Revisi UU 8/2015 tentang pemilihan umum kepala daerah (pilkada) mendesak untuk dilakukan menjelang Pilkada 2017. Berdasarkan rapat kerja yang dilakukan antara Menteri Dalam Negeri dengan Komisi II DPR, Senin (18/1) di gedung MPR/DPR/DPD, pemerintah dan DPR sepakat untuk mempercepat proses revisi agar selesai sebelum tahapan Pilkada 2017 dimulai.
Sebagai UU yang lahir secara prematur, sudah sepantasnya UU 8/2015 di revisi. Mengingat terdapat beberapa persoalan mendasar yang dalam prakteknya memiliki implikasi secara langsung terhadap proses dan kualitas penyelenggaran pilkada itu sendiri. Â Namun demikian pertanyaanya, hal-hal strategis apa yang perlu di revisi dari payung hukum penyelenggaran pilkada serentak tersebut ?
Memetakan Persoalan
Berkaca dari Pilkada Serentak 2015 terdapat lima permasalahan yang ditimbulkan dari UU 8/2015. Pertama, dibebankanya anggaran penyelenggaran pilkada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mampu menghambat proses pelaksanaan pilkada. Terkendalanya proses penganggaran dan pencarian Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang disebabakan oleh berakhirnya tahun anggaran, sampai dengan terjadinya konflik kepentingan antara kepala daerah terkait dengan proses penyelenggaran pilkada.
Menyebabkan ketidakpastian anggaran bagi beberapa daerah yang akan melaksanakan pilkada 2015. Bahkan menjelang pemungutan suara 9 Desember masih terdapat beberapa daerah yang anggaranya belum tuntas.
Kedua, proses pencalonan kepala daerah menjadi polemik yang tidak kunjung usai dan berujung pada penundaan pilkada di lima daerah kurang dari 24 jam sebelum pemungutan suara yakni Provinsi Kalimantan Tengah, Kabuapaten Simalungun, Kota Pematangsiantar, Kota Manado, dan Kabupaten Fak-fak. Hal ini disebabkan oleh sengketa pencalonan yang berkepanjangan dan banyaknya campur tangan lembaga yang terlibat seperti Panwaslu, Bawaslu, DKPP, Pengadialan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan juga Mahkamah Agung (MA).
Ketiga, adanya empat aspek kampanye yang dibiayai oleh negara (iklan media cetak/elektronik, debat publik, alat peraga, dan distribusi alat peraga) dengan tujuan untuk menekan biaya politik yang dikelurakan oleh kandidat dan menciptakan equal playing battle field atau arena persaingan yang setara. Menuai banyak kritik yang dianggap sebagai salah satu penyebab menurunnya angka partisipasi politik masyarakat untuk hadir ke TPS.
Selain itu keberadaan debat publik masih bersifat seremonial belaka yang minim informasi publik. Bahkan yang lebih parahnya lagi adalah, UU 8/2015 melarang praktek politik uang dalam kampanye akan tetapi tidak mengatur ketentuan sanksi bagi calon kepala daerah yang terbukti melakukan praktek politik uang.
Keempat, akurasi daftar pemilih masih menjadi persoalan klasik di setiap pemilu termasuk Pilkada Serentak 2015. Namun demikian, yang menjadi menarik kemudian ialah terdapat perlakuan hak politik yang berbeda dari UU 8/2015 dengan UU 42/2008 tentang pemilu presiden. Jika dalam UU pilpres penyandang disabilitas mental/psikososial diperkenankan untuk memberikan hak pilihnya, tetapi dalam UU pilkada hal ini tidak diperkenankan. Padahal jika ditinjau dari azas serta tahapannya tidak ada yang berbeda anatara pilkada dengan pilpres.
Kelima, adanya ketentuan selisih suara bagi setiap kepala daerah yang akan mengajukan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu ke MK. Bertabrakan dengan tujuan dari pemilu itu sendiri untuk mencipatkan keadilan bagi setiap pihak, untuk mencari kebenaraan dan keadilan materil terhadap permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada.
Terakhir, disain pilkada serentak pada hari ini justru bertentangan dengan tujuan untuk efektifitas penyelenggaran pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini terbukti dengan terpilihnya kepala daerah hasil pilkada serentak 2015 yang tidak mampu meraih dukungan partai politik mayoritas di DPRD.
Di sisi lain, jika diukur dari indeks effective number parliament parties (indeks ENPP) parlemen daerah dengan rata-rata nilai mencapai angkat tujuh yang berarti bahwa terdapat tujuh partai politik relevan yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan dan cenderung terfragmantasi. Tentunya akan menyulitkan kerja-kerja kepala daerah terpilih untuk merealisasikan janji, visi-misi, sampai dengan program yang ditawarkan kepala daerah pada saat kampanye.
Revisi Strategis
Ditengah kondisi demikianlah kemudian revisi pasal-pasal strategis yang tidak hanya ditinjau dari segi proses penyelenggaran pemilu semata, melainkan dari hasil pemilu juga. Menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan secara komperhensif dengan cara: Pertama, mengembalikan pendanaan pilkada dari APBD ke APBN dengan maksud untuk menciptakan kepastian anggaran bagi daerah yang akan melangsungkan pilkada, serta memudahkan pemerintah untuk mengontrol proses pendistribusian anggaran.
Kedua, agar tidak terjadi kembali kasus penundaan pilkada yang disebabkan oleh berbelitnya alur sengketa pencalonan. Maka perlu ada disain peradilan sengketa pencalonan yang difokuskan pada satu lembaga penyelenggara saja. Ketiga, untuk menimalisir terjadinya fenomena calon tunggal, meskipun terdapat putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang tetap memperbolehkan daerah untuk melangsungkan pilkada walau hanya diikuti satu pasangan calon. Mempermudah syarat dukungan bagi calon persorangan maupun partai politik menjadi salah satu cara jitu meminimalisir fenomena tersebut.
Keempat, biaya kampanye pasangan calon kepala daerah masih tetap dibiayai oleh negara tetapi hanya, iklan di media massa cetak dan elektronik serta debat publik. Sedangkan pembuatan alat peraga dan distribusi alat peraga dibebankan kepada pasangan calon dan partai politik, yang letak pemasanganya diatur sepenuhnya oleh penyelenggara pemilu.
Selain itu, debat publik kepala daerah tidak perlu dibatas pada level provinsi atau kabupaten/kota saja. Akan tetapi bisa diselenggarakan di kecamatan maupun desa/kelurahan yang tidak harus selalu melibatkan pasangan calon. Tetapi bisa dilakukan oleh tim pemenangan karena tujuan dasarnya untuk mengeksplorasi visi-misi dan program yang ditawarkan.
Kelima, revisi UU 8/2015 wajib memuat ketentuan sanksi bagi setiap peserta pilkada yang terbukti melakukan tindak pidana politik uang. Keenam, dalam rangka menciptakan pemerintahan daerah yang efektif dan akuntabel maka perlu menata ulang disain waktu penyelenggaran pilkada serentak, dengan cara menciptakan pemilu konkuren.
Maksudnya ialah, pilkada serentak diselenggarakan bersamaan dengan pemilu legislatif DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang mampu menciptakan koalisi antara partai politik pengusung kepala daerah sejak awal, dan mendorong adanya efek menarik kerah yakni pemilih memilih partai politik pengusung kepala daerah di pemilu DPRD. Sehingga harapanya kepala daerah terpilih mampu meraih dukungan mayoritas partai politik di DPRD. []
HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Politik Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)