April 25, 2025

Kuota 30 Persen Perempuan Bukan Formalitas, KPU Harus Tegas

Isu keterwakilan perempuan dalam politik kembali menjadi sorotan menjelang Pemilu 2024. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki tanggung jawab penuh dalam memenuhi kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg). Komnas HAM menilai bahwa afirmasi politik bagi perempuan bukan sekadar aturan administratif, melainkan bentuk perlindungan hak asasi manusia yang harus dijamin negara agar perempuan dapat berpartisipasi secara setara dalam sistem politik.

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Ruang Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menegaskan bahwa KPU dan seluruh penyelenggara pemilu, termasuk lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung (MA), harus memastikan perempuan tidak kehilangan hak politiknya akibat ketidaktegasan dalam penerapan aturan kuota gender.

“Pelindungan hak asasi manusia adalah kewajiban negara, dan KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki peran penting dalam menjamin bahwa perempuan tidak hanya diberikan hak untuk dipilih, tetapi juga difasilitasi melalui kebijakan afirmasi yang sudah diatur dalam undang-undang,” jelas Atnike dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Ruang Sidang DKPP, Jakarta (23/10).

Atnike menekankan bahwa perempuan masih berada dalam posisi rentan secara sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh karena itu, kebijakan afirmasi yang mewajibkan keterwakilan minimal 30 persen perempuan dalam daftar calon anggota legislatif harus dipenuhi dan diawasi secara ketat. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta berbagai regulasi lainnya yang mengikat.

Dalam Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Dengan demikian, KPU harus memastikan bahwa keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif benar-benar terpenuhi agar prinsip keadilan dalam demokrasi dapat terwujud.

“Hal ini penting untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif, di mana perempuan tidak hanya menjadi pelengkap dalam daftar calon, tetapi juga memiliki peluang nyata untuk menduduki jabatan publik,” ujar Atnike.

Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, dalam kesempatan yang sama menegaskan bahwa isu keterwakilan perempuan dalam politik harus dipahami dalam kerangka prinsip non-diskriminasi, kesetaraan substantif, dan kewajiban negara. Menurutnya, sistem kuota 30 persen bukan hanya sekadar kebijakan nasional, tetapi juga merupakan bagian dari komitmen global Indonesia dalam meningkatkan partisipasi perempuan di sektor politik.

“Selama ini masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasi kebijakan afirmasi, terutama dalam memastikan bahwa keterwakilan perempuan tidak hanya sebatas memenuhi syarat administratif, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam pengambilan keputusan politik,” kata Aminah.

Siti Aminah juga menegaskan bahwa proporsi kursi yang ditempati di tingkat pemerintahan daerah dan pusat harus memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Ia mengingatkan bahwa sebagai penyelenggara negara, KPU tidak boleh mereduksi kebijakan afirmasi yang telah menjadi standar global hanya karena alasan administratif atau formatif.

“Kebijakan ini harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh agar perempuan memiliki akses yang sama dalam proses politik dan dapat berkontribusi secara aktif dalam pembangunan demokrasi,” jelasnya.

Meskipun regulasi telah mengatur dengan jelas, pelaksanaan keterwakilan perempuan dalam daftar caleg masih menemui berbagai hambatan. Beberapa partai politik masih menganggap pencalonan perempuan sebagai formalitas semata, tanpa benar-benar memberikan mereka peluang untuk bersaing secara setara. Dalam beberapa kasus, daftar calon perempuan hanya disusun untuk memenuhi syarat administratif, sementara dalam praktiknya mereka tidak mendapatkan dukungan dalam kampanye dan strategi pemenangan. Selain itu, masih terdapat bias gender dalam politik yang menghambat perempuan untuk maju dan bersaing secara kompetitif.

Tantangan lainnya adalah kurangnya pengawasan ketat terhadap penerapan kebijakan afirmasi. Tanpa pengawasan yang memadai, partai politik bisa saja menyiasati aturan ini dengan menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak strategis atau memasukkan mereka sebagai calon hanya untuk menggugurkan kewajiban.

“Oleh karena itu, peran lembaga pemantau pemilu, organisasi masyarakat sipil, dan media sangat dibutuhkan dalam memastikan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik benar-benar diwujudkan sesuai dengan amanat undang-undang,” ujar Aminah.

Dalam menghadapi Pemilu 2024, Komnas HAM berharap KPU dapat lebih transparan dalam memastikan pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Partai politik juga didorong untuk benar-benar memberdayakan calon perempuan agar mereka memiliki peluang yang sama dalam kontestasi politik. Demokrasi yang inklusif tidak hanya mengandalkan jumlah suara, tetapi juga keberagaman dalam representasi. Dengan memastikan perempuan mendapatkan ruang yang setara, Indonesia dapat memperkuat kualitas demokrasi dan mencapai keseimbangan kepemimpinan yang lebih baik di masa depan. []