Maret 19, 2024
iden
Sumber: akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI

Mahkamah Konstitusi Dorong Pembentuk UU Evaluasi Pemilu Serentak

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh empat mantan penyelenggara pemilu ad hoc terkait desain pemilu serentak yang diatur di dalam Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak”, dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.7/2017 terhadap UU Dasar (UUD) 1945. MK berpendapat, opsi-opsi desain pemilu serentak telah diberikan oleh MK melalui Putusan No.55/2019. Pilihan pemilu serentak merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

“Keinginan para pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya,” dikutip dari Putusan MK No.16/2021 yang dibacakan pada Rabu (24/11).

Namun demikian, MK menegaskan dalam putusannya agar pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu segera menindaklanjuti Putusan MK No.55/2019. Penentuan model pemilu serentak pada Pemilu 2024 diharuskan oleh MK berdasar pada kajian, simulasi, serta pelibatan pihak secara meluas.

“..dengan telah semakin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi a quo.”

Di dalam Putusan, MK juga menyebutkan dua hal yang dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang, yakni mengatur adanya jeda waktu pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD serta pemilihan Presiden/Wakil Presiden, atau mengupayakan aturan teknis yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc.

Respon pemohon

Kuasa hukum para pemohon, Fadli Ramadhanil, menyampaikan bahwa Putusan MK No.16/2021 ini memiliki implikasi serius terhadap pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang diharuskan untuk segera melakukan evaluasi terhadap desain pemilu serentak usai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

“MK menegaskan kembali, pembentuk undang-undang belum melakukan evaluasi serius dalam menyusun kerangka hukum pemilu, setelah dilaksanakannya Pemilu 2019, khusus lagi, setelah adanya Putusan MK No. 55 Tahun 2019. Ini terbukti dengan adanya narasi pertimbangan MK agar pembentuk UU segera menindaklanjuti Putusan MK, utamanya terkait lima prasyarat yang harus dilalui di dalam memilih format keserentakan pemilu,” ujar Fadli kepada rumahpemilu.org (24/11).

Fadli juga menyampaikan agar pembentuk undang-undang memerhatikan salah satu contoh untuk mengurangi beban pemilu serentak yang disebutkan oleh MK dalam Putusan No.16/2021, yakni memberikan jarak antara pemilu nasional dengan Pemilu DPRD.

“Hal ini perlu diperhatikan serius oleh pemerintah untuk ditindaklanjuti segera,” pungkas Fadli.