September 13, 2024

Konsistensi Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Diuji

Penggantian sejumlah calon anggota legislatif oleh sebagian partai politik menjelang penetapan anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 2019 dinilai mengkhianati sistem pemilu proporsional terbuka. Partai politik dianggap tidak siap dan bahkan cenderung menjadi sumber persoalan serius dalam  proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Sebagian hal tersebut mengemuka dalam diskusi “Menjaga Kemurnian Suara Pemilih: Konsisten Menegakkan Sistem Pemilu,” Senin (28/10/2019) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara diskusi, yakni anggota KPU, Evi Novida Ginting, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta, pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Hurriyah, dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Selain itu, hadir pula pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay dan peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Muhammad  Ihsan Maulana.

Dalam paparannya, Titi mengatakan sebagian partai politik melakukan penggantian calon anggota terpilih saat pleno penetapan calon oleh KPU pada 31 Agustus 2019. Sebagian penggantian yang disebabkan pemecatan dan pengunduran diri tersebut seharusnya dilakukan setelah proses pelantikan usai. Adapun sebagian penggantian lain disebabkan adanya gugatan sejumlah caleg ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Titi menjelaskan, dalam putusan tersebut, ada bagian keterangan ahli yang menyampaikan bahwa tatkala suara partai politik lebih besar daripada suara caleg, maka partai politik bisa menentukan siapa yang berhak beroleh kursi. Hal ini, imbuh Titi, bertentangan dengan sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

“(Perolehan) Suara partai tidak ada hubungannya dengan siapa yang berhak memperoleh kursi,” sebut Titi.

Ia mengatakan bahwa perolehan kursi sepenuhnya berdasarkan pada suara terbanyak. Titi menegaskan, partai politik semestinya mengetahui konsekuensi sistem proporsional terbuka yang memungkinkan siapapun terpilih.

Penggantian karena alasan pemecatan dan pengunduran diri terjadi pada calon anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I dan Kalimantan Barat I. Selain itu terjadi juga penggantian pada calon anggota DPR lain dari empat dapil berbeda. Selain itu, diketahui pula terdapat lima caleg DPRD yang belum dilantik. Masing-masing dua caleg di Maluku, dua caleg di Sulawesi Selatan, dan seorang lagi di Sulawesi Barat.

Terkait hal itu, Hadar mempertanyakan bagaimana peran KPU untuk menjaga suara yang telah diberikan oleh rakyat. Ia menambahkan bahwa dalam sistem proporsional terbuka tidak ada aturan bilamana suara partai politik lebih besar, maka partai politik bersangkutan bisa menentukan siapa yang beroleh kursi.

Berpegang Aturan

Evi mengatakan KPU sudah melakukan klarifikasi kepada partai politik bersangkutan saat penentuan calon terpilih. Ia menjelaskan bahwa penggantian calon terpilih bisa dilakukan setelah penetapan berdasarkan surat keputusan pemberhentian dan juga aturan dalam UU Pemilu.

Sejumlah syarat pergantian itu, di antaranya adalah  karena meninggal dunia, mengundurkan diri, dan karena dianggap tidak lagi memenuhi syarat. Evi menyebutkan dalam hal ini KPU melakukan klarifikasi pada partai politik bersangkutan, tetapi tidak sampai mengejar prosesnya dan tidak masuk ke lingkup dinamika internal yang terjadi.

Evi menambahkan, untuk calon anggota DPRD yang belum dilantik, hingga sejauh ini belum dilakukan penggantian. Ia menyebutkan pelantikan yang tidak dilakukan itu menyusul tidak dikeluarkannya sejumlah nama dalam surat keputusan Menteri Dalam Negeri.

Hurriyah pada kesempatan yang sama mengatakan praktik tersebut membuktikan partai politik telah berlaku sewenang-wenang dan mempraktikkan oligarki dengan instrumen demokrasi. Hal ini, imbuhnya, membahayakan kualitas demokrasi di masa mendatang.

Ia mengatakan, selanjutnya penting bagi masyarakat menggantungkan harapan kepada KPU. Ini sebagaimana pernah dilakukan KPU dengan melarang narapidana eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai caleg.

Sekalipun belakangan aturan tersebut dianulir lewat putusan Mahkamah Agung, sikap KPU mengenai isu tersebut telah jelas. Kejelasan sikap yang serupa, kata Hurriyah, dibutuhkan dalam menyelamatkan suara pilihan rakyat yang berkelindan dengan kualitas demokrasi.

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2019/10/28/konsistensi-demokrasi-sistem-proporsional-terbuka-diuji/