Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa hak pilih warga negara berhak pilih dengan disabilitas psikososial wajib dijamin oleh negara dan penyelenggara pemilu. Di Undang-Undang (UU) Pemilu, syarat untuk terdata sebagai pemilih hanya berusia 17 tahun dan atau sudah pernah menikah, tak ada syarat sedang tidak terganggu jiwa/ingatan.
“Tidak seperti di UU Pilkada, syarat untuk terdata sebagai pemilih hanya usia dan sudah pernah menikah saja. Artinya, semua warga negara yang punya hak pilih harus didata tanpa kecuali. Persoalan mereka nanti bisa menggunakan hak pilihnya atau akan mencoblos atau tidak adalah persoalan berbeda,” kata Titi kepada rumahpemilu.org (20/11).
Titi menyinggung keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No.8/2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”. Putusan ini bermakna, sepanjang tidak ada surat keterangan dari profesional yang menyatakan seorang warga negara dengan disabilitas psikososial tidak mampu memilih, maka yang bersangkutan wajib didata di dalam daftar pemilih.
Titi mengkritik orang per orang yang menyatakan heran dan mengejek hak pilih bagi disabilitas psikososial. Menurutnya, sikap tersebut lahir dari ketidakpahaman seseorang mengenai disabilitas psikososial.
“Itu sesungguhnya memperlihatkan dangkal dan ketidaktahuan mereka soal gangguan jiwa. Menurut salah satu pakar psikiatri, dr. Irmansyah, meskipun penderita psikososial mengalami disabilitas pada sebagian fungsi mentalnya, mereka tetap bisa hidup normal dan mampu menentukan yang terbaik menurut dirinya,” jelas Titi.
Titi mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pemenuhan hak pilih warga negara. Disabilitas memiliki hak politik yang sama dengan warga lainnya, tanpa pembedaa.
“Pendekatan berbasis hak asasi manusia ini, dalam pemilu sangat penting artinya bagi disabilitas. Sebab, pemilu itu kan memberikan kesempatan untuk meningkatkan partisipasi dan mengubah persepsi publik atas kemampuan penyandang disabilitas. Dimana hasilnya, penyandang disabilitas dapat memiliki suara politik yang lebih kuat dan semakin diakui sebagai warga negara yang setara,” tandas Titi.
Disabilitas psikososial adalah sebuah kondisi episodik, bukan ketidakmampuan permanen. Ada beragam jenis disabilitas psikososial, di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian.