December 5, 2024

Imbas Penundaan Pilkada 2020, Antisipasi Kekosongan Kepala Daerah

Penundaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 akibat wabah Covid-19 berpotensi membuat banyak daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Pemerintah hendaknya mulai memikirkan hal ini sejak dini. Jangan sampai jalannya pemerintahan dan pelayanan publik terganggu.

Seperti diberitakan sebelumnya, DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sepakat menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 karena merebaknya Covid-19.

Lama penundaan masih perlu dibicarakan oleh DPR dan pemerintah. Namun, dari tiga opsi penundaan yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kecenderungan terbesar ialah pilkada dilaksanakan pada 29 September 2021 atau mundur satu tahun dari jadwal seharusnya, 23 September 2020.

Jika opsi itu dipilih, implikasinya, 270 daerah bakal dipimpin penjabat kepala daerah. Sebab, masa jabatan kepala/wakil kepala daerah telah berakhir sebelum pilkada tuntas diselenggarakan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa (31/3/2020), ada 208 daerah yang masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir pada Februari 2021. Sisanya, 60 daerah, masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir Maret-Juli 2021 dan dua daerah masa jabatannya pemimpinnya berakhir pada September 2021.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan, penting bagi pemerintah memikirkan hal itu sejak dini. Jadi, kelak, sekalipun daerah hanya dipimpin penjabat, pembangunan ataupun pelayanan publik tidak terganggu.

Salah satu yang perlu mulai dipikirkan adalah mencari aparatur sipil negara (ASN) yang diproyeksikan menjadi penjabat kepala daerah di ratusan daerah tersebut. Apalagi, untuk menjadi penjabat, ASN setidaknya harus berpengalaman di birokrasi, berintegritas, dan memiliki rekam jejak yang baik.

Kemudian, pemerintah juga harus memikirkan kemungkinan wabah Covid-19 masih mengancam saat kepala/wakil kepala daerah berakhir masa jabatannya. Oleh karena itu, dibutuhkan sosok penjabat yang juga memiliki kapasitas manajemen krisis. Kalau kemudian kondisi wabah sudah berakhir, sosok penjabat diharapkan memiliki kapasitas memulihkan daerah pasca-wabah Covid-19.

Kewenangan penjabat

Adapun terkait kewenangan dari penjabat, Djohermansyah menepis pandangan kewenangan penjabat tidak sebesar kewenangan kepala daerah. Kewenangan penjabat, menurut dia, sama besarnya dengan kewenangan kepala daerah.

Ini seperti tertuang dalam Peraturan Mendagri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Di aturan tersebut, para pengganti kepala daerah sementara bisa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), menetapkan kebijakan, serta mengangkat atau memberhentikan pejabat sesuai peraturan perundang-undangan.

”Jadi, tidak perlu dasar hukum baru. Penjabat sama-sama punya kewenangan besar karena ada payung hukumnya. Mereka powerful (kuat), nothing to worry (tidak ada yang perlu dikhawatirkan),” kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri tersebut.

Djohermansyah Djohan saat masih menjabat Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, diapit Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad (kanan) dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (kiri) saat rapat membahas RUU Pilkada di Ruang Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/9/2014).

Khusus untuk posisi penjabat gubernur, Djohermansyah mengatakan, ASN yang mengisi posisi itu bisa diambil dari pejabat di luar Kemendagri. Di antaranya, pejabat dari kementerian lain yang tugas pokok dan fungsinya menyangkut pemerintahan, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), atau Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Dia menyampaikan hal ini karena, di antara 270 daerah itu, sembilan di antaranya gubernur dan wakil gubernur yang berakhir masa jabatannya.

”Jangan sampai sembilan petinggi dari Kemendagri. Itu tak mungkin rangkap jabatan semua. Nanti kedodoran kinerja Kemendagri. Karena itu, bisa juga minta tolong ke luar Kemendagri sepanjang pejabat itu berkutat di tugas pemerintahan,” ujar Djohermansyah.

Namun, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, masih terlalu dini membahas masalah penjabat kepala daerah.

Alasannya, tidak ada kepala/wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2020. ”Tak ada jabatan kepala daerah yang habis tahun 2020. Terlalu prematur bicara soal penjabat,” ujarnya.

Fokus Covid-19

Untuk saat ini, menurut Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaga, Mendagri Tito Karnavian masih fokus memobilisasi sumber daya nasional, termasuk pemerintah daerah, untuk perang melawan Covid-19.

”Apabila perang melawan Covid 19 ini tuntas dan selesai, saya dan teman-teman di DPR, KPU, Bawaslu, dan DKPP akan bertemu lagi untuk urun rembuk menentukan jadwal Pilkada 2020,” kata Tito seperti dikutip oleh Kastorius.

Bersamaan dengan itu, Mendagri Tito disebutkannya telah memerintahkan jajarannya segera berkoordinasi dengan kementerian terkait, utamanya Sekretariat Negara, untuk menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada 2020 guna merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur Pilkada 2020.

”Jadwal pilkada sangat tergantung pada kondisi perkembangan Covid-19 di Indonesia dan 270 daerah peserta Pilkada 2020,” katanya.

Sementara itu, pasca-keputusan penundaan Pilkada 2020, Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, banyak hal yang harus dikaji KPU sebagai konsekuensi dari penundaan pilkada. Salah satunya, menyangkut syarat dukungan yang telah diserahkan para bakal calon perseorangan.

Bisa jadi, menurut Ilham, mereka yang telah memberikan dukungan ternyata kelak, saat proses verifikasi administrasi ataupun faktual dilanjutkan, sudah pindah tempat tinggal atau meninggal. Terhadap kasus-kasus seperti itu, perlu ada kebijakan yang dikeluarkan oleh KPU.

Hal lain yang dipikirkan KPU sebagai konsekuensi penundaan pilkada adalah terkait Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Ilham mengatakan, DP4 harus dibahas kembali dengan Kemendagri. Sebab, dengan waktu pemungutan suara berubah, data calon pemilih sangat mungkin berubah. ”Kemudian kita harus mengatur kembali aturan teknisnya,” ujar Ilham. (NIKOLAUS HARBOWO/INGKI RINALDI)