October 4, 2024

Jalan Terjal Memurnikan DPD

Munculnya putusan Mahkamah Agung (MA) dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memenangkan permohonan dan gugatan Oesman Sapta Odang (OSO), tidak bisa dipandang sebagai sebuah sengketa hukum pemilu saja. Putusan MA dan PTUN yang memberikan jalan kepada OSO untuk tetap bisa menjadi calon anggota DPD meski belum mundur dari pengurus partai politik, adalah bentuk jalan terjal memurnikan lagi kelembagaan DPD sebagai representasi daerah.

Semenjak dua hingga tiga tahun terakhir, kelembagaan DPD memang disesaki oleh pengurus dan anggota partai politik. Bahkan, semenjak tahun 2016, aroma partai politik di tubuh kelembagaan DPD semakin kental pekat, setelah OSO yang merupakan ketua umum Parta Hanura menjadi Ketua DPD. Realits ini tentu saja sangat aneh dan tak lazim. Sebuah partai politik beserta dengan pengurusnya, apalagi selevel ketua umum, mestinya arena pertarungannya ada di DPR, sebagai lembaga representasi politik. Tempatnya para pengurus partai politik bukan di DPD, melainkan saudara tua dari lembaga DPD, yakni DPR.

DPD adalah lembaga yang dirancang untuk menjadi representasi daerah. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, serta penyelenggaraan pemerintahan yang diselenggarakan dengan asas otonomi daerah, maka dibentuklah sebuah lembaga representasi yang khusus untuk menjadi wakil wilayah, yang berasal dari setiap provinsi di Indonesia.

Dominannya jumlah anggota dan pengurus partai politik di tubuh kelembagaan DPD membuat ketidakseimbangan di dalam kerja-kerja kelembagaan DPD. Ditengah kondisi itu, dalam persiapan Pemilu 2019, terdapat uji materi terkait dengan syarat calon anggota DPD dilarang memiliki “pekerjaan lain” yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan kerja-kerja anggota dan  kelembagaan DPD. Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 memberikan tafsir baru terhadap “pekerjaan lain” tersebut, yang salah satunya adalah pengurus partai politik. Dengan adanya tafsir MK tersebut, maka di dalam Pemilu 2019, seorang calon anggota DPD, tidak boleh lagi merangkap sebagai pengurus partai politik.

Kontradiksi Putusan

Masalah hukumnya hari ini, selain putusan MK, terdapat juga Putusan MA dan PTUN yang sama-sama bersifat final dan mengikat, namun saling bertentangan satu sama lain. Putusan MK jelas menyebutkan bahwa pengurus partai politik tidak boleh menjadi calon anggota DPD, karena MK memberikan tafsir baru dalam frasa “pekerjaan lain” di dalam syarat calon anggota DPD, sesuai ketentuan di dalam Pasal 182 huruf l UU No. 7/2017.

Bahkan, MK secara eksplisit menyebutkan, bahwa larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD itu mulai berlaku untuk pelaksanan Pemilu 2019. Karena putusan MK dibacakan setelah proses pendaftaran calon yang sudah berlangsung untuk Pemilu 2019, maka MK juga mengatakan, bahwa pengurus partai politik masih bisa ikut menjadi calon anggota DPD di Pemilu 2019, dengan syarat mengajukan pengunduran diri yang bernilai hukum dari kedudukannya sebagai pengurus partai politik. Untuk mengatur syarat calon ini, KPU mengeluarkan Peraturan KPU No. 26/2018 yang khusus disusun untuk menindaklanjuti Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018.

Peraturan KPU No. 26/2018 ini yang diuji ke MA, dan MA mengatakan larangan terhadap pengurus partai politik mencalonkan diri menjadi anggota DPD baru berlaku setelah Pemilu 2019. Parahnya lagi, putusan MA ini diikuti oleh Putusan PTUN, yang membatalkan Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap anggota DPD yang tidak menyertakan OSO di dalamnya. Jika membaca putusan MA dan PTUN, jelas sekali terlihat ada kekeliruan di dalam memahami Putusan MK.

Bahkan, membaca amar putusan dua lembaga peradilan ini, ada semangat yang gagal ditangkap oleh MA dan PTUN, terkait dengan larangan pengurus partai politik tidak boleh lagi menjadi calon anggota DPD. Disamping semangat pemurnian DPD sebagai lembaga representasi daerah yang gagal dituangkan di dalam putusannya, putusan dua lembaga peradilan ini bertentangan telak dengan konstitusionalitas norma Pasal 182 huruf l sebagai syarat calon yang sudah diputuskan oleh MK. Apalagi, terkait dengan pertanyaan, pada pemilu kapankah larangan pengurus partai menjadi calon anggota DPD mulai berlaku, MK sudah menjawab dan menjelaskan dengan sangat eksplisit di dalam putusannya, yakni pada Pemilu 2019.

Sikap KPU

Terkait dengan pertentangan putusan MA dan PTUN, dengan putusan MK ini harus segera disikapi oleh KPU. Ini menjadi sangat penting, karena tahapan pemilu terus berjalan, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, KPU mesti mulai menyiapkan pencetakan logistic pemilu, yang tentu berkaitan dengan daftar calon tetap yang akan berlaga di dalam Pemilu 2019 nanti.

Dalam persoalan ini, KPU mesti konsisten melaksanakan Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang merupakan tafsir baru terhadap syarat calon menjadi anggota DPD, sebagaimana diatur di dalam UU No. 7/2017. Artinya, pengunduruan diri sebagai pengurus partai politik, serta SK pemberhentian sebagai pengurus partai politik merupakan syarat calon yang secara kumulatif mesti dipenuhi oleh seorang calon anggota DPD. Syarat ini sama pentingnya dengan seorang calon anggota DPD yang mesti minimal berusia 21 tahun yang dibuktikan dengan identitas kependudukan, dan calon anggota DPD yang minimal mesti menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas yang dibuktikan dengan ijazah.

Jika syarat usia dan syarat pendidikan ini tidak terpenuhi, maka konsekuensi hukum yang mesti diambil oleh KPU terhadap seorang calon anggota DPD adalah tidak memenuhi syarat. Kebijakan yang sama mesti diambil untuk syarat calon anggota DPD yang tidak mengajukan penguduruan diri dan menyerahkan SK pemberhentian sebagai pengurus partai politik. Karena syarat calon DPD di dalam Pasal 182 dari huruf a hingga p di dalam UU No. 7/2017 itu bersifat kumulatif, maka tidak boleh ada satupun syarat yang tidak dipenuhi, termasuk mundur dari berhenti sebagai pengurus partai politik.

KPU tidak perlu lagi mengambil sikap ini. Pedoman KPU dalam bertugas adalah bersetia dan bersumpah patuh kepada peraturan perundang-undangan. Pemahaman yang sama juga diharapkan muncul dari satuan lembaga penyelenggara pemilu lainnya, yakni Bawaslu dan DKPP. Lembaga penyelenggara pemilu mesti membuktikan diri bisa mandiri dalam mengambil keputusan, yang sandarannnya adalah peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan yang baik untuk memastikan lembaga DPD tidak lagi dipenuhi oleh pengurus partai politik. Ini penting, untuk mengembalikan maksud awal pendirian lembaga DPD sebagai representasi daerah. []

FADLI RAMADHANIL

Peneliti Hukum Perkumpulan until Pemilu Dan Demokrasi (Perludem)