Maret 29, 2024
iden

Menghadapi Tantangan Kampanye Daring

Keputusan pemerintah tetap menggelar pemilihan kepala daerah di tengah pandemi memang memunculkan pro dan kontra. Namun, upaya adaptasi segala tahapan pemilihan dengan protokol kesehatan menjadi jalan tengah bagi pelaksanaan pilkada kali ini. Upaya ini dituangkan oleh Komisi Pemilihan Umum dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19.

Salah satu yang diatur dalam peraturan KPU tersebut berkaitan dengan kampanye di tengah pandemi. Bentuk pertemuan terbatas, tatap muka, dan dialog didorong untuk dilakukan melalui media sosial dan media daring. Meskipun demikian, peraturan KPU ini masih tetap memberi peluang digelarnya pertemuan terbatas, tatap muka, dan dialog langsung dengan syarat ketentuan protokol kesehatan harus dipenuhi.

Ajakan penggunaan jalur virtual untuk kampanye ini diapresiasi publik. Jajak pendapat Kompas awal Oktober lalu mencatat, lebih dari separuh responden sepakat dengan optimalisasi kampanye secara daring dalam pilkada ini. Separuh lebih responden (63,4 persen) beralasan, hal ini penting untuk menghindari penularan Covid-19. Meskipun demikian, masih ada 23,3 persen responden yang menyatakan menolak model kampanye daring ini.

Salah satu alasan yang muncul dari kelompok responden yang menolak adalah khawatir tujuan kampanye tidak terpenuhi. Separuh lebih responden (60,7 persen) menyatakan, kampanye daring atau lewat internet tidak akan efektif menjangkau konstituen dalam Pilkada 2020. Kelompok responden ini menilai, tidak semua daerah dapat menjangkau jaringan internet, terlebih kemampuan dalam menggunakan teknologi internet masih kurang.

Di sisi yang lain, kelompok responden yang setuju terhadap kampanye virtual lebih melihat kemudahan di tengah pandemi ini. Sepertiga responden menilai, kampanye daring atau lewat internet lebih efektif menjangkau konstituen pada masa pandemi. Kampanye model daring juga dipandang lebih mudah dijangkau dan hemat biaya, terlebih model kampanye ini bisa mencegah kerumunan yang berpotensi melahirkan kluster penyebaran Covid-19. Tentu, penyikapan yang pro dan kontra dari responden soal kampanye daring ini menjadi potret masih adanya tantangan yang harus dihadapi jika model kampanye daring akan terus dipraktikkan ke depan.

Tantangan

Tantangan yang muncul dengan penerapan kampanye daring ini tidak lepas dari soal kesiapan transformasi dari yang terbiasa bertemu secara tatap muka berubah menjadi virtual. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, khususnya bagi kontestan dalam pilkada.

Pertama, kampanye daring membutuhkan komunikasi yang interaktif. Hal ini tentu berbeda dengan kampanye tatap muka, apalagi yang berlangsung dengan pengerahan massa, yang jarang dilakukan secara interaktif. Di dunia media sosial, misalnya, pasangan calon harus membuka interaksi dengan audiens. Mereka harus berani membuka kolom komentar dan melakukan tanya jawab. Kontestan harus memaksimalkan kolom live, story, dan TV di berbagai media sosial untuk bisa berkomunikasi secara interaktif dengan warganet. Hal ini sangat penting karena para pemilih juga harus mengetahui visi-misi dan program para kandidat secara langsung.

Harapannya, pemilih memiliki informasi cukup tentang kontestan yang berlaga dalam Pilkada 2020. Pengemasan konten dengan baik akan mendukung penyampaian pesan kampanye secara efektif dan mudah diterima oleh pengguna media sosial. Pasangan calon diharapkan tidak menggunakan berita bohong dalam unggahan kampanye, tetapi memberikan pesan-pesan menarik yang informatif mengenai kampanyenya berdasarkan data yang valid.

Kedua, kesenjangan akses internet menjadi tantangan yang harus dihadapi pasangan calon dalam Pilkada 2020. Indonesia masih menduduki posisi ke-57 dari 100 negara terkait akses internet menurut data The Inclusive Internet Index 2020. Akses internet masih belum merata dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Penetrasi media sosial baru mencapai 59 persen di Indonesia. Hal ini berdampak pada keterbatasan pemanfaatan media sosial untuk media kampanye dalam pilkada serentak karena tidak dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, tantangan soal kesiapan masyarakat dalam bermedia sosial dengan bijak dan dewasa. Jajak pendapat merekam, lebih dari separuh responden menilai, mental masyarakat menghadapi dampak kampanye daring, seperti hoaks, pengumpulan opini, perang tagar, dan saling serang antarpendukung secara daring, masih belum siap. Terlebih, kehadiran pendengung (buzzer) berpeluang memberi informasi bias. Bias informasi ini dapat membuat kegaduhan di antara kontestan dan pendukungnya. Akibatnya, publik pun bisa jadi mendapat informasi yang tidak akurat.

Ketegasan

Solusi atas ketiga tantangan di atas sebenarnya tergantung pada ketegasan penerapan peraturan KPU. Di luar itu, tentu soal masih terbukanya peluang menggelar kampanye tatap muka meskipun ini sangat rentan di tengah pandemi saat ini. Namun, peluang kampanye ini tetap dibuka jika kampanye lewat media sosial atau media daring tidak mungkin dilakukan akibat persoalan sosiologi dan geografi.

Ketentuan soal kampanye tatap muka ini juga diatur sangat ketat dalam peraturan KPU. Sebut saja soal pembatasan jumlah peserta yang maksimal 50 orang dengan tetap wajib menerapkan protokol kesehatan serta wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 yang ditetapkan pemerintah daerah dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat.

“Badan Pengawas Pemilu mencatat, sepanjang sepuluh hari pertama masa kampanye (25 September-5 Oktober 2020), peserta pilkada lebih banyak menggunakan kampanye tatap muka dengan pertemuan terbatas. Bawaslu menemukan, dugaan pelanggaran paling banyak adalah pelanggaran protokol kesehatan. Terdapat 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota”

Masih terbukanya peluang kampanye tatap muka ini disikapi secara terbelah oleh responden. Sebagian menyatakan setuju, sedangkan sebagian yang lain menyatakan sebaliknya. Faktanya, memang harus diakui, sebagian besar kontestan kita masih lebih memilih kampanye tatap muka dibandingkan harus berkampanye secara virtual.

Badan Pengawas Pemilu mencatat, sepanjang sepuluh hari pertama masa kampanye (25 September-5 Oktober 2020), peserta pilkada lebih banyak menggunakan kampanye tatap muka dengan pertemuan terbatas. Bawaslu menemukan, dugaan pelanggaran paling banyak adalah pelanggaran protokol kesehatan. Terdapat 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota.

Bawaslu juga mencatat, sepanjang sepuluh hari pertama masa kampanye tersebut, dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada, hanya di 37 daerah atau 13,7 persen yang ditemukan ada kegiatan kampanye secara virtual. Sisanya, sebagian besar melakukan kampanye tatap muka alias tidak ada aktivitas kampanye secara daring. Menurut catatan Bawaslu, kampanye daring masih minim diselenggarakan karena beberapa kendala, di antaranya terkait jaringan internet di daerah yang kurang mendukung, keterbatasan kuota peserta dan penyelenggara kampanye, keterbatasan kemampuan peserta dan penyelenggara kampanye dalam penggunaan gawai, keterbatasan fitur dalam gawai, serta model ini kurang diminati, sehingga diikuti oleh sedikit peserta kampanye.

Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya transformasi metode kampanye dari tatap muka ke kampanye daring. Hal ini menjadi gambaran bahwa tradisi elektoral kita masih belum siap untuk menjadikan aktivitas virtual sebagai sesuatu yang melekat dan menggeser aktivitas tatap muka.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2020 di halaman 3 dengan judul “Menghadapi Tantangan Kampanye Daring”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/12/menghadapi-tantangan-kampanye-daring/