December 7, 2024

Mengkaji Ulang Perekrutan KPU

Kasus dugaan suap terhadap mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, terkait pergantian antarwaktu caleg PDI-P kembali memantik perbincangan ihwal kualitas perekrutan lembaga penyelenggara pemilu itu. Model perekrutan dan pergantiannya, juga catatan integritas, mengapung dalam perbincangan publik.

Posisi Komisi Pemilihan Umum pun turut diperbincangkan ulang. Bagaimana klaim netralitas yang selama ini diutarakan bisa diuji serta dibuktikan. Di dalamnya, berisikan gugatan tentang kekuatan politik tertentu yang memengaruhi lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Tak hanya kasus Wahyu, banyaknya penyelenggara pemilu yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) perlu pula menjadi pertimbangan. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, memiliki catatan mengenai hal ini.

Sepanjang 2019, penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota menjadi pihak yang paling banyak diadukan ke DKPP. Sebanyak 2.467 orang dilaporkan dengan dugaan melakukan pelanggaran etik. Dari jumlah itu, 1.240 orang atau 50,26 persen teradu merupakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota.

Toby S James (2012) dalam buku berjudul Elite Statecraft and Election Administration: Bending the Rules of the Game menulis banyak negara yang tengah melakukan reformasi administrasi pemilu. Akan tetapi, analisis tentang mengapa proses itu dilakukan masih sedikit, terutama terkait dengan peran elite politik yang berupaya memaksimalkan kepentingan mereka sendiri dalam proses reformasi tersebut. Buku yang didasarkan dari hasil riset di Inggris, Amerika Serikat, dan Irlandia itu juga menunjukkan bahwa peran elite politik dinilai penting dalam proses reformasi administrasi pemilu karena lembaga penyelenggara pemilu tidaklah netral.

Sebagaimana juga dikutip dari buku tersebut, ada tiga kesimpulan empiris umum yang bisa diketahui. Masing-masing adalah administrasi pemilu merupakan hal penting, administrasi pemilu merupakan tempat pertarungan politik, dan terdapat variasi lintas nasional dalam hal menggunakan proses administrasi pemilu guna mencapai kemenangan dalam pemilu serta untuk mencapai derajat kemampuan tertentu dalam menjalankan pemerintahan.

Isu kemandirian

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, berpendapat kasus yang menimpa Wahyu membuat pengecekan mesti dilakukan terkait aspek independensi yang bersangkutan. Selain relatif kontrol kekuatan politik, juga ada persoalan terkait integritas. Bahkan di awal perekrutan, Hadar melihat adanya kecenderungan pilihan atas calon anggota KPU dibuat berdasarkan pertimbangan berasal dari kelompok atau grup yang sama. Biasanya, kelompok yang kuat berasal dari organisasi kemasyarakatan tertentu.

Pada tahapan berikutnya, kedekatan dengan ormas yang punya kaitan dengan partai politik diterjemahkan menjadi apakah kandidat akan mendukung kekuatan politik tersebut. Bentuknya mulai yang paling sederhana, yaitu mau menjalin komunikasi sampai pada taraf berbahaya, yakni mau membantu kepentingan partai terkait.

Hadar mengingatkan, saat ini model pembentukan KPU sudah berubah ke arah lebih kuat. Ini terutama jika dibandingkan dengan penyelenggara pemilu yang tidak independen serta berada di bawah kontrol penuh pemerintah pada era sebelum reformasi. Setelah itu, keanggotaan penyelenggara pemilu berubah menjadi berasal partai politik dan pemerintah.

Kedua elemen itu bertindak sebagai penyelenggara pada Pemilu 1999. Namun menurut Hadar, komposisi tersebut langsung terlihat problematik karena sejumlah manuver sebagian partai politik setelah mengetahui hasil pemilu tidak menguntungkan partai mereka. Pemilu 1999 itu disebut Hadar hampir gagal. Untung saja presiden ketika itu, bersama-sama dengan dorongan masyarakat sipil, mengambil alih guna meresmikan hasil pemilu. Setelah model tersebut, tidak ada pilihan selain menggunakan model keanggotaan KPU yang mandiri. Anggota KPU bukan pemerintah dan bukan juga peserta pemilu.

Diputuskan akhirnya anggota KPU berisikan orang-orang dengan latar belakang akademisi dan masyarakat sipil. Namun, di sekitar pengujung masa jabatan terjadi kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah dan sejumlah anggota KPU lain. Komposisi keanggotaan sempat diubah lagi menjadi orang-orang dengan latar belakang akademisi. Berikutnya adalah masa bagi anggota KPU yang berasal dari masyarakat sipil dan penyelenggara pemilu di daerah.

Tatkala saat ini terjadi persoalan kembali menyusul ditangkapnya Wahyu oleh KPK, metode yang tepat perlu dirumuskan ulang terkait perekrutan dan model keanggotaan KPU. Salah satu sasaran pembenahan itu mengarah pada kekuasaan relatif besar bagi DPR untuk dapat memilah-milah pilihan tim seleksi anggota KPU.

Saat ini prosedur yang berlaku adalah tim seleksi yang dibentuk presiden itu mengajukan 14 nama calon ke DPR. Selanjutnya DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan memilih berdasarkan perolehan terhadap tujuh suara terbanyak yang dimiliki tujuh orang di antaranya.

Peran DPR

Model perekrutan itu, dalam pandangan Hadar, memungkinkan terjadinya kesepakatan antar fraksi di DPR sebelum pemilihan anggota KPU dilakukan. Pemilihan yang digelar terbuka cenderung hanya basa-basi karena kesepakatan yang sudah dicapai sebelumnya mengenai siapa saja yang bakal dipilih.

Praktik ini diusulkan diubah, dengan hanya memberikan kewenangan bagi DPR untuk melakukan konfirmasi atau persetujuan semata terhadap nama-nama calon yang diajukan tim seleksi. Jika DPR menyetujui calon tertentu, pelantikan bisa dilakukan presiden. Hadar juga mengusulkan perlunya model seleksi dengan sistem stagger. Sistem ini memungkinkan penggantian anggota KPU tidak dilakukan bersamaan pada setiap periode jabatan, tetapi bertingkat atau bertahap.

Hal tersebut akan membuat adanya keberlanjutan dalam pembelajaran institusi KPU. Selama ini, komposisi anggota KPU selalu diisi anggota lama dan yang baru. Model ini membuat beban seleksi menjadi relatif berkurang karena tidak dilakukan secara berbondong-bondong.

Namun, hal terpenting ialah model tersebut membuat ajang uji kelayakan dan kepatutan tidak bisa dijadikan arena ”politik dagang sapi”. Pasalnya dengan model perekrutan yang bergantian satu per satu, isunya hanya tinggal apakah DPR mau menerima calon yang diajukan atau tidak. Jika tidak bisa menerima, tim seleksi akan mencari lagi calon lain untuk diajukan ke DPR.

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, punya pandangan lain. Ia mengusulkan agar KPU dibuat setara dengan presiden. Usulan tersebut didasarkan atas riset reformasi sistem kelembagaan pemilu yang dilakukannya di Ekuador pada pertengahan Desember 2019. Pola ini dipakai Ekuador setelah berganti-ganti sejak pemilu diselenggarakan di negara tersebut tahun 1800-an.

Kedudukan KPU yang sejajar dengan presiden, dinilai Radian, akan membuat lembaga penyelenggara pemilu itu lebih kuat. Hanya saja, pengaturan demikian membutuhkan perubahan konstitusi. Namun, menurut Hadar, amendemen UUD 1945 untuk menyejajarkan posisi KPU dengan presiden tidak dibutuhkan. KPU saat ini sudah menjadi lembaga mandiri. KPU hanya melapor saja ke presiden. Hal itu membuat kontrol presiden terhadap KPU tidak besar.

Usulan perbaikan

Anggota DKPP, Ida Budhiati, dalam artikel di buku Serial Evaluasi Penyelenggara Pemilu Serentak 2019: Perihal para Penyelenggara Pemilu yang diterbitkan Bawaslu pada Desember 2019 mengungkap tentang mekanisme perekrutan penyelenggara pemilu yang dipengaruhi oleh berbagai rezim pemilu.

Salah satu pembahasan yang menonjol dalam laporan tersebut adalah perubahan model perekrutan yang kembali menjadi sentralistik seperti pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. KPU RI turut melakukan uji kelayakan dan kepatutan serta menetapkan dan melantik anggota KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam laporan berjudul ”Mekanisme Seleksi Jajaran KPU dan Bawaslu: Perubahan Pengaturan Pasca Reformasi dan Beberapa Permasalahan Berdasar UU No 7/2017”, Ida mengatakan, permasalahan perekrutan jajaran penyelenggara dapat dibagi menjadi tiga. Ketiga permasalahan itu adalah masalah terkait norma pengaturan, masalah teknis atau implementasinya, dan masalah lain di luar keduanya.

Hal yang terkait dengan norma contohnya adalah dilema antara ambang batas nilai tes dan kuota jumlah nama yang diajukan. Sementara yang berhubungan dengan implementasi misalnya terjadi dengan dua pengumuman hasil tes dan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ia mengusulkan, perlunya pendelegasian sebagian kewenangan perekrutan kepada KPU di tingkat provinsi dalam hal pemilihan anggota tingkat kabupaten/kota. Hal ini dalam rangka mengurangi beban kerja dan menjaga fokus kerja.

Pada akhirnya, ukuran timbangan ulang mengenai model perekrutan memang perlu segera ditetapkan. Kepastian ihwal integritas dalam mengelola proses demokrasi, dengan pelaksanaan pilkada serentak 2020 yang sudah di depan mata, menjadi salah satu alasannya. (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/03/mengkaji-ulang-perekrutan-kpu/