August 8, 2024

Keserentakan Pemilu 2024 Bebani Semua Pihak

Penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang dibarengkan dengan Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dinilai akan menyulitkan bagi teknis penyelenggaraan di lapangan. Hal ini selain membebani penyelenggara, juga tidak menguntungkan bagi partai politik dan para kandidat.

Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Rabu (6/1/2021) di Jakarta, mengatakan, pihaknya merekomendasikan agar keserentakan Pilkada dan Pileg serta Pilpres pada 2024 diatur ulang. Jika ketiga jenis pemilu itu dilakukan bersamaan, secara teknis, hal itu akan membebani semua pihak. Bukan hanya penyelenggara yang kewalahan, tetapi juga masyarakat pemilih yang berpotensi kesulitan untuk berkonsentrasi pada para kandidat pemimpin di eksekutif atau wakil mereka di lembaga perwakilan.

“Kalau dilakukan bersamaan, penyelenggara harus bekerja luar biasa mengatur tiga jenis pemilu sekaligus. Adapun pemilih konsentrasinya akan pecah, karena banyaknya pilihan yang harus mereka pikirkan. Bagi kandidat, keserentakan ini juga merugikan, karena penyampaian visi-misi, baik capres, caleg, dan cakada (calon kepala daerah) tidak optimal. Mungkin yang paling diuntungkan ialah capres, karena paling menarik di mata publik, sedangkan yang lainnya tidak akan maksimal,” kata Doli.

Di sisi lain, lanjut Doli, pelaksanaan pilkada dan pemilu bersamaan memberatkan kerja parpol. Parpol harus menyiapkan calon dan strategi untuk tiga pemilu sekaligus, sementara setiap pemilu memiliki karakteristik dan strategi yang berbeda-beda.

“Parpol tidak hanya kerja double, tapi juga triple. Padahal, untuk menyiapkan capres itu tidak hanya butuh sehari atau dua hari. Butuh waktu lama untuk menyiapkannya. Intensitas kerjanya juga tinggi. Demikian pula untuk Pilkada, kami saja di Golkar harus menyiapkannya setidaknya setahun. Begitu pula pileg yang harus menyiapkan daftar caleg, itu semua perlu usaha keras dan serius dari partai,” kata Doli yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar.

Oleh karena itu, Komisi II DPR mengusulkan dua opsi dalam mengatur kembali keserentakan pilkada dan pemilu. Pertama, jika tetap mengacu pada pilkada serentak nasional, Komisi II DPR mengusulkan pilkada digelar tahun 2027. Alasannya, pada tahun itu semua kepala daerah telah bisa memenuhi masa jabatannya. Masing-masing kepala daerah dari empat variasi waktu pilkada, yakni 2015, 2017, 2018, 2020, telah memenuhi termin 5 tahun jabatan, dan tidak ada termin pemerintahan yang terpotong oleh Pilkada 2027.

Parpol tidak hanya kerja double, tapi juga triple. Padahal, untuk menyiapkan capres itu tidak hanya butuh sehari atau dua hari. Butuh waktu lama untuk menyiapkannya. Intensitas kerjanya juga tinggi (Ahmad Doli Kurnia Tandjung)

Kalau pun ada yang harus menunggu satu sampai dua tahun untuk bisa maju lagi dalam Pilkada 2027, menurut Doli, hal itu tidak masalah, karena posisi kepala daerah dapat diisi oleh penjabat sementara. Jika pilkada dilaksanakan 2027, maka Pileg dan Pilpres dilaksanakan pada 2024 dan 2029. Dengan demikian, ada satu pilkada di setiap dua pemilu. Jadwal pelaksanaan pastinya akan dibicarakan kembali dengan pemerintah jika rumusan tersebut diterima.

Opsi kedua, pilkada serentak tidak berlaku nasional. Artinya, pilkada tetap mengikuti siklus lima tahunan, sesuai empat variasi jadwal yang ada sekarang. Misalnya, Pilkada 2017 diteruskan pada 2022, Pilkada 2018 dilanjutkan pada 2023, Pilkada 2020 tetap dilanjutkan dengan Pilkada lima tahun berikutnya, Pilkada 2025.

Opsi kedua ini, menurut Doli, juga menghindari keserentakan antara pilkada dengan pemilu, karena masing-masing pemilu mengikuti siklus yang sudah ada saat ini, yakni setiap lima tahun sekali. “Nanti tinggal diputuskan apakah kita tetap mau menganut sistem pilkada serentak nasional, ataukah mau memilih opsi kedua yang tetap mengikuti siklus lima tahunan. Kedua opsi ini sama-sama dapat dipilih untuk alternatif menghindari pilkada bersamaan dengan pilpres dan pileg,” katanya.

KPU setuju jika pengaturan tentang keserentakan pilkada dan pemilu, 2024, dikaji kembali

Namun, dari dua opsi tersebut, baru opsi pertama yang dicantumkan di dalam draf RUU Pemilu. Di dalam draf RUU Pemilu yang kini masih dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Komisi II mengusulkan agar waktu penyelenggaraan pilkada mengikuti ketentuan di dalam UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pilkada. Di dalam UU No 1/2015 yang dirujuk oleh RUU Pemilu tersebut, pilkada serentak nasional diadakan pada 2027.

“Sekalipun hanya opsi pertama yang dicantumkan di dalam draf RUU Pemilu, tetapi opsi kedua itu muncul juga di dalam pembahasan di internal Komisi II DPR. Oleh karenanya, sebagai suatu opsi masih terbuka kemungkinan dari keduanya untuk dipilih yang paling sesuai dengan kebutuhan,” ujar Doli.

Dihubungi terpisah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting mengatakan, KPU setuju jika pengaturan tentang keserentakan pilkada dan pemilu, 2024, dikaji kembali.

“KPU sebagai pelaksana undang-undang akan melaksanakan apa yang menjadi ketentuan. Namun, di dalam memutuskan keserentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah di waktu yang sama perlu memerhatikan teknis penyelenggaraannya,” kata Evi.

Penyelenggara pemilu tentu akan menerima beban tugas yang berat jika ketiga jenis pemilihan itu dilakukan bersamaan. Belajar dari keserentakan Pemilu 2019, beban terberat dari tahapan-tahapan pemilihan yang dijalani secara simultan ada di KPU kabupaten/kota. “Belum lagi risiko tidak fokusnya konsentrasi pemilih dalam melihat sisu-isu yang menjadi referensi dalam menjatuhkan pilihannya,” ungkap Evi.

Desain menggabungkan pemilu nasional dan pilkada di tahun yang sama adalah tidak logis dan besar kemungkinan akan menimbulkan kekacauan.

Tidak logis

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pilkada serentak nasional sebaiknya dilakukan pada awal 2027, tidak bersamaan dengan Pemilu 2024. Desain menggabungkan pemilu nasional dan pilkada di tahun yang sama adalah tidak logis dan besar kemungkinan akan menimbulkan kekacauan.

“Melihat pengalaman pemilu 2019, keserentakan lima jenis pemilihan yakni pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) sangat berat dan berdampak pada beban kerja petugas yang kurang logis, kompleksitas teknis, sulitnya mewujudkan politik gagasan, serta tenggelamnya isu legislatif oleh kampanye pilpres,” katanya.

Perludem, lanjut Titi, sejak lama mendorong pemilu serentak dibagi antara pemilu nasional dan pemilu daerah dengan masa jeda 2 sampai 2,5 tahun. Dengan demikian, pemilu serentak nasional akan memilih DPR, DPD, dan Presiden pada 2024, sedangkan pemilu daerah memilih Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota pada awal 2027.

Sementara itu, dari kacamata berbeda, pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan, penyelenggaraan pilkada dan pemilu serentak, 2024, dapat menghemat biaya politik. Caleg yang memperebutkan kursi parlemen di pusat maupun daerah tidak hanya akan mempromosikan calon presiden, namun juga calon kepala daerah yang diusung di dalam Pilkada.

“Politik Indonesia juga tidak akan sering diwarnai dengan aktivitas pemilu karena hanya dilakukan pada satu tahun dan pemerintah bisa lebih fokus membuat kebijakan. Kepala daerah dan presiden bisa lebih harmonis karena menjabat pada periode yang sama,” ucapnya. (RINI KUSTIASIH/ IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2021 di halaman 2 dengan judul “DPR Usulkan Dua Opsi Pemilu”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/07/keserentakan-pemilu-2024-bebani-semua-pihak/