April 18, 2024
iden

Masalah Personal Kepala Daerah dengan KPUD Sandera Pembiayaan Pilkada 2020

Sentimen personal kepala daerah dengan Komisi Pemilihan Umum disebut menjadi salah satu penyebab lambatnya penyusunan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Ini merupakan tindakan yang tidak elok dan bentuk kemunduran demokrasi.

Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipublikasikan pada Selasa (5/11/2019), masih tersisa 5 dari 270 daerah yang belum menandatangani NPHD, yakni Simalungun, Sumatera Utara; Solok Selatan, Solok, dan Tanah Datar, Sumatera Barat; serta Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, dua dari lima daerah tersebut, ganjalan penyusunan NPHD berakar pada persoalan personal antara kepala daerah dan lembaga penyelenggara pilkada. Dua daerah tersebut adalah Simalungun, Sumatera Utara, dan Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Pramono mengatakan, kepala daerah kedua kabupaten tersebut memiliki relasi yang tidak baik dengan lembaga penyelenggara pilkada setempat.

Pramono memberikan contoh, tidak berhasilnya pembahasan NPHD di Simalungun adalah imbas dari persoalan personal kepala daerah. Ia mengatakan, Bupati Simalungun sempat mengajukan diri dalam Pilgub Sumatera Utara pada Pilkada 2018. Namun, KPU tidak menetapkannya sebagai salah satu pasangan calon karena persyaratannya tidak terpenuhi.

”Jadi, imbas Pilgub Sumut 2018, masih ada kaitannya dengan kelonggaran pemda soal anggaran ini,” kata Pramono di Kantor KPU, Jakarta.

Sementara itu, di Pangkajene Kepulauan, relasi kepala daerah yang buruk tidak hanya terhadap KPU, tetapi juga Bawaslu. Pramono mengatakan, kepala daerah setempat tersinggung dengan tindakan penyelenggara pemilu di daerah yang disebut cenderung menyerang kepala daerah dalam mengajukan anggaran.

”Jadi, kalau mengajukan anggaran ini secara informal saja, tidak perlu bernada menyerang di media. Jadi, sekarang ada persinggungan antara kepala daerah dan penyelenggara pemilu. Baik KPU maupun Bawaslu-nya,” kata Pramono.

Sementara itu, pada tiga daerah lainnya, kebuntuan penyusunan NPHD lebih disebabkan pada tidak adanya dialog pembahasan antara pemda dan penyelenggara pilkada.

Sebagai contoh, Pramono mengatakan, di Solok Selatan, KPU pada awalnya mengajukan usulan anggaran Rp 27 miliar. Namun, dari awal, Pemkab Solok Selatan memaku pagu pada angka Rp 14 miliar. Melihat hal ini, KPU pun bersedia menurunkan menjadi Rp 23 miliar, angka yang dirasa menjadi angka minimum penyelenggaraan pilkada di daerah tersebut. Namun, pemda tidak bersedia berkompromi.

”Jadi, di tiga daerah ini kami melihat pemerintah daerahnya kurang responsif untuk membahas persoalan anggaran secara terbuka dengan KPU kabupaten setempat,” kata Pramono.

Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kemendagri Bahri membantah bahwa relasi yang buruk antara kepala daerah dan lembaga penyelenggara pilkada menyebabkan terhambatnya penyusunan NPHD di sejumlah daerah.

Bahri mengatakan, hal yang mengganjal proses kesepakatan pembiayaan pilkada di setiap daerah adalah tidak adanya dialog antara pemda dan lembaga penyelenggara pilkada.

”Umumnya, pemda itu menentukan pagu anggaran secara sepihak; tidak ada dialog, tidak ada komunikasi. Padahal, Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 menentukan bahwa pendanaan adalah hasil kesepakatan pembahasan bersama,” kata Bahri.

Jadi, di tiga daerah ini, kami melihat pemerintah daerahnya kurang responsif untuk membahas persoalan anggaran secara terbuka dengan KPU kabupaten setempat.

Untuk itu, Bahri menjanjikan bahwa pihaknya akan berhasil memastikan semua daerah telah menandatangani NPHD untuk penyelenggaraan Pilkada 2020 paling lambat Jumat (8/11/2019) pekan ini.

Padahal, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan Penyelenggaraan Pilkada 2020, penyusunan dan penandatanganan NPHD sudah harus tuntas pada 1 Oktober 2019. Lambatnya proses tersebut membuat KPU memberikan kelonggaran selama dua minggu hingga 14 Oktober. Namun, hingga Selasa kemarin, masih ada lima daerah di atas yang belum menuntaskan tahapan tersebut.

Untuk itu, sejak dua pekan terakhir, Bahri mengatakan, Kemendagri telah melakukan asistensi dalam bentuk memfasilitasi pembahasan usulan KPU dan Bawaslu dengan pemerintah daerah di Jakarta.

Bahri mengungkapkan, lima daerah di atas memang belum mendapat giliran untuk dipanggil Kemendagri ke Jakarta. Menurut rencana, satu per satu mereka akan dipanggil untuk mendapatkan mediasi pertemuan dengan KPU dan Bawaslu.

”Kami akan bangun komunikasi kembali antara KPU-Bawaslu dan pemda. Insya Allah setelah kami tangani selama ini semua permasalahan bisa selesai semua. Sejauh ini tidak ada yang deadlock,” kata Bahri, dihubungi dari Jakarta.

Untuk itu, Bahri mengungkapkan, akan ada sanksi administratif kepada kepala daerah yang tidak mau memberikan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada. Sebab, pilkada merupakan kegiatan prioritas nasional. ”Kalau tidak melaksanakan itu, mereka bisa diberi sanksi administratif,” kata Bahri.

Sanksi administratif tersebut berbentuk pembinaan kepala daerah dalam jangka waktu tertentu oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri.

Demokrasi disandera

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menilai, tindakan sejumlah kepala daerah dalam menyandera pembiayaan penyelenggaraan pilkada karena masalah pribadi adalah tindakan yang tidak elok.

”Ini pilkada, kan, kepentingan masyarakat. Tindakan itu menegasikan proses demokrasi yang seharusnya berjalan dengan baik sejak awal,” kata Ferry.

Oleh karena itu, menurut Ferry, pemerintah pusat harus turun tangan untuk secara langsung melakukan penekanan terhadap daerah-daerah yang tidak segera menyusun NPHD. (SATRIO PANGARSO WISANGGENI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/11/05/masalah-personal-kepala-daerah-dengan-kpud-sandera-pembiayaan-pilkada-2020/