Pada rapat konsultasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Komisi II menyatakan prihatin terhadap sengkarut proses pencalonan anggota DPR, DPR Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan mantan narapidana korupsi sebagai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg), sedangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), melalui putusan peradilannya memutuskan 12 bacaleg mantan narapidana korupsi MS dan wajib dimasukkan kembali ke dalam daftar bacaleg partai politik.
“Mana yang akan menjadi pegangan? Apakah dengan tidak diloloskannya oleh KPU, bisa diloloskan oleh Bawaslu? Kasihan ini peserta kalau tidak ada kejelasan hukum,” ujar Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan (3/9).
Saat Herman meminta kejelasan dari ketua KPU dan ketua Bawaslu yang hadir, anggota Komisi II ramai mengucapkan, “Mesti jelas. KPU dan Bawaslu jangan seperti Tom and Jerry.”
Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua KPU RI, Arief Budiman mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melaksanakan PKPU No.20/2018 selama belum ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PKPU. Jika Bawaslu tak menyetujui norma di dalam PKPU No.20/2018 dan hendak menyatakan bacaleg mantan narapidana korupsi MS, Bawaslu harus mengajukan judicial review (JR) ke MA.
“Kami mengikuti PKPU itu karena PKPU itu belum dibatalkan, masih berlaku. PKPU itu bisa diubah. Jadi, kalau mau diubah, maka mekanismenya, kata Undang-Undang, bahkan Bawaslu boleh mengajukan JR terhadap PKPU,” kata Arief.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Abhan, menerangkan bahwa putusan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota yang meloloskan bacaleg mantan narapidana korupsi mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Pemilu, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa hak warga negara untuk dipilih hanya dapat dibatasi oleh UU dan putusan pengadilan.
“Karena berpedoman pada itulah, Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota memutuskan itu MS,” tukas Abhan.
Abhan kemudian mengatakan bahwa PKPU No.20/2018 tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai bacaleg. PKPU melarang partai politik untuk mencalonkan mantan narapidana korupsi sehingga jika ada partai yang melanggar ketentuan, semestinya KPU mendiskualifikasi partai tersebut sebagaimana KPU mesti mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen di daerah pemilihan (dapil) yang bersangkutan.
“PKPU memang di Pasal 4 menyebutkan bahwa partai, di dalam mengusulkan bacaleg untuk tidak mencalonkan napi koruptor. Nah, kalau ini di syarat pencalonan, maka perlakuan juga harusnya seperti keterwakilan perempuan. Artinya, itu akan menghapus yang lain. Jadi, di PKPU itu tidak di syarat calon, tapi syarat pencalonan.,” tandas Abhan.
Hingga hari ini, MA belum memutuskan permohonan JR terhadap PKPU No.20/2018. MA, oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih didesak untuk segera memutuskan demi proses Pemilu 2019 yang berkepastian.