August 8, 2024

Menakar Demokrasi Setelah Pemilu 2024

Penghitungan suara pemilu versi hitung cepat (quick count) berbagai lembaga survei dengan persentase hampir 100%, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dipastikan memenangi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Meski tetap harus menunggu rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga 20 Maret 2024, namun sejarah membuktikan hasil quick count tidak pernah berbeda jauh dari hasil resmi KPU.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengkritisi proses quick count yang tidak terbuka dalam hal pendanaan. Menurutnya, sebagai salah satu kegiatan ilmiah, penting bagi lembaga survei membuka sumber pendanaan quick count, agar publik mewaspadai konflik kepentingan dalam quick count.

“Publikasi survei memiliki dua implikasi, yakni pengumuman dan peluang penggiringan opini publik. Dan problem jika tidak adanya transparansi pendanaan berdampak yang tidak bagus untuk demokrasi,” kata Wijayanto dalam diskusi bertajuk “Memaknai Hasil Pemilihan Umum 2024: Popular Wisdom atau Manipulasi Kekuasaan” di Kantor LP3ES, Jakarta (18/2).

Terlebih, lanjut Wijayanto, dalam proses pemilu terdapat problem jurnalisme pacuan kuda yang memproduksi pengumuman survei terus-menerus, sehingga membuat publik abai terhadap substansi pemilu dan demokrasi. Padahal menurutnya, budaya demokrasi Indonesia masih perlu ditingkatkan melalui pendidikan politik dari partai dan akademisi, karena ia menilai saat ini demokrasi telah dirusak dengan banyaknya pelanggaran konstitusi, etik serta aturan main yang tidak demokratis.

“Misalnya melalui politisasi bantuan sosial (Bansos) dan penggiringan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mendukung calon tertentu. Itu tidak baik untuk pembangunan budaya demokrasi di Indonesia,” imbuhnya.

Wijayanto meyakini, demokrasi yang baik dapat menumbuhkan ekonomi yang positif berkepanjangan. Namun ia memandang solusi pemerintah maupun tiap pasangan capres-cawapres dalam hal itu hanya bersifat semu dan tidak menjawab akar masalah ekonomi masyarakat. Hal itu tercermin dari program visi-misi capres-cawapres yang belum memberikan solusi peningkatan ekonomi berkepanjangan bagi masyarakat.

Direktur Pusat Hukum, HAM dan Gender LP3ES, Hadi Rahmat Purnama memandang kontestasi Pemilu 2024 belum cukup jelas perbedaan antar paslon dalam gagasan dan program yang diusung. Program antar paslon dinilai tidak jauh berbeda, hanya pengurutan program dan fokus program yang berbeda, sehingga masyarakat juga kabur melihat visi-misi capres-cawapres.

“Akhirnya yang dilihat dari vote getter yang paling besar tiap pasangan. Populisme menjadi dasar dalam pemilu kali ini, jadi kepopuleran saja yang menjadi daya tarik bagi pemilih,” kata Hadi.

Menurut Hadi, proses pemilu yang tidak demokratis juga disebabkan tidak adanya partai oposisi yang lantang mengkritik dan mengoreksi pemerintah, sehingga sistem hukum dan sistem birokrasi dimanfaatkan untuk pemenangan paslon tertentu. Kekacauan itulah menurut Hadi menyebabkan pemilu terjebak dalam populisme sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Sementara itu menurut Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, demokrasi sulit untuk dihadirkan dalam pemilu Indonesia karena peserta pemilu menggunakan berbagai kecurangan untuk pemenangan. Titi mengatakan, hasil pemilu bukan sekedar angka final yang tidak bisa dipersoalkan, karena perolehan suara juga dapat dihasilkan dari proses yang melanggar asas dan prinsip pemilu demokratis.

“Untuk itu dalam hukum kepemiluan, dikenal skema keadilan pemilu untuk memperjuangkan hasil pemilu yang benar-benar murni, dihasilkan dari suatu proses pemilu sesuai kehendak bebas pemilih yang dibuat tanpa manipulasi apapun,” ujar Titi.

Masalah lainnya menurut Titi, sosialisasi teknis pemilu tidak dilakukan dengan optimal dan inklusi, akhirnya publik kesulitan memahami prosedur pemilu yang benar. Selain itu pemilih masih mengalami kesulitan akses pada informasi dan pendidikan pemilih, akibatnya terjadi problem pelayanan hak pilih akibat kesalahan pemahaman petugas ataupun pemilih atas aturan pemilu.

Titi memandang pemilu serentak menyulitkan penyelenggara pemilu sesuai prinsip pemilu. Ia mengusulkan sebaiknya pemilu dilakukan dengan dua model keserentakan, pemilu serentak nasional memilih capres-cawapres dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemilu serentak lokal memilih DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dengan jeda dua tahun untuk seleksi penyelenggara pemilu.

“Melalui itu beban penyelenggara pemilu lebih masuk akal bagi petugas atau pengawasan pemilu. dan isu lokal tidak tenggelam oleh isu nasional, selain itu mesin partai juga dipaksa bekerja,” jelas Titi.

Lebih lanjut, menurut Titi partai politik harus berani mengambil jalan demokrasi untuk menjadi kekuatan penyeimbang di parlemen. Menurutnya melalui itu perlindungan minoritas dapat dijamin, karena esensi demokrasi tidak meminggirkan minoritas. Titi menjelaskan, perlindungan terhadap minoritas bisa dilakukan melalui rekayasa elektoral, tanpa mengubah konstitusi. Misalnya melalui alokasi 30% kursi parlemen bagi kelompok minoritas yang didistribusikan berdasarkan persentase perolehan suara masing-masing partai.

“Jadi persentasenya dibagikan pada masing-masing partai sesuai perolehan suara dan hanya diberikan kelompok minoritas dan partai harus punya daftar untuk kursi minoritas,” pungkasnya. []