September 13, 2024

Kandidat Mulai Jadi Korban

Keputusan melanjutkan Pemilihan Kepala Daerah 2020 di tengah pandemi Covid-19 mulai memakan korban. Tiga kandidat meninggal dunia akibat terinfeksi virus SARS-CoV-2. Jika fenomena ini tak mampu diantisipasi oleh penyelenggara pemilu, proses pilkada akan terganggu. Upaya melahirkan pemimpin terbaik pun sulit terwujud.Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI hingga Minggu (4/10/2020), tiga bakal calon kepala daerah meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19. Ketiga bakal calon tersebut adalah Muharram (calon petahana Bupati Berau), Adi Darma (calon Wali Kota Bontang), dan Ibnu Saleh (calon petahana Bupati Bangka Tengah).

Anggota KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, mekanisme penggantian calon telah diatur mulai dari Pasal 78 hingga Pasal 87 di Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Secara khusus pada Pasal 79 Ayat (2) Huruf b PKPU itu disebutkan, penggantian calon dapat dilakukan sejak penetapan calon sampai 30 hari sebelum hari pemungutan suara, yakni 9 Desember 2020.

“KPU menyediakan ruang penggantian. Namun, di sisi lain, juga harus diperhatikan soal logistik, itu juga harus dipersiapkan secara matang. Kalau misal penggantian calon bisa sampai H-1 (sehari sebelum hari pemungutan suara), jelas logistik tidak bisa disiapkan karena kertas suara harus dicetak, dipersiapkan, hingga didistribusikan ke tempat pemungutan suara,” ujar Raka.

Anggota KPU Kalimantan Timur Mukhasan Ajib pun menjelaskan, untuk di Pilkada Berau, posisi Muharram telah digantikan oleh istrinya, Sri Juniarsih. Sedangkan, posisi Adi Darma di Pilkada Bontang belum ada penggantinya.

Untuk di Pilkada Berau, posisi Muharram telah digantikan oleh istrinya, Sri Juniarsih. Sedangkan, posisi Adi Darma dalam Pilkada Bontang belum ada penggantinya.

Menurut Mukhasan, sejauh ini, proses tahapan pilkada di dua daerah tersebut tetap berjalan normal. Namun, ia mengakui bahwa ada pekerjaan ekstra yang harus diselesaikan apabila terjadi fenomena seperti di Berau dan Bontang.

“Sampai sekarang harusnya proses pemeriksaan kesehatan calon sudah dilaksanakan tetapi tertunda. Otomatis desain materi kampanye juga berubah dengan musibah ini karena spanduk, umbul-umbul, billboard (papan iklan) berubah lagi dengan pengganti (calon yang baru), yang penggantinya belum tahu. Jadi, pengaruhnya ke kampanye juga,” tutur Mukhasan.

Mukhasan menjelaskan bahwa penyelenggara pemilu akan mendapat tantangan yang besar apabila fenomena itu terjadi mendekati hari pemungutan suara. Sebab, segala logistik seperti kertas suara sudah akan dicetak.

“Pengadaan surat suara, kan, dilelang. Paling lambat 30 hari. Kalau meninggal H-7 (seminggu sebelum hari pemungutan suara), ya kertas suara tetap bergambar calon yang meninggal. Ini tentu tantangan besar karena bagaimana pertanggungjawabnnya, ratusan ribu surat suara sudah dicetak. Kalau calon diganti, kan, harus diganti semua logistiknya,” kata Mukhasan.

Penyelenggara pemilu akan mendapat tantangan yang besar apabila fenomena itu terjadi mendekati hari pemungutan suara. Sebab, segala logistik seperti kertas suara sudah akan dicetak.

Dampak fatal

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan, selain berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan warga negara, dampak fatal keputusan melanjutkan pilkada di tengah pandemi ini adalah tergerusnya kepercayaan publik pada demokrasi.

Titi pun menambahkan, upaya pilkada melahirkan pemimpin terbaik pun terancam sulit diwujudkan akibat figur-figur terbaik yang akhirnya tak luput menjadi korban paparan Covid-19. Apalagi, lanjutnya, penyelenggaraan pilkada bisa terganggu karena kinerja penyelenggara yang menjadi tak optimal akibat ada anggotanya yang terkena Covid-19 dan harus menjalani perawatan kesehatan untuk waktu tertentu.

“Pilkada itu, kan, medium partisipasi politik warga yang seharusnya menjangkau secara luas para warga pemilih kita dan mestinya terbebas dari rasa takut atau kecemasan terhadap keselamatan dan kesehatan mereka. Bukan malah dihantui kecemasan terhadap keamanan dan kesehatan proses yang berlangsung,” tutur Titi.

Pilihan melanjutkan pilkada merupakan pertaruhan yang besar. Sebaiknya pilkada ditunda agar seluruh sumber daya dikerahkan untuk fokus menangani pandemi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asia Democracy Network (ADN) Ichal Supriadi, dari Seoul, Korea Selatan, mengatakan, pilihan melanjutkan pilkada merupakan pertaruhan yang besar. Namun, menurut dia, sebaiknya pilkada ditunda agar seluruh sumber daya dikerahkan untuk fokus menangani pandemi.

“Melanjutkan pilkada dengan segala resiko tinggi adalah langkah berani dan harus menerapkan sebuah pembatasan yang tegas di lapangan segera. Apabila permainan masih begitu-begitu saja tanpa pembatasan yang reinforceable (diperkuat), itu merupakan ignorance (ketidakpedulian) pemerintah atas keselamatan warga negara,” ucap Ichal.

Jika pemerintah tetap berkukuh melanjutkan pilkada apalagi tanpa dibarengi aturan yang tegas selain peringatan tertulis dan pembubaran belaka, lanjut Ichal, maka pandemi bisa tidak terkendali. Selain itu, penurunan angka partisipasi pemilih juga menjadi ancaman nyata. Sejumlah negara telah mengalami risiko tersebut.

Data dari Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), di Australia, partisipasi pemilih turun dari 83 persen menjadi 77,5 persen. Perancis sebelumnya 63,6 persen menjadi 44,7 persen. Iran dari 60,09 persen menjadi 42,32 persen. Penurunan partisipasi pemilih juga terjadi di Mali dari 38,5 persen jadi 35,58 persen

“Rencana safeguard pilkada sehat yang dibuat penyelenggara tidak meyakinkan dalam implementasi dan tidak ada yang bisa menjamin akan dilaksanakan oleh para kontestan. Ini sebuah gambling besar, dengan taruhan nyawa, dan sebaiknya jujur apa layak masih dilanjutkan, atau bersiap untuk yang terburuk. Dan tidak saling melemparkan tanggung jawab antar pejabat, menyalahkan kepada rakyat,” kata Ichal.

Menurut Ichal, paslon seharusnya bisa dipaksa mematuhi aturan dengan sanksi yang tegas sehingga mereka terdorong untuk berinovasi.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2020 di halaman 2 dengan judul “Tiga Kandidat Telah Jadi Korban Pandemi”. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/10/05/kandidat-mulai-jadi-korban/