October 6, 2024

Jaga Kepercayaan pada Demokrasi

JAKARTA, KOMPAS — Memasuki dua dekade era Reformasi, sejumlah indikator menunjukkan Indonesia secara umum mengalami perbaikan pada sektor sosial, ekonomi, dan politik. Namun, kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang cenderung tetap tinggi pada dua dekade terakhir membuat Indonesia menghadapi ancaman laten terkikisnya rasa saling percaya di masyarakat yang berpotensi menggoyang kohesi sosial.

Salah satu capaian Indonesia selama 20 tahun terakhir dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika tahun 1999 IPM Indonesia ada di angka 64,30, pada 2017 ada di angka 70,81. Posisi ini membuat Indonesia masuk dalam negara dengan IPM tinggi.

IPM kategori tinggi berada di kisaran 700,00-79,99. Semakin tinggi angka indeks, semakin baik kualitas hidup manusia.

Indeks Status Demokrasi Global dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance menunjukkan, Indonesia membaik di semua indikator pada kurun waktu 1998-2015. Pada indikator pemerintahan perwakilan, nilai Indonesia naik dari 0,40 (1998) menjadi 0,71 (2015). Hal yang sama terjadi pada indikator hak asasi (dari 0,42 jadi 0,57), pengendalian pemerintah (0,37 jadi 0,61), dan administrasi imparsial (0,31 jadi 0,45). Semakin mendekati angka 1, semakin baik capaian sebuah negara.

Namun, kesenjangan di Indonesia juga makin lebar. Rasio gini Indonesia yang pada 1999 di 0,311 pernah menembus 0,413 tahun 2012 dan kemudian 0,414 pada 2014. Angka itu lalu sedikit turun dalam tiga tahun terakhir menjadi 0,391 pada September 2017. Nilai rasio gini antara 0-1. Semakin mendekati 0, maka semakin merata.

Laporan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development tahun 2017 menyebutkan, ketimpangan kekayaan di Indonesia lebih parah daripada ketimpangan pendapatan.

Guru Besar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Purwo Santoso, Sabtu (19/5/2018), mengingatkan, kesenjangan bisa menimbulkan efek negatif jika bersinggungan dengan politisasi, insiden, atau konteks lokal tertentu. Misalnya, di Indonesia ada dikotomi sosiologis bahwa ada kelompok tertentu yang menguasai perekonomian dan masyarakat lain yang biasa-biasa saja. Kondisi ini rentan dibingkai untuk kepentingan politik.

Ketidakpercayaan

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menambahkan, kesenjangan membuka peluang munculnya ketidakpercayaan di masyarakat.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, kesenjangan menjadi tema kunci yang digunakan kaum populis untuk memengaruhi opini publik. Hal ini kemudian juga bisa membuat kohesi sosial mudah rusak karena masyarakat merasa ada kesenjangan antara ”kami” yang tertindas dan ”kamu” yang diuntungkan oleh rezim.

Stagnasi demokrasi menjadi salah satu penyumbang semakin parahnya kesenjangan. Dari sisi demokrasi prosedural dan simbolik, kata Firman, Indonesia memang membaik. Namun, secara substantif, demokrasi Indonesia dikuasai oligarki yang jauh dari upaya untuk mencapai kepentingan masyarakat dan melibatkan masyarakat.

”Kebijakan yang dibuat dan kontrol kebijakan itu ada di tangan oligarkis. Efeknya, banyak program atau kebijakan baik tetapi tidak terimplementasi baik,” ujar Firman.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte menuturkan, setelah reformasi, ada harapan bahwa kesejahteraan ekonomi akan datang seiring dengan demokrasi.

”Pada praktiknya, ada negara demokratis tetapi tingkat kesejahteraannya belum tinggi, misalnya India. Namun, ada juga negara yang tidak demokratis tetapi sejahtera, seperti Indonesia tahun 1970-1980-an atau China dan Singapura saat ini. Di negara lainnya, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Skandinavia, ada kesejahteraan di mana demokrasi hidup,” katanya.

Dengan melihat tiga model tersebut, Philips berharap publik tidak buru-buru menilai ada kegagalan demokrasi. Selama 20 tahun reformasi, banyak hal baik yang berhasil dicapai, seperti kebebasan pers dan sistem multipartai yang memungkinkan parlemen menjalankan pengawasan dengan lebih baik.

”Oleh karena itu, dalam konteks demokrasi di Indonesia, ekspektasi kesejahteraan itu harus dikelola dan bahwasanya demokrasi pada akhirnya akan membawa kesejahteraan,” ujarnya.

Hal ini mesti segera dilakukan, kata Philips, karena ketidakpercayaan kepada demokrasi jadi ancaman besar terhadap demokratisasi yang telah berjalan 20 tahun ini. Retaknya kohesi sosial yang ditandai dengan minimnya rasa saling percaya dan pengkubu-kubuan yang makin tajam dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu efek buruk dari ketimpangan dan minimnya kesejahteraan. Pemerintah punya tugas berat untuk mengikis ketimpangan itu dan menumbuhkan optimisme atas demokratisasi yang sedang berjalan.

”Elite politik wajib menjaga kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap negara atau pemerintahan yang dijalankan secara demokratis dan transparan,” tutur Philips. (AGE/REK/IAN/MHD/GAL)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2018 di halaman 1 dengan judul “Jaga Kepercayaan pada Demokrasi “. https://kompas.id/baca/utama/2018/05/21/jaga-kepercayaan-pada-demokrasi/