October 8, 2024

Memperhatikan Keterwakilan Perempuan 30% di KPU dan Bawaslu

Secara formal, peningkatan keterlibatan perempuan sudah diatur dengan baik dalam undang-undang. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik didorong melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif, maupun di lembaga penyelenggara pemilu.

Namun dalam praktiknya, perempuan terbentur langit-langit kaca dalam peningkatan keterlibatan secara politik. Perempuan mengalami halanganhalangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat secara politik.

Ada beberapa hambatan yang sering dialami oleh perempuan dan menghalangi dalam partisipasi sebagai penyelenggara pemilu. Pertama, budaya patriarkis seperti kepemimpinan dalam masyarakat yang berpusat pada tokoh laki-laki. Kedua, soal pengetahuan kepemiluan yang masih sulit bagi perempuan. Ketiga, alasan geografis yang menghambat perempuan mengakses pemenuhan hak politik.

Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Convenstion on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women/CEDAW. Konvensi ini menekankan penghapusan diskriminasi kaum hawa di dalam politik serta kesepakatan internasional yaitu rencana aksi Beijing yang sudah diratifikasi Indonesia. Dalam tujuan pembangunan jangka pendek (SDGs), Indonesia ditunjuk sebagai negara model untuk mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan di dalam bidang politik.

Setidaknya ada tiga dasar keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat hingga daerah harus diwujudkan. Pertama, ada aturan hukum di level internasional dan di dalam negeri yaitu undang-undang pemilu yang mengharuskan minimum 30% perempuan anggota KPU dan Bawaslu di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, menjadi akses bagi perempuan untuk masuk di dalam isntitusi politik dan muaranya adalah mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Ketiga, memastikan struktur penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang berkeadilan gender.

Perspektif gender sangat penting dalam perwujudan tiga hal tersebut. Perspektif ini akan menghasilkan aturan-aturan pelaksanaan pemilihan umum yang bersifat inklusif termasuk mengakomodir kelompok rentan seperti perempuan.

Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% merupakan hal yang diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Lalu, pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 UU 7/2017 mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Semakin Senyap

Sayangnya, dalam prosesnya, Indonesia punya capaian angka-angka yang menandakan keterwakilan perempuan semakin senyap di kelembagaan politik. Faktor penyebab semakin senyapnya peran perempuan dalam dunia politik Indonesia yaitu sempitnya ruang gerak yang diakibatkan oleh perubahan peta politik yang menjadi lebih tertutup, dan para perempuan yang merupakan aktivis dan tergabung dalam partai politik cenderung terpengaruh pada perubahan peta politik tersebut.

Semua hal tersebut mengakibatkan suara-suara rakyat yang kritis pun menjadi semakin lemah untuk didengarkan. Yang harus dilakukan untuk para perempuan guna menghadapi tangan ke depan harus dapat bersinergi dalam menyelesaikan perubahan-perubahan peta politik yang ada. Selain itu kesadaran pentingnya peran perempuan untuk memperjuangkan hak sesama perempuan harus lebih luas disadari rakyat Indonesia.

Berdasarkan Interparliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam. Keterwakilan perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20% tepatnya 19,8%. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal.

Berdasarkan data yang dihimpun KPU tentang penetapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Pusat, keterwakilan perempuan pada periode 2017-2022 belum mencapai batas minimal 30%. Berikut data komisioner KPU berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023.

Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022: 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022: 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota perioed 2017-2022: 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).

Komisioner Bawaslu pada periode 2017-2022 pun kurang lebih serupa. Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%).

Berdasarkan jumlah dari total presentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Selain itu keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya memenuhi kuota 20%. Kondisi ini menjadi tantangan yang besar bagi perempuan, karena perempuan dituntut untuk memiliki kapasitas dan komitmen dalam upaya memperkuat keterwakilan perempuan di ranah politik berdasarkan amanat konstitusi dan peraturan lainnya.

Adanya peraturan pemberian kuota 30% terhadap keterwakilan perempuan di ruang publik membuat tertutupnya akses perempuan dan terciptanya perlakukan diskriminatif terhadap perempuan berpolitik dan membuat perempuan tidak bisa berpartisipasi, mengambil keputusan, serta berperan dalam merumuskan kebijakan publik. Kurangnya respresentasi perempuan dalam kancah politik di Indonesia harusnya hal ini menjadi perhatian penting yang harus diperhatikan oleh semua lini. []

ZUMROTUN NAZIA

Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang