August 8, 2024

Menanti Parlemen Kota Bandung yang Lebih Mewakili Perempuan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memiliki ketentuan afirmasi pencalonan perempuan 30% tapi belum mampu menghasilkan parlemen yang representatif perempuan, termasuk di Kota Bandung. Dari 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung hasil Pemilu 2019, hanya ada 9 perempuan (16%). Masyarakat peduli isu perempuan berharap, Pemilu 2024 bisa menghasilkan parlemen yang representatif perempuan sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang mengatasi ketidakadilan gender.

“Di dalam proses pendaftaran bakal calon diperbaiki ini juga harus tetap mensyaratkan dan memperhatikan keterwakilan 30 persen perempuan, sebagai persyaratan dalam proses pencalonan tersebut,” ungkap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, Suharti kepada Bandungbergerak melalui telepon (7/7).

KPU Kota Bandung telah mengantongi sejumlah data caleg dari total 18 partai politik. Total ada 885 calon anggota legislatif yang didaftarkan. Dengan masing-masing partai mendaftarkan sebanyak 50 bakal calon legistor. Tiap partai ada tujuh sampai delapan orang perempuan. Setiap partai memang harus kita memastikan di dalam setiap daerah pemilihan ada keterwakilan perempuan minimal 30%.

Suhari menginformasikan, KPU Kota Bandung telah menetapkan jumlah pemilih pada 21 Juni 2023. Tercatat ada 1.872.381 orang yang tersebar di 30 kecamatan dan 151 kelurahan. Jumlah pemilih ini dibagi ke 7.424 tempat pemungutan suara (TPS) yang telah tercatat dalam daftar pemilih tetap.

Kota Bandung Belum Ramah Perempuan

Merujuk Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), kasus kekeraan anak dan perempuan di Jawa Barat dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Tercatat pada 2020 ada sebanyak 1.186 kasus, lalu pada 2021 kasusnya naik menjadi 1.766 kasus dan kembali meningkat di tahun 2022 menjadi 2.001 kasus. Di ketiga tahun ini, Kota Bandung menduduki urutan pertama, selama tiga tahun berturut-turut.

Ketua Badan Pengurus Yayasan SAPA Institute, Sri Mulyati mengungkapkan hingga kini kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat. Saat ini, tren kasus paling banyak terjadi pada perempuan pekerja migran, kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meski DPR telah mensahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan (UU TPKS), namun implementasi di lapangan masih belum maksimal. Di Kota Bandung belum ada peraturan turunan untuk menjalankan peraturan tersebut.

Sri mengungkapkan, dari segi kebijakan, Kota Bandung memang menjadi daerah yang lebih tertinggal dibandingkan Kabupaten Bandung. Di Kabupaten, Bandung telah memiliki Perda perlindungan perempuan, Perda perlindungan anak, dan juga memiliki peraturan Bupati. Tak hanya itu, Kabupaten Bandung juga telah memiliki standar operasional prosedur penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara, Kota Bandung hanya memiliki Perda perlindungan anak.

“Kalau saya melihat memang Kota Bandung sebagai pusat ibu kota provinsi itu dari sisi aspek perkembangannya itu lebih tertinggal ya dari sisi dukungan kebijakan bagi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan,” ungkapnya.

Padahal, dulunya Kota Bandung sempat menjadi pionir sebagai kota yang pertama kali membentuk Pusat Penanganan Terpadu untuk Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  (P2TP2A). Namun, dari sisi regulasi memang tidak banyak yang dihasilkan terkait perlindungan perempuan.

Menurut Sri, melihat kondisi di lapangan, Kota Bandung justru kurang produktif dalam melahirkan berbagai kebijakan dan program yang inovatif dan kondusif bagi perlindungan perempuan. Dalam prosesnya, pihaknya  melihat memang upaya advokasi yang dilakukan oleh lembaga layanan di Kota Bandung untuk melakukan kerja advokasi ke legislatif terbilang sangat mini. Tidak ada yang kemudian melakukan upaya kerja advokasi kebijakan legislatif, untuk mendorong berbagai produk kebijakan terkait perlindungan perempuan.

Berdasrkan temuan data Bandungbergerak.id, pada laman website daftar kebijakan DPRD Kota Bandung, yakni laman website jdih.bandung.go.id, Kota Bandung tidak memiliki peraturan terkait perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Hanya terdapat satu Perda 4/2019 tentang perlindungan anak. Hingga kini, Kota Bandung belum memiliki perda perlindungan perempuan secara spesifik.

Posisi Tawar Perempuan Politik

Anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Rini Ayu Susanti menjelaskan, tingginya kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung berkait dengan keadaan politik yang belum banyak melibatkan perempuan. Ia menyebutkan faktor penyebab di antaranya, pendidikan perempuan yang minim dan persoalan patriarki di masyarakat yang melanggengkan kondisi kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, ia menyebutkan perempuan memang masih jadi kelompok yang rentan, baik dari persoalan ekonomi, pendidikan, dan budaya.

“Jadi perempuan diperhatikan dengan memberikan solusi dan menampung apa keluhan yang terjadi di masyarakat. Dinas harus lebih proaktif, khususnya terhadap perempuan,” ungkapnya ketika ditemui di ruang kerja Fraksi Demokrat DPRD Kota Bandung (12/7).

Komisi D DPRD Kota Bandung mengurus bidang kesejahteraan rakyat yang meliputi 11 bidang, salah satunya pemberdayaan perempuan. Terdapat total 13 orang anggota dewan termasuk ketua, tiga di antaranya merupakan perempuan.

Salmiah Rambe Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berpendapat, maraknya kekerasan terhadap perempuan terkait dengan keadaan hukum yang belum cukup baik. Salmiah mengungkapkan pihaknya telah berupaya mendorong peraturan daerah (Perda) inisiatif tentang pemberdayaan perempuan. Ia bersama perempuan dewan lainnya mengupayakan adanya Perda ini. Pada pertengahan 2023 ini Perda dalam proses di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).

“Alhamdulillah prosesnya karena inisiatif ya jadi benar-benar inisiatif dari para ibu-ibu, kan ada berapa orang di DPRD Kota Bandung. Jadi kita mendorong, karena ini juga memang tidak gampang. Maksudnya tidak gampang itu lama tahapan-tahapannya. Tapi Alhamdulillah sudah masuk ke dalam Propem Perda di tahun 2023 ini,” ujarnya.

Parlemen yang Lebih Baik

Politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Indri Hafsari berpandangan, kekerasan terhadap perempuan merupakan isu krusial di Kota Bandung. Sebagai salah satu inisiator Stand with Her, ia memberi kesadaran kepada masyarakat tentang keberdayaan perempuan. Menurut Indri, meningkatkan keberdayaan perempuan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kekerasan yang bukan hanya ada di ranah domestik seperti KDRT tapi juga ranah publik seperti kekerasan seksual di tempat kerja dan pendidikan.

Seiring proses kepesertaannya pada Pemilu 2024, turun ke masyarakat mengedukasi tentang gender dan kekerasan. Menurutnya, ketidakadilan gender terkait bukan hanya karena masih sedikit politisi perempuan di parlemen tapi juga masyarakat sebagai pemilih yang masih sedikit untuk peduli. Dalam kunjungan ke masyarakat Indri menjelaskan tentang ragam bentuk kekerasan dan bagaimana melaporkan dan mendapatkan perlindungannya.

“Jadi saya juga ngasih edukasi tentang kesetaraan gender. Bagaimana sebenarnya seorang ibu yang kadang di rumah tangga juga, masyarakat kita kan juga patriarki ya. Jadi mereka tuh belum menyadari bahwa sebenarnya perempuan itu juga punya hak untuk bisa mengaktualisasikan diri,” ungkapnya.

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Ari Ganjar Herdiansyah mengungkapkan aturan kuota pencalonan perempuan 30% dapat memaksa partai politik untuk memperhatikan perempuan. Sayangnya, aturan ini belum optimal implementasinya.

“Iya, kader-kader perempuan di partai kurang agresif untuk memanfaatkan. Bisa jadi juga kaderisasi di partainya kurang kuat dalam mendorong perempuan untuk berani maju memanfaatkan kuota itu,” ungkap Ari melalui sambungan telepon (7/7).

Ari mengungkapkan, kasus perlindungan perempuan dan anak masih kurang diperhatikan banyak politisi. Kecuali, pada beberapa kasus viral. Pada kasus viral pun belum menunjukan otentik kepedulian dari politisi.

Sejauh pengamatannya, politisi perempuan lebih peduli dan lebih bisa bersikap terhadap masalah perempuan dan anak. Beberapa perempuan dewan DPRD Kota Bandung mendorong adanya satu regulasi percepatan menguatkan posisi perempuan. Meski jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding lelkai dewan, para perempuan ini jauh lebih kuat berupaya perlindungan perempuan terutama dari kekerasan, pelecehan seksual dan lainnya. Jika hasil Pemilu 2024 lebih banyak menghasilkan perempuan terpilih di DPRD Kota Bandung, pemerintahan Kota Bandung akan lebih peduli terhadap keadilan gender. []