Konstitusionalitas aturan keserentakan pemilu, sebagaimana telah diselenggarakan dalam Pemilu 2019, kini dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengajukan uji materi atas ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu serentak.
Direktur eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, saat ini pihaknya dalam proses memperbaiki permohonan yang diajukannya. Pada dasarnya ketentuan pemilu serentak yang diatur di dalam UU Pemilu itu memiliki implikasi konstitusional bagi warga negara, sekaligus membawa dampak teknis implementatif yang berat bagi penyelenggara maupun pemilih. Sebab, dengan penyelenggaraan pemilu serentak antara pemilu presiden dan pemilu legislatif, warga pemilih justru kesulitan menyalurkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dalam koridor pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil.
Pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara itu antara lain terlihat dari banyaknya suara tidak sah. Mengutip catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemohon menyebutkan ada 17.503.953 suara tidak sah dalam pemilu legislatif (pileg). Jika dibandingkan dengan total jumlah pengguna hak pilih dalam pileg 157.475.213 suara, persentase suara tidak sah itu terbilang sangat besar, yakni 11,21 persen.
Dalam permohonannya, pemohon meminta mahkamah untuk membagi pemilu menjadi dua level, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional terdiri atas pemilihan presiden, dan anggota DPR dan DPD. Adapun untuk pemilu lokal terdiri atas pemilihan kepala daerah dan DPDR kabupaten/kota maupun DPRD provinsi. Pemilu nasional dimintakan untuk diselenggarakan lebih dulu, baru diikuti dengan pemilu lokal dua tahun kemudian.
Titi mengatakan, permohonan tersebut sedikit banyak akan menyinggung pula pendirian mahkamah yang sebelumnya dituangkan di dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. Sebab, putusan MK tersebut menyatakan putusan serentak dilakukan antara pilpres dan pileg, yang secara teknis dijelaskan pelaksanaannya dalam pemberian suara ke dalam lima kotak.
“Kami meyakini argumentasi yang akan kami bangun selanjutnya dapat mengubah pendirian mahkamah tentang pemilu serentak lima kotak. Sebab, telah nyata pemilu semacam ini tidak kompatibel dengan kemampuan penyelenggara, maupun warga pemilih, dan sistem presidensial yang kita anut,” kata Titi.
Kuasa hukum pemohon, Fadli Rahmadanil, mengatakan, pihaknya diberi waktu untuk memperbaiki permohonan sebelum sidang berikutnya, 15 Oktober 2019. “Perbaikan permohonan kami akan menyangkut pula pertimbangan dan putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013. Tetapi, bagaimana pun itu harus kami coba lakukan untuk meyakinkan mahkamah mengubah pendiriannya,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah hakim konstitusi di persidangan sebelumnya memberikan masukan perbaikan. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon agar lebih detil menerangkan argumentasinya tentang kerugian konstitusional yang dideritanya bilamana pasal atau norma yang diuji itu tidak dibatalkan.
Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyoroti logika pemohon yang secara tersirat menyamakan rezim pemilu dengan pilkada. Sebab, permohonan untuk menyelenggarakan pemilu lokal yang terdiri atas pemilihan kepala daerah dan DPRD berarti mencampurkan keduanya. Adapun dalam putusan yang lain, MK telah menyatakan pilkada bukan bagian dari rezim pemilu. Argumentasi mengenai hal itu juga diharapkan bisa diperbaiki oleh pemohon. (RINI KUSTIASIH)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2019 di halaman 3 dengan judul “Keserentakan Pemilu Diuji ke MK”. https://kompas.id/baca/utama/2019/10/09/keserentakan-pemilu-diuji-ke-mk-2/