JAKARTA, KOMPAS – Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota Legislatif yang memuat ketentuan yang melarang pencalonan mantan narapidana kasus korupsi rencananya akan diundangkan oleh KPU pekan depan. Agar pelarangan tersebut bisa terealisasi, maka diperlukan komitmen serta dukungan semua pemangku kepentingan kepemiluan.
Setelah PKPU Pencalonan disahkan, terbuka peluang PKPU itu akan diuji materi ke Mahkamah Agung. Sesuai Pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PKPU yang diduga bertentangan dengan UU Pemilu bisa diuji ke MA. Bawaslu dan atau pihak yang dirugikan bisa mengajukan uji materi. Permohonan diajukan paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan.
Selain itu, apabila parpol tetap mencalonkan mantan narapidana korupsi, kemudian ditolak oleh KPU, maka calon itu bisa mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan kewenangannya, Bawaslu bisa memutus “nasib” kepesertaan calon tersebut.
Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Kamis (24/5) menuturkan apabila PKPU Pencalonan sudah diundangkan, maka semua pihak harus menghormati dan menjalankannya. Pihak yang tidak setuju dengan PKPU, bisa mengajukan uji materi. Namun, dia mengingatkan agar jangan ada pihak yang “menabrak” aturan tersebut sepanjang masih berlaku. KPU siap menghadapi pengujian materi atas PKPU itu.
“KPU bisa diubah karena dua cara. Pertama, KPU yang mengubah sendiri. Kedua melalui uji materi,” kata Arief Budiman.
Dalam rapat konsultasi penyusunan PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif, Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Bawaslu menyampaikan ketidaksetujuan terhadap Pasal 7 Ayat 1 huruf J draf PKPU Pencalonan yang menyatakan calon anggota legislatif “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”. Pelarangan itu dianggap bertentangan dengan UU Pemilu.
Penolakan ini disayangkan anggota KPU Periode 2012-2017 Sigit Pamungkas. Menurut dia, penolakan itu menujukkan sikap ambivalen dan diskriminatif. Semestinya DPR tidak menolak inisiatif KPU untuk melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri. Alasan bahwa UU Pemilu tidak mengatur hal itu tidak relevan. “Bukankah terkait PKPU Pencalonan Perseorangan (DPP) yang sudah disahkan, pemerintah dan DPR setuju pelarangan terhadap koruptor. Tapi kenapa ketika berkaitan dengan DPR dan DPRD menolak untuk diatur?” katanya.
PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD yang diundangkan 12 April 2018, juga memiliki klausul sama. Pasal 60 Ayat 1 huruf J mensyaratkan calon anggota DPD “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.
Sikap Bawaslu
Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan, Bawaslu tidak anti pemberantasan korupsi, serta mendukung gagasan itu, tetapi harus tetap didudukan dalam proporsi undang-undang. Menurut dia, hak politik hanya bisa dicabut dengan undang-undang atau putusan pengadilan. Dia mengaku menghormati keputusan KPU, tetapi juga akan melihat PKPU itu setelah diundangkan. Dia juga akan menunggu apakah ada pihak yang mengajukan permohonan uji materi. Abhan menyampaikan Bawaslu belum berpikir untuk menguji materi PKPU itu.
Saat ditanya bagaimana posisi Bawaslu saat ada pengajuan sengketa pencalonan dari bakal calon yang ditolak KPU karena berstatus mantan narapidana korupsi, Abhan mengaku akan melihat kasus per kasus.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto serta Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, terpisah, mengingatkan Bawaslu untuk tidak mengesampingkan PKPU Pencalonan jika muncul sengketa dari bakal calon berlatar belakang mantan napi korupsi. Titi mengingatkan Bawaslu bahwa keadilan substantif tidak bisa dicapai dengan mengabaikan prosedur. (ANTONY LEE)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2018 di halaman 4 dengan judul “KPU Butuh Dukungan Publik”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/05/25/kpu-butuh-dukungan-publik/