Parpolisasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kian menguat. 3 April 2017, anggota DPD akan melaksanakan pemilihan pimpinan baru DPD. Sebelumnya, anggota DPD menyepakati perubahan masa jabatan pimpinan dari lima tahun menjadi dua setengah tahun. Perubahan masa jabatan ini merupakan anomali dalam perspektif hukum tata negara, sebab keanggotaan DPD bersifat elected sehingga masa jabatan idealnya mengikuti periode pemilu.
Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Oesman Sapta Odang (OSO), yang digadang-gadang akan mendapat panggung kepemimpinan DPD, merupakan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Apabila OSO naik ke pucuk jabatan, maka performa DPD, yang sejatinya merupakan perwakilan daerah dengan anggota perseorangan, akan menunjukkan performa partai. DPD, hendak berangkat menuju kuasa partai.
Parpolisasi DPD tak dapat dianggap remeh. Berdasarkan data yang diperoleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegak Citra Parlemen, 27 anggota DPD telah masuk ke dalam kepengurusan Partai Hanura dan 43 anggota telah terindikasi berafiliasi dengan partai politik lain. Bukan tak mungkin akan terjadi pengkavlingan terhadap 62 anggota DPD lainnya.
Sebenarnya, keberadaan anggota DPD dengan latar belakang partai tidak melanggar hukum. Akan tetapi, masuknya warna partai di dalam DPD ini melenceng dari tujuan awal pembentukan kamar kedua dalam sistem parlemen Indonesia yang digagas sejak 1999.
Sejarah Pendirian DPD dan Wewenangnya
Berdasarkan keterangan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), yakni Valina Singka Subekti, kamar kedua parlemen mulai dibicarakan saat amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) pertama. Suatu kamar parlemen, selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibutuhkan untuk mewadahi aspirasi daerah dan memperkuat wewenang utusan daerah dan utusan golongan dalam pemerintahan. Namanya pada waktu itu adalah Dewan Utusan Daerah (DUD).
DUD menemukan urgensi untuk segera didirikan saat isu gerakan separatis di daerah-daerah semakin menguat, yakni pada saat amandemen UUD kedua. Daerah mesti diberikan ruang yang lebih baik dalam penggalakkan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) daerah. Singkatnya, dari daerah untuk daerah, dan DUD berganti menjadi DPD.
Dari konteks tujuan DPD didirikan, DPD memang tidak merujuk pada konsep sistem bikameral, melainkan lembaga legislasi untuk mewadahi utusan daerah. Konsep bikameral merupakan penamaan akademis yang baru muncul setelah sistem parlemen dipelajari.
“Rujukannya sejak awal memang bukan bikameral, tapi semata-mata agar utusan daerah punya kewenangan yang lebih baik. Jadi, setelah dipelajari, barulah disadari bahwa keberadaan DPD merupakan bentuk dari soft bicameralism,” jelas Valina di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat (27/3).
Mengenai wewenang, sejak awal DPD didesain dengan wewenang yang tak lebih kuat atau tak sama kuat dengan DPR. Partai-partai politik mengkhawatirkan wewenang yang sama kuat akan menimbulkan kerumitan dalam proses penetapan UU dan membuat parlemen semakin terfragmentasi. Oleh karena itu, dalam amandemen kedua, yakni pada Pasal 22 D, DPD memiliki hak untuk ikut serta dalam semua tahap pembuatan UU, kecuali sidang paripurna antara DPR dan Presiden.
Wewenang tersebut sebenarnya cukup kuat untuk DPD. Akan tetapi, sayangnya, direduksi oleh UU. UU MPR, DPR, DPR Daerah, dan DPD (MD3) hanya memberikan wewenang bagi DPD untuk ikut di tahap awal. Meminjam istilah Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, telah terjadi pengerdilan sistematis terhadap wewenang DPD.
“Hakikatnya, DPD adalah gajah (karena kamar kedua semestinya sama kuat dengan kamar pertama), tetapi UUD membuatnya menjadi rusa, lalu UU MD3 membuatnya jadi kelinci,” tukas Zainal.
Mempertegas Makna Historis Keberadaan DPD
History is the best way to understand why the world works as it is today, and it is learned to correct any mistakes that should not never be repeated in the present.
Memandang parpolisasi DPD secara lurus tak mungkin tanpa melihat konteks sejarah mengapa DPD digagas pada 1999 dan 2002. Sejarah menegaskan bahwa DPD adalah kamar parlemen yang ditujukan untuk mewadahi para tokoh atau utusan daerah yang memahami permasalahan daerah dan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan daerah. Itulah logika dimana kita mesti berpijak dan berangkat.
Mesti pula kita taati idealisme hukum tata negara bahwa kamar pertama dan kamar kedua harus memiliki perbedaan agar proses check and balances dalam lembaga legislatif dapat berjalan. Adalah salah apabila kita merujuk sistem bikameral di Amerika Serikat dan Inggris tanpa menarik sejarah mengapa kedua negara tersebut memberlakukan sistem dua kamar. Di Inggris, kamar kedua didirikan untuk mengimbangi kuasa bangsawan yang telah diakomodir dalam kamar pertama. Di Amerika Serikat, kamar kedua didirikan untuk mengimbangi kuasa bangsawan Inggris dan elit kolonial di kamar pertama.
Mengacu pada konteks historis yang hendak menjawab kebutuhan akan pembatasan kekuasaan dalam lembaga legislatif tersebut, kita mesti sepakat bahwa kamar kedua—meskipun menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, DPD semestinya disebut sebagai kamar pertama—harus diisi oleh perwakilan yang berbeda dari kamar pertama. Dalam hal Indonesia, kamar pertama telah diisi oleh perwakilan partai yang menyuarakan kepentingan partai. Oleh karena itu, kamar kedua tak boleh diiisi oleh perwakilan yang sama. Dalam diskursus 1999 dan 2002, kamar kedua diperuntukkan bagi perwakilan daerah yang sifatnya perseorangan.
Pada posisi itu, kita tak bisa tawar-menawar.
DPD Semestinya Menawarkan Politik Alternatif di Parlemen
Pasca keruntuhan Orde Baru dan di tengah triumph akan reformasi, pemerintahan membutuhkan kamar parlemen yang dapat bersuara untuk kepentingan daerah. Meskipun kondisi kebatinan pada masa reformasi menggambarkan bahwa masyarakat optimis akan partai politik, faktanya Pemerintah menilai bahwa suara daerah dalam politik di parlemen amat penting untuk diakomodasi.
Politik alternatif DPD yang diharapkan pada masanya menjadi penting untuk mengimbangi politik pemerintahan carut-marut yang ditunjukan oleh anggota partai saat ini dan di tengah sulitnya partai baru untuk tampil sebagai partai peserta pemilu.
Kemana suara DPD saat masyarakat daerah berteriak untuk menyelamatkan SDA daerah? Kemana suara DPD saat masyarakat daerah menuntut kesejahteraan dan keadilan pembangunan di daerah? Jawabnya, DPD diam. Padahal, meski DPD tak memiliki hak veto, DPD dapat menunjukkan keberpihakan pada kepentingan-kepentingan daerah dan masyarakat daerah yang menunjuknya sebagai wakil daerah di DPD.
Pati dan Rembang tengah bergolak. Musi Banyuasin tengah bergolak. Papua pun tengah bergolak. Politik alternatif DPD amat ditunggu.
Bukan salah publik tak mendukung penguatan wewenang DPD. Pun bukan salah publik tak memandang penting keberadaan DPD. Pasalnya, DPD absen pada hampir semua permasalahan daerah. Beberapa kali pemilihan anggota DPD, DPD tak kunjung menjadi pilar demokrasi lokal.
DPD Dibubarkan Saja?
Wacana pembubaran DPD berpotensi menguat. Publik tengah menunjukkan kemarahan. Bukan tak bersimpati—sebab mereka yang bersuara hari ini pernah bersuara untuk memperkuat wewenang DPD—tetapi anggota DPD tidak juga bebenah diri. Perubahan masa jabatan dan pembiaran DPD dikooptasi oleh parpol membuat publik menarik simpatinya kembali.
Anggota DPD mesti memunculkan diri ke publik dan berani menyuarakan politik alternatif. Mereka harus menyadari bahwa perbaikan citra DPD bukan hanya perjuangan pihak luar, tetapi perjuangan dari dalam. Publik menunggu suara the silent majority yang masih memiliki logika sehat dalam memandang pentingnya sterilisasi DPD.
Pilihannya kini, deparpolisasi DPD atau bubarkan DPD. “Tak ada guna kamar kedua kalau sama saja dengan kamar pertama”, kata Zainal. Atau, “Kita tetap pada posisi kita, yakni mengembalikan marwah DPD dengan memperjuangkan DPD agar nonpartisan. DPD harus speak up! Anda dibayar untuk bersuara,” tegas Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol), Yuda Irlang.