Draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang diajukan Komisi II DPR kepada Badan Legislasi DPR masih berupa variasi pasal-pasal yang mencerminkan belum ditemukannya kesepakatan pengaturan soal isu-isu krusial. Pimpinan Komisi II DPR mendorong agar variasi itu dapat disinkronkan Badan Legislasi dengan mengacu pada berbagai opsi yang ada di dalam draf. Desakan ini tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan karena pembulatan norma oleh Baleg dikhawatirkan akan menjadi bola panas yang menyulitkan Baleg secara politis.
Draf RUU Pemilu yang diserahkan Komisi II DPR, Senin (16/11/2020), kepada Baleg DPR terdiri dari 741 pasal dan 6 buku. Dari pasal-pasal itu, sejumlah isu krusial menyangkut kepentingan dan eksistensi partai politik (parpol), seperti parliamentary threshold (ambang batas penghitungan kursi parlemen), presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden), district magnitude (jumlah kursi setiap daerah pemilihan), keserentakan pemilu, sistem pemilu, dan metode konversi suara, harus dibuat dalam variasi dan alternatif-alternatif norma. Masing-masing parpol memiliki kepentingan dan sikap.
Draf RUU Pemilu yang diserahkan Komisi II DPR, Senin (16/11/2020), kepada Baleg DPR, terdiri dari 741 pasal dan 6 buku.
Sebagai contoh, dalam pengaturan parliamentary threshold (PT), ada tiga variasi berkembang. Variasi pertama diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menginginkan agar PT ditetapkan berjenjang, yakni 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPR provinsi, dan 3 persen untuk DPR kabupaten/kota. Adapun tiga parpol, yakni Gerindra, Nasdem, dan Golkar, mengusulkan PT naik menjadi 7 persen.
Bedanya, untuk penghitungan tingkat provinsi dan kabupaten/kota, baik Nasdem maupun Golkar mengusulkan agar semua parpol diikutkan dalam penghitungan suara sehingga tidak ada ambang batas. Sementara itu, Gerindra mengusulkan ambang batas bagi DPR provinsi dan kabupaten/kota sama besarnya dengan tingkat nasional, yakni 7 persen.
Variasi lain diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengajukan PT 5 persen yang berlaku baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mengusulkan PT 5 persen, tetapi ketentuan yang sama tidak perlu ada untuk provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sama-sama mengusulkan PT tetap 4 persen dan hanya berlaku untuk DPR RI.
Variasi mengenai keserentakan dan definisi pemilu nasional dan pemilu daerah juga terjadi di antara fraksi-fraksi. PDI-P, misalnya, tidak menyepakati pengaturan pemilu dan pilkada di dalam satu regulasi yang sama. Perbedaan pendapat itu tidak dapat diselesaikan di tingkat panitia kerja (panja) dalam penyusunan draf RUU Pemilu di Komisi II. Oleh karenanya, draf dengan model variatif itu diserahkan kepada Baleg apa adanya dengan berbagai alternatif penormaan sesuai sikap masing-masing fraksi.
Sejak awal Komisi II membuat beberapa opsi karena berdasarkan pengalaman sebelumnya terkait dengan isu-isu krusial yang menyangkut kepentingan parpol itu diselesaikan melalui lobi tingkat tinggi yang melibatkan pimpinan parpol masing-masing.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Selasa (17/11/2020) mengatakan, sejak awal Komisi II membuat beberapa opsi karena berdasarkan pengalaman sebelumnya terkait dengan isu-isu krusial yang menyangkut kepentingan parpol itu diselesaikan melalui lobi tingkat tinggi yang melibatkan pimpinan parpol masing-masing.
”Kemarin, kita coba untuk susun beberapa opsi yang kami kirim ke Baleg. Kami serahkan sepenuhnya kepada Baleg karena, toh, Baleg itu terdiri dari fraksi-fraksi, sama dengan di Komisi II. Jika itu (pendapat yang bervariasi) dibahas atau dibulatkan di Baleg, kan, itu juga kembali kepada pendapat fraksi,” katanya.
Doli mengatakan, idealnya rumusan pasal-pasal di dalam RUU memang hanya satu. Akan tetapi, karena perbedaan sikap dan pandangan fraksi-fraksi juga harus dihormati, akhirnya diputuskan membuat opsi-opsi. Sebagai jalan tengah, pimpinan Komisi II DPR menghubungi ketua kelompok fraksi masing-masing di Komisi II. Doli mengatakan, pada dasarnya mulai ditemukan kesepahaman agar sebaiknya diambil jalan tengah oleh Baleg guna mengatasi perbedaan di dalam draf RUU tersebut.
”Saya bilang kepada teman-teman di Kapoksi Komisi II agar disampaikan kepada fraksi masing-masing di Baleg. Itu sama, kan. Jadi, titik tengah saja diambil sebab nanti setelah jadi RUU inisiatif DPR pun akan kembali dibuka perdebatan dengan fraksi-fraksi dan ditambah pemerintah di dalam pembahasan sehingga pasal-pasal itu masih bisa berubah,” ujarnya.
Sejumlah anggota Baleg DPR bahkan mengusulkan agar sebaiknya draf RUU itu dikembalikan kepada Komisi II DPR sebelum diharmonisasi oleh Baleg.
Bola panas
Akan tetapi, sekalipun mendukung RUU Pemilu menjadi RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, Baleg DPR belum bersikap. Sejumlah anggota Baleg DPR bahkan mengusulkan agar sebaiknya draf RUU itu dikembalikan kepada Komisi II DPR sebelum diharmonisasi oleh Baleg. Pada Selasa, Baleg juga membahas penetapan RUU yang menjadi prioritas dalam Prolegnas 2021.
”Prinsip tugas Baleg ialah harmonisasi, pemantapan sinkronisasi, dan pembulatan. Akan tetapi, apa yang mau dibulatkan kalau di sana belum bulat. Jangan sampai Baleg tangkap bola panas. Ini sangat panas. Kalau besi baja, ini bahaya sekali. Oleh karena itu, saya usulkan RUU Pemilu ini dikembalikan dulu kepada pengusul supaya disempurnakan agar ada kepastian. Kalau tidak, nanti di sini jadi bulan-bulanan. Karena di sini risiko untuk menentukan pilihan dapil dan sebagainya, itu bukan pekerjaan ringan,” ujar Firman Subagyo, anggota Baleg dari Fraksi Golkar, di dalam rapat.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, untuk menentukan apakah suatu RUU itu dapat diteruskan harmonisasinya oleh Baleg ataukah tidak, harus dirapatkan di dalam panja. Demikian pula untuk RUU Pemilu, sikap Baleg akan diputuskan di dalam rapat panja harmonisasi RUU Pemilu.
”Tidak bisa langsung dikembalikan ke Komisi II, itu harus diproses di panja dulu. Baru, setelah dirapatkan di panja, dapat diambil kesimpulan apakah ini dapat diharmonisasi ataukah tidak,” katanya.
Tugas Baleg dalam harmonisasi terbatas mengecek apakah suatu RUU itu konstitusional ataukah tidak dan apakah RUU itu tumpang-tindih ataukah bertentangan dengan UU lainnya. Menyangkut sikap fraksi-fraksi yang berbeda-beda, bukan menjadi kewenangan Baleg untuk membulatkan atau mengerucutkannya menjadi satu norma tunggal.
Ikuti undang-undang
Berbeda dengan sikap ketua komisi, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), tugas Baleg dalam harmonisasi terbatas mengecek apakah suatu RUU itu konstitusional ataukah tidak dan apakah RUU itu tumpang-tindih ataukah bertentangan dengan UU lainnya. Menyangkut sikap fraksi-fraksi yang berbeda-beda, bukan menjadi kewenangan Baleg untuk membulatkan atau mengerucutkannya menjadi satu norma tunggal.
”Terkait 22 pasal mengenai isu-isu krusial yang masih terjadi perbedaan, itu tidak boleh diubah sedikit pun. Soal harmonisasi dan sinkronisasi yang dianggap memberatkan, boleh saja tetap diteruskan dan diajukan ke paripurna untuk menjadi RUU inisiatif DPR, sepanjang tidak ubah substansi yang yang masih diperdebatkan,” katanya.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat itu, menurut Arif, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, RUU Pemilu tetap diajukan ke pimpinan DPR apa pun bentuknya. Perbedaan itu seiring waktu akan diselesaikan melalui lobi dan komunikasi politik para pimpinan parpol. Kedua, draf RUU Pemilu itu dikembalikan ke Komisi II untuk dibulatkan kembali. Namun, lanjut Arif, kecil kemungkinan terjadi kata sepakat karena biasanya menyangkut substansi penting yang berkenaan dengan eksistensi partai pasti melibatkan lobi-lobi pimpinan parpol.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, DPR sudah pernah membuat RUU Pemilu dengan opsi-opsi semacam itu, tahun 2010. Oleh karenanya, Baleg tidak harus membulatkannya dalam satu rumusan yang tunggal karena pada perjalanannya itu akan sangat dipengaruhi oleh komunikasi politik antaraparpol yang melibatkan pimpinan parpol.
”Untuk efektivitas pembahasan, kita tidak perlu memaksakan draf itu dalam bentuk satu norma karena itu, kan, penyusunan draf saja. UU No 12/2011 juga tidak ada ketentuan yang mengharuskan itu. Baleg punya sejarah, kok, mengesahkan sebuah draf RUU Pemilu yang opsional, tahun 2010. Waktu itu, saya pimpinan pansus RUU Pemilu,” ungkapnya. (RINI KUSTIASIH)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/17/fraksi-fraksi-belum-sepakat-soal-isu-krusial/