat calon kepala daerah.

Putusan percobaan itu begini: menjatuhkan pidana penjara pada Fulan, misalnya, sekian tahun pidana penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Selama masa 12 bulan itu, dia ada prasyarat tertentu yang diberikan padanya, misalnya wajib lapor, tidak boleh melanggar ketertiban, tidak boleh ke luar negeri, dan lain-lain. Tapi mengenai status, yang bersangkutan terpidana. Dia menjalani masa pidana atas kesalahan yang dilakukan. Dalam konteks terpidana itu, ia tak bisa memenuhi syarat calon kepala daerah.

Hukuman pidana percobaan dinilai belum berkekuatan hukum tetap…

Tidak ada hubungannya pidana percobaan dengan putusan pengadilan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap). Itu beda. Pidana percobaan itu adalah bentuk putusan hakim yang memberi pidana pada seseorang. Itu jenis pemidanaan. Dia dijatuhkan pidana sekian tahun, tapi percobaan sekian bulan.

Putusan inkracht itu ada dua sebabnya. Pertama, kalau di putusan tingkat pertama itu si terpidana tidak melakukan upaya hukum banding atau kasasi atau jaksa tidak melakukan upaya hukum banding atau kasasi. Maka inkracht lah putusannya karena ada batasan waktu 14 hari, seingat saya, sejak diucapkan. Tidak boleh ada upaya hukum setelah itu.

Kedua, kalau putusan pengadian diucapkan oleh lembaga yang boleh memeriksa pendagadilan itu yang paling tinggi. Mahkamah Agung lazimnya atau di pidana pemilu itu pengadilan tinggi. Itu adalah lembaga yg diberi wewenang upaya terakhir. Setelah itu final dan inkracht. Ini dua hal yang berbeda pidana percobaan dan kekuatan hukum tetap.

KUHP Pasal 14c ayat 3 menekankan terpidana hukuman percobaan tidak boleh dikurangi kemerdekaan berpolitiknya…

Syarat tidak berstatus terpidana itu kan lebih pada bagaimana regulasi pilkada memberi pengaturan tentang sistem pencalonan. Analoginya saya punya hak mencalonkan diri sebagai presiden tapi ada prasyarat lain misalnya saya berusia 35. Itu kan mengatur. Bahwa ia berimplikasi terhadap hak orang kan tidak berarti menghilangkan, tapi menunda untuk menciptakan sistem bernegara yang lebih adil.

Itu lebih pada fungsi negara membangun sistem pencalonan kepala daerah yang berpihak pada prinsip demokrasi dan keadilan yang muaranya menciptakan sistem pencalonan yang jujur serta kepala daerah yang berintegritas. Jadi bukan membatasi dan mengurangi hak dia, tapi bagaimana mengatur. Kalau status terpidananya selesai, dia sudah selesai menjalani masa pidananya, silakan kalau mau nyalon.

Berarti, tidak membolehkan dia mencalonkan diri tidak mengurangi kemerdekaan berpolitik?

Tidak. Kalau memilih kan boleh. Tidak ada persoalan. Kalau dia aktif di partai atau dia buat partai ya silakan saja. Berpolitik kan luas, tidak hanya mencalonkan jadi kepala daerah.

Kalau mencalonkan diri jadi kepala daerah, dia harus mengacu pada syarat pencalonan. Dia boleh jadi calon kepala daerah tapi selesai dulu masa pemidanaannya. Dan itu kan tidak hanya di UU pilkada. Jangankan jadi kepala daerah, daftar PNS pun tak boleh. Kan harus dibuktikan surat keterangan berkelakuan baik. Terpidana tak mungkin dapat itu. []