December 11, 2024

Kontestan Pilkada Cenderung Berspekulasi di MK

Kontestan pilkada cenderung berspekulasi dalam mendaftarkan gugatan sengketa hasil pilkada pasca-pemungutan suara ulang (PSU). Ini adalah konsekuensi dari dikabulkannya sejumlah perkara yang melewati ambang batas perolehan suara ataupun waktu oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya.

MK sebelumnya menggelar sidang pembacaan tiga putusan dan satu ketetapan dalam perkara perselisihan hasil pilkada jilid II atau pasca-penyelenggaraan PSU, Kamis (27/5/2021). Perkara yang dibacakan itu adalah Nomor 144/PHP.KOT-XIX/2021 Pilkada Kota Banjarmasin, Nomor 138/PHP.BUP-XIX/2021 Pilkada Kabupaten Rokan Hulu, Nomor 137/PHP.BUP-XIX/2021 Pilkada Bupati Sekadau, dan Nomor 140/PHP.BUP-XIX/2021 Pilkada Kabupaten Rokan Hulu.

Dua perkara tidak diterima oleh MK karena dianggap tidak memenuhi syarat formil, yaitu ambang batas perolehan suara. Dua perkara yang tidak diterima itu adalah sengketa hasil pilkada Kota Banjarmasin dan Kabupaten Rokan Hulu.

Adapun perkara selisih hasil Pilkada Kabupaten Sekadau ditolak permohonan untuk semuanya oleh MK, dan satu perkara dari Kabupaten Rokan Hulu dicabut permohonannya.

Dua perkara tidak diterima oleh MK karena dianggap tidak memenuhi syarat formil, yaitu ambang batas perolehan suara. Dua perkara yang tidak diterima itu adalah sengketa hasil Pilkada Kota Banjarmasin dan Kabupaten Rokan Hulu.

Untuk pemohon sengketa Pilkada Kota Banjarmasin yang diajukan pasangan calon nomor urut 4, Ananda dan Mushaffa Zakir, tidak diterima karena selisih perolehan suara dengan pihak terkait, yaitu pasangan nomor urut 2, Ibnu Sina dan Arifin Noor, sebesar 3,45 persen. Sesuai Pasal 158 UU No 10/2016 tentang Pilkada, pemohon dapat memenuhi syarat pengajuan permohonan apabila selisih suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah. Sebab, penduduk Kota Banjarmasin pada semester I tahun 2020 adalah 671.383 jiwa.

”Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar hakim Aswanto.

Untuk sengketa hasil Pilkada Kabupaten Rokan Hulu, syarat ambang batas selisih perolehan suara juga sama, yaitu paling banyak 1 persen dari total suara terbanyak. Namun, perbedaan perolehan suara antara pemohon, yaitu pasangan nomor urut, 1 Hamulian dan Sahril Topan, dan pihak terkait, yaitu pasangan nomor urut 2, Sukiman Indra Gunawan, sebesar 18,49 persen.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pelanggaran yang didalilkan pemohon dalam perkara tersebut ialah politik uang dan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) dalam pemungutan suara ulang tidak terbukti dalam pemeriksaan awal. Oleh karena itu, Mahkamah tidak memiliki alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 158 Ayat (2) UU No 10/2016 tentang Pilkada yang mengatur syarat formil pengajuan permohonan.

”Tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan a quo pada persidangan dengan agenda pemeriksaan persidangan lanjutan,” kata Enny.

Coba-coba

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Ihsan Maulana, mengatakan, tidak diterimanya dua perkara itu menunjukkan kontestan pilkada berspekulasi atau coba-coba saat mendaftarkan sengketa hasil pilkada pasca-PSU. Putusan MK yang sebelumnya mengabulkan lima perkara yang lewat ambang batas perolehan suara maupun batas waktu pengajuan membuat paslon menaruh harapan lebih terhadap MK. Apalagi, dalam memeriksa sengketa hasil pilkada kali ini, MK mengeluarkan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020. Aturan itu memungkinkan MK untuk mengesampingkan syarat formil apabila bukti-bukti yang dibawa ke pengadilan kuat.

Karena ada preseden MK melangkahi syarat formil dalam putusannya, sepertinya menjadi dasar paslon untuk coba-coba dan soal bukti di persidangan menjadi nomor dua.

Karena ada preseden MK melangkahi syarat formil dalam putusannya, sepertinya menjadi dasar paslon untuk coba-coba dan soal bukti di persidangan menjadi nomor dua,” kata Ihsan.

Selain karena faktor spekulasi, menurut Ihsan, karena dalam sengketa hasil pilkada ada limitasi waktu pengajuan, paslon cenderung mendaftarkan perkaranya terlebih dulu. Adapun soal bukti-bukti pelanggaran baru akan dilengkapi ketika perkara diterima dan diregistrasi oleh MK. Padahal, seharusnya, jika memang ada kecurangan pemilu, pemohon sudah menyiapkan bukti-bukti yang akan dibawa ke persidangan.

”Khusus untuk perkara Kota Banjarmasin, sebelumnya MK mengabulkan permohonan untuk PSU karena dalil yang diajukan pemohon kuat. Namun, dalam permohonan kedua ini, dalil yang diajukan pemohon tidak cukup kuat sehingga MK tidak menerima karena dianggap syarat formil tidak terpenuhi. Hukum acara MK memang inkonsisten soal pemeriksaan ini,” kata Ihsan.

Namun, menurut Ihsan, pemeriksaan cepat yang dilakukan MK itu setidaknya memberikan kepastian hukum bagi daerah untuk pergantian kepemimpinan pascapilkada dan PSU. Selama ini, proses pergantian kepemimpinan di daerah tertunda karena masih ada sengketa hukum di MK. Kini, setelah perkara diputus oleh MK, ada kepastian hukum bagi daerah untuk melakukan pergantian kepemimpinan. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/05/27/kontestan-pilkada-cenderung-berspekulasi-di-mk/