Maret 29, 2024
iden

Kebutuhan Anggaran untuk Pemungutan Suara Ulang Dipetakan

Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pemungutan suara ulang. Atas putusan tersebut, KPU kini tengah membahas secara komprehensif terkait kesiapan berbagai aspek, termasuk kesiapan anggaran.

Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (21/3/2021), mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat dengan sejumlah KPU provinsi/kabupaten/kota untuk menindaklanjuti putusan MK terkait rencana pemungutan suara ulang (PSU).

“Tentu putusan-putusan MK perlu menjadi perhatian dan bahan evaluasi bagi semua pihak. Pada prinsipnya, KPU akan melaksanakan putusan MK,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, MK, di antaranya, memutuskan PSU di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Pilkada Nabire dan 105 TPS di Pilkada Yalimo. MK juga memerintahkan PSU pada sejumlah TPS di setidaknya tujuh kecamatan di Pilkada Kalimantan Selatan.

Di dalam rapat koordinasi itu, Raka melanjutkan, ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan terkait PSU. Pertama, pencermatan putusan MK agar tindak lanjut nanti sesuai putusan. Kedua, persiapan dan pencermatan regulasi. Ini juga berkaitan dengan penyusunan tahapan PSU serta sosialisasinya kepada pihak-pihak terkait. Ketiga, kesiapan sumber daya manusia dan badan ad hoc. Keempat adalah persiapan anggaran.

Raka menjelaskan, konsekuensi anggaran yang muncul akibat PSU ini harus dihitung secara cermat agar penyelenggaraan PSU dapat berjalan baik. Kebutuhan anggaran itu, misalnya, meliputi persiapan logistik, pembuatan TPS, honor penyelenggara ad hoc, dan alat pelindung diri atau perlengkapan protokol kesehatan untuk menghindarkan petugas dari Covid-19.

”Anggaran saat ini masih dalam proses penghitungan oleh jajaran KPU provinsi, kabupaten, atau kota, yang akan melaksanakan PSU,” katanya.

Raka belum dapat memastikan apakah KPU akan meminta tambahan anggaran kepada pemerintah. Jika itu dibutuhkan, akan dikonsultasikan dengan pemerintah dan Komisi II DPR. ”Saat ini kami masih bahas dulu (kebutuhan anggarannya),” katanya.

Langkah perbaikan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati berpandangan, putusan MK yang memerintahkan KPU untuk melakukan PSU harus menjadi evaluasi bagi seluruh pihak ke depan. Misalnya, di Pilkada Nabire, KPU ke depan harus lebih hati-hati dalam pemutakhiran data pemilih.

”Kan, tugas penyelenggara pemilu bagaimanapun data yang ada dilakukan proses pencocokan dan penelitian. Tugas mereka untuk menjernihkan data,” katanya.

MK dalam putusannya untuk sengketa hasil Pilkada Nabire menemukan ketidakwajaran dalam penentuan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) oleh KPU Nabire. Jumlah DPT diketahui lebih banyak daripada jumlah penduduk Nabire sehingga sulit untuk bisa diterima akal sehat, Kompas (20/3/2021).

Terkait rencana PSU, Khoirunnisa berharap KPU segera membentuk kembali petugas ad hoc karena penyelenggara pemilu hanya memiliki waktu 60 hingga 90 hari untuk melakukan PSU. Dalam pelaksanaan nanti, KPU daerah pun harus tetap memperhatikan protokol kesehatan. ”Pandemi ini, kan, belum selesai. Jadi, harus tetap memastikan semua sesuai protokol kesehatan. Petugas ad hoc juga harus tetap dilakukan tes yang memadai agar menjamin kesehatan mereka,” katanya.

Anggota KPU, Viryan Aziz, mengatakan, pihaknya bersama jajaran KPU Papua dan KPU Nabire akan menyelidiki DPT dalam Pilkada Nabire. KPU akan memperbaiki data pemilih secara detail dan dengan prinsip kehati-hatian sebelum pelaksanaan PSU di seluruh TPS di Nabire yang berjumlah 501 TPS.

”Dengan adanya PSU di Nabire, menjadi momentum untuk memperbaiki masalah data pemilih yang selama ini terjadi di Papua,” katanya.

Mantan terpidana

Hari ini (22/3), MK direncanakan melanjutkan agenda pembacaan putusan perkara sengketa Pilkada 2020. Total ada 13 perkara yang putusannya dibacakan. Salah satunya sengketa hasil Pilkada Boven Digoel, Papua.

”Putusan MK atas sengketa hasil Pilkada Boven Digoel bisa jadi momentum untuk memperjelas penafsiran syarat jeda lima tahun bagi mantan terpidana yang mau ikut dalam pilkada,” ujar peneliti konstitusi dan demokrasi Inisiatif, Ihsan Maulana.

Dalam kasus Pilkada Boven Digoel, kemenangan pasangan calon bupati/wakil bupati Boven Digoel, Yusak Yaluwo-Yakob Weremba, dipersoalkan kompetitornya karena pencalonan Yusak dinilai inkonstitusional. Yusak yang pernah divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi dinilai belum memenuhi syarat jeda lima tahun bagi eks terpidana seperti diatur di Pasal 7 UU No 10/2016 tentang Pilkada.

Pasal itu menyebutkan, calon yang berstatus mantan terpidana diharuskan lebih dulu melewati jangka waktu lima tahun seusai menjalani masa pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk bisa mengikuti pilkada. Dengan mengacu pada pasal itu, KPU sempat mendiskualifikasi Yusak-Yakob. Namun, keputusan itu dibatalkan Bawaslu sehingga mereka tetap bisa mengikuti pilkada.

Menurut Ihsan, jika MK konsisten dengan putusan sebelumnya, yaitu putusan MK Nomor 56/PUU/XVII/2019, ada kemungkinan permohonan pemohon dikabulkan. ”Apalagi diperkuat putusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu),” tambahnya.

DKPP pada 3 Maret memberhentikan tiga anggota KPU Boven Digoel dan empat anggota KPU Papua. DKPP menilai, mereka seharusnya tidak menetapkan Yusak sebagai calon bupati karena belum memenuhi syarat jeda lima tahun. Yusak baru bebas murni pada 26 Mei 2017 sehingga baru bisa mengikuti pilkada setelah 2022. (NIKOLAUS HARBOWO/FABIO M LOPES COSTA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 22 March 2021 di halaman 2 dengan judul “Kebutuhan Anggaran Dipetakan” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/22/kebutuhan-anggaran-untuk-pemungutan-suara-ulang-dipetakan/