August 8, 2024
Diskusi “Menjamin Keterbukaan Informasi dan Penanganan Disinformasi Pilkada Serentak 2024” di Jakarta (29/5).Rumahpemilu.org/Rikky MF

Keterbukaan Informasi dan Penanganan Disinformasi Jelang Pilkada 2024

Menjelang Pilkada Serentak 2024 komitmen penyelenggara pemilu terhadap akses dan transparansi data pilkada dianggap penting. Hal itu berdampak pada kepercayaan publik terhadap proses dan penyelenggaraan pemilu. Terlebih Pilpres 2024 tak sedikit menyisakan permasalahan mengenai keterbukaan informasi dan penanganan disinformasi pemilu.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyebut, disinformasi bukanlah isu pemilu yang hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga menjadi permasalahan global. Disinformasi dapat mengakibatkan hilangnya hak pilih masyarakat, terutama jika menyangkut tata cara atau teknis pemilihan. Untuk itu, ia mengatakan diperlukan kolaborasi antara masyarakat sipil, pemerintah dan platform media sosial.

“Kami di masyarakat sipil mendorong kolaborasi multipihak dalam penyebaran dan penanganan disinformasi. Tidak bisa hanya Bawaslu saja yang menangani, tetapi juga harus ada kolaborasi dengan platform media sosial, Kominfo, dan organisasi lainnya,” ujar Ninis dalam diskusi Bappenas bertajuk “Menjamin Keterbukaan Informasi dan Penanganan Disinformasi Pilkada Serentak 2024” di Jakarta (29/5).

Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, Ninis memandang penting bagi penyelenggara pemilu untuk segera mengklarifikasi informasi yang salah karena hoaks menyebar dengan cepat. Di samping itu perlu juga didukung oleh platform media sosial menjadi ruang yang aman dan tidak mentoleransi konten yang menghasut dan menyebarkan hoaks.

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat tren hoaks mengalami lonjakan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023 terdapat sekitar 2330 hoaks yang hampir separuhnya muncul di masa Pemilu. Tren tersebut terus meningkat sejak Pemilu 2019 dengan modus disinformasi yang bergeser dari teks ke foto menjadi video. Menurut Ninis, tren tersebut karena video lebih cepat ditangkap oleh publik dibandingkan teks dan gambar.

Selain itu, imbuh Ninis, disinformasi juga bisa menyerang penyelenggara atau teknis pemilu. ia mencontohkan pada Pemilu 2019 yang ramai isu kotak kardus atau surat suara sudah dicoblos. Maraknya media sosial juga dianggap menjadi sarana penyebaran disinformasi yang signifikan, bahkan dengan akun-akun terverifikasi sering kali juga ikut menyebarkan informasi keliru.

“Kami merekomendasikan agar ada deplatformisasi atau penghapusan terhadap akun atau channel dan halaman yang terpantau memproduksi dan menyebarkan disinformasi pemilu secəra rutin. Kemudian profiling aktor dan penindakan hukum oleh Bawaslu, apabila ditemukan unsur-unsur pelanggaran pidana,” terangnya.

Namun Ninis menjelaskan, Pilkada memiliki konteks lokal disinformasi yang berbeda. Untuk itu, literasi politik dan digital perlu ditingkatkan jauh-jauh hari sebelum hari pemungutan suara pilkada. Selain itu informasi pemilu juga harus dibuka seluas-luasnya kepada publik dan data yang ada harus bisa dikembangkan agar mudah dicerna oleh masyarakat secara luas.

Lebih lanjut, Ninis merekomendasikan KPU untuk melakukan komunikasi publik yang baik mengenai proses pungut hitung rekap, Sirekap, dan penetapan hasil pemilu. Selain itu, ia juga mendorong agar publik bisa mendeteksi, menganalisis, dan melaporkan disinformasi, serta menjadikan platform media sosial memberikan tempat khusus bagi konten-konten edukasi informasi pemilu yang kredibel.

Terkait Sirekap, Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos menyebut pihaknya tengah berupaya mengembangkan pemanfaatan pengembangan teknologi dan dan Big Data untuk mendukung terbukanya informasi pilkada. Pengembangan itu kemudian akan disajikan menjadi peta data bersumber dari data agregasi Sidapil, Silon, Sidalih, dan Sipol yang akan diturunkan sampai KPU kabupaten atau kota.

“Ini bentuk open data dari KPU yang masih embrio, baru sekitar 70 persen dan akan dilaunching setelah Penetapan Hasil Pemilu 2024 selesai atau ketika pelantikan Presiden baru nanti di 20 Oktober 2024,” ujar Betty.

Betty sadar keterbukaan data pemilu penting karena bernilai informasi yang memungkinkan publik dan pemangku kepentingan melakukan pencermatan termasuk pada daftar pemilih dan melihat kualitas daftar pemilih. Pihaknya berjanji akan meningkatkan jumlah informasi kepemiluan yang mudah dipahami publik.

Sementara Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Anwar Razak mengatakan, minimnya informasi yang akurat dan transparan terkait pilkada dapat memicu meningkatnya disinformasi yang beredar di masyarakat. Menurutnya, banyak informasi tidak benar beredar luas, namun tidak banyak yang dapat ditangani oleh pihak berwenang.

“Ketidaktahuan atau kebingungan dengan informasi yang tersedia seringkali disebabkan oleh informasi yang tidak akurat atau tidak tersedia informasi sama sekali,” ujar Anwar.

Anwar menyebut, partisipasi dari masyarakat sipil dan platform penyelenggara pemilu sangat penting dalam penanganan hoaks. Ia memandang, hoaks diciptakan dengan sengaja untuk membingungkan publik sebagai alat politik. Ia mengusulkan untuk membentuk kanal khusus penanganan hoaks, sehingga data hoaks dapat diverifikasi dengan cepat dan mudah, serta dilakukan dengan terbuka.

“Tujuannya adalah agar tidak ada pihak tertentu yang terganggu oleh disinformasi yang tidak benar,” ucapnya.

Selain itu ia menilai, beberapa informasi penting yang harus disebarkan kepada publik adalah data dan rekam jejak calon atau profil calon. Menurutnya, informasi tersebut sering kali tidak tersedia di website resmi, padahal publik perlu mengetahui lebih banyak tentang program dan profil calon untuk membuat keputusan yang tepat.

“Dengan memastikan keterbukaan informasi yang efektif, diharapkan masyarakat memperoleh informasi yang akurat dan dapat dipercaya, agar proses pilkada berjalan dengan lebih baik dan transparan,” tutupnya, []