December 11, 2024

Hoaks dan Ujaran Kebencian Berpotensi Muncul pada Pilkada 2020

Sejumlah hoaks dan ujaran kebencian pada masa Pemilihan Umum 2019 dinilai akan kembali muncul pada pemilihan kepala daerah serentak 2020. Oleh karena itu, kabar bohong dan ujaran kebencian ini perlu disikapi serius agar tidak terjadi konflik horizontal masyarakat di tingkat lokal.

Hal itu mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD) ”Mengukur dan Menganalisa Hoaks serta Ujaran Kebencian yang Muncul Saat dan Setelah Pemilu 2019” yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (20/8/2019).

FGD tersebut dihadiri komisioner KPU, pakar komunikasi politik sekaligus guru besar FISIP Universitas Airlangga Henry Subiakto; pakar ilmu otak Taufik Pasiak; budayawan Radhar Panca Dahana; perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika; perwakilan Direktorat Cyber Crime Polri; serta organisasi masyarakat sipil.

Anggota KPU, Viryan Aziz, mengatakan, jika tidak disikapi secara serius, hoaks berpotensi muncul kembali pada Pilkada 2020. Oleh karena itu, diskusi dengan para pakar dan pihak terkait diharapkan dapat menggambarkan serta menganalisis secara menyeluruh hoaks ataupun ujaran kebencian pada Pemilu 2019.

Jika tidak disikapi secara serius, hoaks berpotensi muncul kembali pada Pilkada 2020.

”Kami khawatir karena pilkada ini tingkat lokal, konflik horizontal akibat hoaks bisa makin besar. Kami harap hasil diskusi bisa mendeteksi hoaks tersebut dan bisa diantisipasi. Ini juga bisa menjadi momentum baik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan demokrasi,” katanya.

Baca juga: KPU Usul Pemungutan Suara Digelar 23 September 2020

Kemenkominfo mencatat, terdapat 1.224 isu hoaks pada periode Agustus 2018 hingga Maret 2019. Dari jumlah tersebut, isu terbanyak adalah isu politik dengan total 319 hoaks, disusul kesehatan 182 hoaks, dan pemerintahan 170 hoaks.

Adapun Direktorat Cyber Crime Polri menyebutkan, sejak Januari hingga Juni 2019 terdapat 2.800 perkara siber yang ditangani Polri. Sebanyak 35 persen atau 1.000 perkara di antaranya merupakan kasus hoaks dan ujaran kebencian yang berkaitan dengan Pemilu 2019.

Henry mengatakan, hoaks politik memiliki sejumlah ciri yang mudah dianalisis. Ciri-ciri tersebut di antaranya pesan yang dirancang menciptakan ketidakpercayaan, sumber informasinya tidak jelas, mengeksploitasi fanatisme SARA, tidak memiliki unsur 5W+1H, dan menggunakan kata-kata provokatif.

”Hoaks pada Pemilu 2019 juga masih berpotensi muncul dalam Pilkada 2020. Sebab, saat ini hoaks sudah menjadi bisnis politik dengan sasaran masyarakat mayoritas,” ujarnya.

Menurut Henry, hoaks ampuh untuk menggiring opini dan menarik suara masyarakat. Hoaks juga dipercaya dapat menjadi alat sukses politik di sejumlah negara. Memproduksi hoaks dinilai lebih murah dan berisiko kecil terhadap hukum dibandingkan dengan melakukan politik uang.

”Hoaks itu mengeksploitasi keyakinan, fanatisme identitas, dan prasangka sosial. Hoaks menyerang lembaga-lembaga, mendelegitimasi, dan merongrong proses demokrasi untuk kepentingan kekuasaan,” katanya.

Hoaks itu mengeksploitasi keyakinan, fanatisme identitas, dan prasangka sosial. Hoaks menyerang lembaga-lembaga, mendelegitimasi, dan merongrong proses demokrasi untuk kepentingan kekuasaan.

Gangguan kejiwaan

Dari aspek neurosains atau ilmu otak, Taufik menyatakan, hoaks dapat menyebar karena ekspresi impulsivitas atau sebagai ekspresi gangguan kejiwaan. Selain itu, hoaks juga menyebar karena adanya pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menguatkan emosi dan menumpulkan kemampuan berpikir kritis.

Baca juga: Melawan Hoaks di Era Digital

Taufik juga memandang hoaks dapat memainkan peran penting dalam pemilu karena kemenangan politik elektoral sangat dipengaruhi kemampuan memainkan emosi para pendukung. Hoaks yang telah menjadi propaganda politik juga sulit diberantas meski telah memiliki regulasi.

Sementara dari aspek budaya, Radhar Panca Dahana menilai, pada dasarnya hoaks diciptakan untuk menipu dan memanipulasi orang lain yang mengalami gangguan kecemasan atau paranoid. Selain perlunya penyelenggaraan hukum yang kuat, hoaks juga dapat dihadapi dengan meningkatkan ketahanan manusia melalui literasi kebudayaan.

Dikliping dari artikel yang terbit di https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/08/20/hoaks-dan-ujaran-kebencian-masih-berpotensi-muncul-pada-pilkada-2020/