Maret 29, 2024
iden

KPU Tetap pada Sikapnya

JAKARTA, KOMPAS – Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan tetap memasukkan pelarangan bagi mantan narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 dalam draf peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif.

Sikap KPU tersebut didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penolakan atas pelarangan itu dinilai oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sebagai sesuatu yang aneh.

”Apa kita kekurangan orang di seluruh Indonesia ini? Kenapa harus mau lagi mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ataupun pejabat eksekutif? Ini mengingkari komitmen pemberantasan korupsi yang selalu dibilang penting. Juga tidak memberi pelajaran bagi masyarakat,” ujar Laode di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/5/2018).

Keputusan untuk tetap melarang napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif diputuskan dalam rapat pleno KPU, Selasa (22/5) malam.  Rapat pleno diadakan segera setelah pada siang hingga petang harinya, KPU mengikuti rapat konsultasi draf peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif bersama Komisi II DPR, pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).  Dalam kesimpulan rapat itu, Komisi II DPR, pemerintah, dan Bawaslu menyatakan tidak setuju dengan rencana KPU karena menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.

Ketua KPU Arief Budiman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin mengatakan, KPU memutuskan tetap melarang mantan narapidana korupsi dalam PKPU karena menganggap korupsi harus diselesaikan bersama-sama. KPU mempelajari berbagai regulasi pemilu serta pemilihan kepala daerah dan menemukan ruang kosong pengaturan.

Arief mencontohkan, dalam pengaturan syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden di UU Pemilu disebutkan calon tidak terlibat pidana korupsi. Namun, syarat pencalonan anggota legislatif dalam UU Pemilu belum mencantumkan soal tidak terlibat pidana korupsi, padahal dalam pemilu, hal-hal yang bersifat prinsip berlaku sama.

”Kenapa (pelarangan) diatur di PKPU? Sebab, KPU berpeluang membuat regulasi di PKPU. Tidak ada peluang mengatur di tempat lain,” kata Arief.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menambahkan, KPU mempertahankan pelarangan mantan narapidana korupsi karena salah satu aspirasi utama reformasi adalah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Upaya itu harus dimulai dari perekrutan calon anggota legislatif.

Didukung masyarakat

Pada saat bersamaan, KPU juga akan menggandeng KPK untuk mengimbau parpol agar tidak mencalonkan mantan narapidana perkara korupsi.
”Kami ingin meminta KPK juga ikut mendorong parpol tidak mencalonkan mantan napi korup,” kata Pramono.

Langkah KPU ini didukung Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, dan Komite Pemantau Legislatif. Dalam pernyataan sikap bersama, mereka mendorong KPU tetap memasukkan larangan mantan narapidana korupsi dalam PKPU Pencalonan Anggota Legislatif.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan, jika KPU memutuskan membuat aturan di luar UU Pemilu, pasti akan ada yang menggugat. Dia mempersilakan jika KPU memilih sikap berbeda dengan hasil kesimpulan rapat.

”Kami semua antikorupsi, tetapi tidak mau melanggar undang-undang. Tidak boleh juga karena antikorupsi, hal yang tidak diatur dalam undang-undang mau dibuat. Kemarin, kami tawarkan PKPU tetap sama dengan undang-undang, kemudian KPU membuat surat imbauan atau edaran kepada parpol. Itu tawaran bijak,” kata Amali.

Mengundurkan diri

Masih berkaitan dengan pencalonan anggota legislatif, syarat aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri, pegawai badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau pengelola badan lain yang anggarannya dari keuangan negara menjadi calon anggota legislatif diperketat.

Jika mereka mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, mereka wajib melampirkan bukti bahwa permohonan pengunduran dirinya sedang diproses instansinya.

Arief mencontohkan kejadian di Kalimantan Selatan. ”Ada ASN sudah membuat surat pengunduran diri untuk ikut pemilu. Setelah gagal terpilih, dia kembali menjadi ASN. Tiga tahun kemudian terjadi pergantian antar- waktu di DPRD dan dia masuk di DPRD, dia kembali mengajukan mundur dari ASN karena yang sebelumnya tidak diproses. Praktik-praktik seperti ini sering terjadi,” tuturnya.

Akan tetapi, hal ini ditolak pemerintah. Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, pemberhentian ASN membutuhkan proses berjenjang sehingga memakan waktu lama.
Apalagi jika mereka yang maju menjadi caleg itu berpangkat tinggi, pemberhentian harus  dikeluarkan oleh presiden. Jadi, jika harus disertai SK pemberhentian, tak akan cukup waktu mengeluarkan surat pemberhentian tersebut. (ANTONY LEE DAN A PONCO ANGGORO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 24 Mei 2018 di halaman 2 dengan judul “KPU Tetap pada Sikapnya”. https://kompas.id/baca/utama/2018/05/24/kpu-tetap-pada-sikapnya/