Menyusun daftar pemilih merupakan kerja yang kompleks. Data pemilih harus betul-betul baik agar tidak terjadi penghapusan hak memilih. Di banyak negara, kerap terjadi kasus pemilih tak bisa memilih lantaran namanya tak terdaftar di daftar pemilih.
Di Nigeria misalnya, pada Pemilu 2007, KPU Nigeria memutuskan untuk menggunakan teknologi perangkat Direct Data Capture (DDC) untuk membuat daftar pemilih. Pengadaan teknologi ini tersendat dan petugas pendaftaran pemilih tak memahami dengan baik pengoperasian DDC sehingga pendaftaran dilakukan secara manual. Proses pendaftaran pemilih melewati tenggat waktu yang diatur di dalam regulasi, dan banyak pemilih yang tercerabut hak pilihnya. Daftar pemilih akhirnya digugat ke pengadilan oleh 18 partai politik peserta pemilu.
Tiga teknik pengumpulan data pemilih
Data pemilih dapat dikumpulkan melalui tiga teknik. Pertama, memindahkan data kependudukan atau data populasi tertentu ke dalam data pemilih. Pada teknik ini, format data kependudukan atau data populasi harus dirancang agar kompatibel dengan format database pemilih. Desain format yang tidak tepat akan menyebabkan masalah atau setidaknya komplikasi ketika data digabungkan. Format kode juga dilakukan dengan benar untuk mempercepat dan memfasilitasi entri data.
Dalam hal daftar pemilih periodik, mengumpulkan data pemilih dengan teknik pertama membutuhkan migrasi data penduduk atau data asal ke dalam daftar pemilih setiap kali daftar pemilih dibuat. Tantangannya ialah, membersihkan dan menentukan data yang sesuai dengan syarat sebagai pemilih. Database penduduk tidak dibuat untuk menjadi database daftar pemilih. Daftar itu berisi informasi yang tidak berhubungan dengan daftar pemilih, dan barangkali memiliki desain database, standar pengkodean, serta menggunakan perangkat lunak yang berbeda. Oleh karena itu, proses pembuatan daftar pemilih periodik dengan teknik memindahkan data bukanlah proses yang sederhana.
Sebagai contoh, data geografis alamat pemilih. Jika format data tidak ditransfer dengan benar ke tempat data akan diekspor, database pemilih akan kesulitan mengenali format tersebut dan kemungkinan akan menafsirkannya dengan tidak benar, bahkan terdapat data yang hilang. Apalagi, jika format data alamat penduduk tidak terstruktur dengan benar, maka database pemilih tidak mungkin untuk dapat menetapkan pemilih ke suatu TPS secara otomatis. Proses ini memerlukan beberapa jenis perangkat lunak yang dapat mengenali alamat dan menetapkan kode lokasi dengan tepat, atau pemeriksaan manual.
Berbeda halnya dengan daftar pemilih berkelanjutan. Daftar pemilih yang telah ada kemudian diperbarui secara terus-menerus oleh penyelenggara pemilu. Namun, masih terdapat tantangan jika pembaruan data bergantung pada data dari kementerian/lembaga lain. Proses ini mengharuskan penyelenggara pemilu untuk berbagi data dengan lembaga yang menerbitkan akta kelahiran, pernikahan, atau kematian, sehingga proses impor data dengan kompleksitas yang telah dijelaskan masih dapat terjadi. Namun, dengan skala jumlah data yang lebih kecil.
Kedua, entri data manual. Tantangannya yakni, jutaan data pemilih yang harus dimasukkan secara manual. Jika teknik ini digunakan, maka beberapa tes wajib dilakukan, yaitu tes beban untuk menentukan berapa banyak data yang dapat diproses dalam jangka waktu tertentu, tes kinerja untuk menentukan apakah antarmuka entri data merespons dengan baik jika jaringan stabil atau tidak stabil, dan uji fungsionalitas untuk menentukan apakah desain antarmuka sesuai dan tidak berkontribusi pada kesalahan entri data.
Daftar pemilih yang dibuat secara entri data manual juga harus diaudit. Audit dapat dilakukan dengan membandingkan data yang dimasukkan dengan data asal, atau dengan entri ganda. Pada entri ganda, data yang sama dimasukkan oleh dua kelompok operator yang terpisah dalam dua operasi terpisah. Data kemudian dibandingkan dan data yang tidak cocok ditandai untuk diperiksa. Laporan kesalahan kemudian menjadi bahan untuk perbaikan, dan semestinya tersedia bagi pemantau dan peserta pemilu.
Ketiga, pemindaian dengan Optical Mark Recognition (OMR) and Optical Character Recognition (OCR). Teknologi pemindaian secara signifikan mengurangi kebutuhan akan infrastruktur dan operator data yang besar dari teknik entri data manual. Tetapi, tingkat kesalahan mesin pemindai harus diketahui sebelumnya, dan rencana untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan harus ditentukan sejak awal.
Berikut perbandingan efektivitas antara teknik pemindaian dengan entri data manual.
Kelemahan teknik pemindaian terletak pada ketergantungannya terhadap format sumber data. Jika sumber data tidak diformat dengan baik untuk dapat dipindai dengan mudah, kemungkinan teknologi pemindai akan membuat banyak data korup atau rusak.
Sistem OMR dinilai lebih akurat daripada sistem OCR. OMR mengenali tanda yang dimasukkan pada formulir, sedangkan OCR digunakan untuk memproses data tertulis. Untuk meningkatkan keakuratan proses pemindaian dengan aplikasi OCR, disarankan agar informasi diberikan dalam kode numerik.
Jika OCR atau OMR digunakan, mereka yang mengisi formulir pendaftaran pemilih juga harus dilatih agar dapat mengisi formulir dengan minimal kesalahan. Jika pada prosesnya masih terdapat formulir yang tidak diisi dengan jelas dan lengkap, maka data di dalam formulir tersebut harus dimasukkan secara manual. Untuk tujuan itu, perangkat lunak OCR harus memiliki fungsi deteksi kesalahan bawaan dan harus dapat memisahkan hasil pemindaian yang rusak.
Menentukan desain database pemilih
Terdapat dua jenis data dalam database pemilih, yakni data utama dan data sekunder. Data utama adalah informasi yang wajib ada dalam daftar pemilih menurut peraturan perundang-undangan pemilu, misalnya nama depan, nama belakang, tanggal lahir, dan alamat. Sedangkan data sekunder ialah informasi yang tidak disebutkan oleh kerangka hukum, tetapi berguna dalam administrasi proses pemilu, contohnya TPS tempat pemilih terdaftar, juga catatan perpindahan TPS.
Desain database mesti ditentukan dengan pertimbangan kemudahan pengolahan data. Catatan National Democratic Institute (NDI), informasi pemilih yang dibagi ke dalam kategori nama depan, belakang, nama jalan tempat tinggal pemilih, nomor rumah, kota, dan provinsi akan memudahkan petugas pemilu menentukan wilayah pemilihan, dibandingkan dengan hanya membaginya ke dalam dua kategori atau kolom, yaitu nama pemilih dan alamat.
Simak perbedaan dua tabel di bawah ini.
Desain database haruslah telah ajeg sebelum proses input data dimulai. Database yang didesain dengan buruk bukan tak mungkin menyebabkan pengulangan input data, menyulitkan pengkategorian data berdasarkan kriteria tertentu, dan merusak akuntabilitas database.
Akuntabilitas daftar pemilih
Akuntabilitas daftar pemilih mengharuskan database untuk didesain mencatat perubahan, penghapusan, dan penyisipan. Catatan ini akan digunakan untuk peninjauan.
Untuk mengevaluasi produk database pun, pengevaluasi perlu memahami arsitektur database. Sebagai contoh, ketika dibutuhkan untuk membuat daftar pemilih pemula, maka arsitektur data mesti dilihat untuk bisa mengetahui apakah daftar pemilih pemula dapat dibuat secara mudah dan valid. Jika terdapat label atau kolom usia di dalam database pemilih, maka kueri atau instruksi bisa dilakukan dengan mudah dan valid.
Memverifikasi daftar pemilih
Memverifikasi daftar pemilih dapat melalui pemberian kode unik kepada setiap pemilih. Caranya, penyelenggara pemilu memasukkan kode unik kepada masing-masing pemilih di dalam database pemilih. Kode ini harus memiliki format standar, berbeda dan terdefinisi dengan baik sehingga database dapat memelihara hubungan antara potongan informasi yang berbeda dengan baik, data pemilih di dalam database dapat dengan mudah ditemukan, dan mencegah adanya data ganda jika kode unik ditetapkan dengan menggabungkan beberapa informasi pemilih.
Pada intinya, terdapat 7 prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah daftar pemilih. Pertama, memuat data utama pemilih sebagaimana yang diatur oleh kerangka hukum. Informasi pemilih tambahan mungkin diperlukan untuk pemilih luar negeri atau pemilih dengan keadaan khusus. Informasi utama ini menjadi dasar untuk akomodasi hak suara pemilih.
Kedua, memuat data sekunder pemilih. Dalam kerja manajemen pemilu, penyelenggara pemilu biasanya memerlukan untuk mengintegrasikan berbagai data untuk kebutuhan pengelolaan pemilu yang tepat. Data sekunder seperti TPS tempat pemilih memilih akan membantu penyelenggara pemilu untuk mengakomodasi pemilih dengan kebutuhan khusus.
Ketiga, daftar pemilih haruslah akuntabel. Records atau catatan tidak boleh dihapus di dalam database, melainkan dapat diberikan tanda yang mengartikan bahwa data tersebut telah dihapus atau diubah.
“Mengikuti prinsip akuntabilitas yang sama, perubahan dalam database harus dicatat, dengan informasi tentang siapa yang mengubah data dan siapa yang mengizinkan perubahan. Ini disebut “Jejak Audit” – yaitu, catatan perubahan dalam database daftar pemilih.” (NDI 2001, hal.23)
Keempat, aman. Database mestilah disimpan di tempat yang aman, meminimalisir terjadinya manipulasi data secara tidak sah dan tidak terdeteksi, serta kerja operator, supervisor dan administrator dilakukan secara transparan.
Kelima, aksesibel tetapi melindungi data privasi pemilih. Pemantau dan peserta pemilu diberikan ruang untuk meninjau prosedur penyusun dan penyimpanan daftar pemilih, guna meyakinkan para pihak bahwa daftar pemilih dikelola dengan tepat dan aman.
Keenam, adanya kompatibilitas antara format data asal dengan data pemilih. Hal ini untuk memastikan interaksi antara data berlangsung secara baik dan tak justru merusak data.
Ketujuh, dilakukannya pengujian data. Uji terhadap data akan dapat mengidentifikasi kesalahan seperti data ganda, data pemilih yang hilang, data warga yang tidak berhak pilih, atau data pemilih yang dimasukkan ke daerah pemilihan yang salah. Pengujian juga bermanfaat untuk menunjukkan persentase dan representasi pemilih tertentu, seperti pemilih manula, pemilih luar negeri, pemilih disabilitas, pemilih pemula, dan pemilih perempuan.
*Artikel liputan khusus ini merupakan ringkasan dari Chapter III Monitoring Electronic Techonologies Used in Voter Registration yang ditulis oleh Richard L. Klein dan Patrick Merloe. Judul buku: Building Confidence In the Voter Registration Process: An NDI Monitoring Guide for Political Parties and Civic Groups (2001).