October 15, 2024

Membudayakan Pemilu

Apa sebab pemilu belum menarik banyak publik? Banyak dari kita menjawab: dewan dan pemerintahan berjalan tak baik. Partisipasi pemilu tak linear dengan kualitas pemerintahan terpilih.

Tapi jika kita melepaskan variabel peserta pemilu dan hasil pemilihan, pada dasarnya pemilu memang belum membudaya dalam demokratisasi. Perbincangan soal sistem, manajerial penyelenggara, hukum, beserta sejumlah isu khusus pemilu masih jauh dari masyarakat. Bahkan, bahasan pemilu lebih jauh dari politik dan demokrasi. Yang menarik, tak sedikit dari aktivis demokratisasi menilai pemilu sebagai omong kosong lima tahunan. “Demokrasi yes pemilu no!” Katanya.

Pemaknaan politik yang jauh dari urusan sosial dan personal menambah melangitnya pemilu dari bumi. Indonesia di masa Orde Baru mengalami fase pengharaman politik. Kajian pemilu saat itu pun tak asyik karena hasilnya sudah tahu sebelum pemungutan suara.

Pemilu tak dimiliki publik. Ia ditempatkan sebagai soal prosedur dan struktur, bukan kultur. Dampaknya pemilu dimaknai hanya urusan elite. Pemilu dengan pemaknaan elitis lalu mendekat tak tahu malu di jelang pencoblosan. Partisipasi memilih lepas dari pemaknaan rakyat sebagai subjek berdaulat. Suara berarti objek yang diakumulasi menjadi kursi, bukan aspirasi.

Belajar dari antikorupsi

Melangitnya pemilu mirip dengan isu antikorupsi di awal pasca-Reformasi. Orang pusing menyimak bahasan korupsi di TV, apalagi berdiskusi atau sebatas ngobrol. Bahkan jika ditanya masalah korupsi kepada para ibu penonton infotainmen, kebanyakan malah membahas cinta segitiga Antasari Azhar-Rani (cady golf)-Nasrudin.

Awalnya, antikorupsi bertantangan dengan undang-undang yang memaknai “korupsi” sebatas soal uang negara dan pejabat publik. Pemaknaan ini menempatkan korupsi sebagai permasalahan struktural. Memang, saat itu pun sudah ada pernyataan “korupsi adalah masalah kultural”. Tapi pernyataan ini tak menyertai makna korupsi secara kultural, maknanya tetap sebatas prosedural hukum.

Pemahaman korupsi yang masih elitis tergambar dengan gagalnya demonstrasi gerakan sejuta facebooker dukung Cicak (cinta Indonesia cinta antikorupsi) vs Buaya. Jumlah “like” yang hampir satu juta di page facebook itu hanya hanya mampu mendatangkan kurang dari 50 demonstran mendukung KPK. Ada hambatan pemahaman antara korupsi sebagai hal struktural yang coba diterapkan di kultural.

Seiring capaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), isu antikorupsi meluas menyertai kulturalisasi “(anti)korupsi”. Dalam prosesnya gerakan antikorupsi memaknai kata “jujur” sebagai langkah awal sebagai pemberantasan korupsi. Dengan slogan “Berani Jujur Hebat”, gerakan antikorupsi mempopulerkan bahasan korupsi yang rumit ke media pop seperti lagu, film, dan media sosial. Pemahaman antikorupsi makin meluas. Komunitas muda antikorupsi merumput.

Sekarang, (anti)korupsi dibahas banyak masyarakat. Pemberitaannya ditunggu layaknya hasil pertandingan sepakbola. Obrolannya mengisi ruang transportasi publik. Bahkan, pemilu pun menjadi penting disinggung jika berkaitan dengan korupsi: ketua partai pelaku korupsi, jangan pilih caleg/partai korup, dana bantuan sosial, dan sebagainya.

Kulturalisasi pemilu

Membudayakan pemilu bisa belajar dari gerakan antikorupsi yang mempopulerkan kata “korupsi” dengan makna kejujuran. Jargon “Jurdil”, “Luber”, “hak pilih”, dan lainnya sebaiknya dibahasakan sesuai dengan ikatan sosial di masyarakat. Di antaranya pemilu perlu didekatkan dengan pemuda sesuai passion dan komunitasnya.

Misal: komunitas jurnalis kampus didekatkan dengan pelatihan jurnalistik pemilu; libatkan komunitas film dengan lomba film pendek pemilu; juga komunitas seni yang lain untuk menyampaikan opini melalui media seninya masing-masing; ajak fans Manchester United memilih di pemilu dengan diskusi “Pemilu dan Sepakbola” atau “Korupsi Politik di PSSI”.

Gerakan pemilu perlu melakukan percepatan perluasan pemahaman dan dukungan massa terhadap pemilu. Kita tahu, pemilu merupakan barang baru bagi Indonesia. Pasca-Reformasi, Indonesia baru tiga kali secara “benar” melaksanakan pemilu (1999, 2004, dan 2009). Penyelenggaraan pemilu yang “benar”hampir seusia dengan kesungguhan pemberantasan korupsi.

Inspirasi komisioner

Tapi yang perlu diingat, pembudayaan, apa pun itu, bukanlah proses pendek. Perluasannya pun harus bertahap menyertai berbagai pihak dan pendekatan. Pembudayaan antikorupsi berhasil cukup cepat karena disertai capaian kerja struktural pemberantasan korupsi oleh KPK. Nama seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto, atau jubir KPK, Johan Budi dikenal sebagia sosok ideal seiring pemberitaan kerja struktural KPK.

Gerakan pemilu belum mempunyai inspirasi struktural dari KPU layaknya kerja hebat KPK yang menginpirasi masyarakat hingga komunitas antikorupsi tumbuh di akar-rumput. KPU di Pemilu 1999 yang diisi perwakilan partai peserta pemilu ricuh sikapi hasil pemilu hingga Presiden Habibie turun tangan. Capaian positif modernisasi penyelenggaraan Pemilu 2004, hangus karena kasus korupsi salah satu komisionernya. KPU di Pemilu 2009 dinilai buruk terkait permasalahan daftar pemilih.

Semoga KPU di Pemilu 2014 dengan semangat transpransinya bisa menginspirasi pembudayaan pemilu. Jika komisioner pemilu kerja hebat masyarakat bisa terangsang menyukai pemilu.

Kita membayangkan, jika prinsip Jurdil dan Luber diterapkan di Pemilu 2014 dan terasa kuat oleh rakyat, prinsip pemilu itu pun terdorong diterapkan dalam pemilihan yang lebih bersifat keseharian: memilih kepala keluarga, memilih ketua kelas, memilih ketua RT, memilih forum penasehat sekolah, dan sebagainya. Mungkin semua upaya pembudayaan pemilu tersebut jika disimpulkan dengan slogan, bunyinya: “Men-Jurdil-Luber-kan Masyarakat, dan Memasyarakatkan Jurdil-Luber”. []

USEP HASAN SADIKIN