April 25, 2025

Menyembunyikan Data Caleg: Ancaman Terhadap Transparansi Pemilu dan Demokrasi

Disinformasi dalam pemilu menjadi salah satu tantangan utama dalam menjaga integritas dan transparansi dalam proses demokrasi. Salah satu penyebab utama munculnya disinformasi adalah kurangnya akses masyarakat terhadap informasi yang berkaitan dengan calon legislatif (caleg). Dalam konteks ini, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sering dijadikan alasan untuk membatasi akses terhadap data caleg, meskipun jabatan legislatif adalah jabatan publik yang seharusnya dapat diakses oleh publik. Hal ini justru berpotensi menciptakan disinformasi yang merugikan masyarakat dan demokrasi itu sendiri. 

Perlindungan Data Pribadi vs Keterbukaan Informasi Publik

Di Indonesia, hak atas informasi publik diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan badan publik, termasuk informasi mengenai calon anggota legislatif (caleg). UU KIP secara eksplisit memberikan hak kepada publik untuk mengakses informasi yang relevan tentang calon yang akan mereka pilih. Oleh karena itu, caleg sebagai jabatan publik harus mematuhi ketentuan ini dan tidak menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan dirinya dari publik.

Namun, masalah muncul ketika UU PDP diterapkan secara tidak tepat pada data caleg. UU PDP mengatur perlindungan data pribadi, namun tidak seharusnya digunakan untuk menyembunyikan data yang relevan dengan jabatan publik. Hal ini seharusnya tidak berlaku pada caleg, karena data mereka berkaitan langsung dengan kepentingan publik dan harus dapat diakses oleh masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Suwarno (2020), meskipun hak perlindungan data pribadi penting, akses terhadap informasi publik terkait jabatan publik harus diutamakan.

Dalam hal ini, apabila informasi mengenai caleg disembunyikan atau tidak dapat diakses oleh masyarakat dengan alasan perlindungan data pribadi, maka hal ini bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh UU KIP. Suwarno (2020) berpendapat bahwa data caleg yang relevan seperti latar belakang pendidikan, pengalaman, dan rekam jejak politik seharusnya dapat diakses oleh publik, karena hal ini berhubungan dengan hak memilih yang dijamin oleh konstitusi.

Disinformasi akibat Terhambatnya Akses Data Caleg

Jika masyarakat tidak dapat mengakses informasi yang cukup tentang caleg, mereka akan terjebak dalam ketidakpastian yang dapat melahirkan disinformasi. Salah satu dampaknya adalah masyarakat bisa saja membuat keputusan pemilu yang berdasarkan pada informasi yang keliru atau bahkan tidak valid. Disinformasi dalam pemilu sering kali muncul ketika informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan tidak dapat diverifikasi atau ketika informasi yang salah disebarluaskan melalui berbagai saluran, baik itu media sosial, berita palsu, atau rumor.

Sebagai contoh, apabila rekam jejak caleg tidak dapat diakses oleh publik karena alasan UU PDP, maka publik akan kesulitan untuk mengetahui apakah seorang caleg memiliki integritas yang baik, pengalaman yang relevan, atau komitmen terhadap kepentingan masyarakat. Hal ini menciptakan celah bagi informasi yang tidak akurat atau bahkan palsu untuk berkembang, karena masyarakat tidak memiliki sumber yang sah dan dapat dipercaya untuk membandingkan informasi yang ada.

Menurut Prasetyo (2022), penyembunyian data caleg dapat mengakibatkan masyarakat terjebak dalam situasi di mana mereka memilih berdasarkan informasi yang salah atau bahkan tidak memilih sama sekali karena kebingungan. Prasetyo (2022)juga menekankan bahwa akses terbuka terhadap data caleg adalah kunci untuk mencegah munculnya disinformasi yang dapat merusak pemilu.

Keterbukaan Data sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia

Hak atas informasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 19, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi dan ide melalui segala saluran media. Dalam konteks pemilu, hak atas informasi ini harus dijamin untuk memastikan bahwa pemilih dapat membuat keputusan yang berdasarkan pada informasi yang sah dan lengkap.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang tidak transparan mengenai akses data caleg dapat melanggar hak ini, dan dengan demikian melanggar prinsip-prinsip HAM. Tunggal (2021) mencatat bahwa transparansi informasi dalam pemilu adalah esensial untuk menjamin bahwa setiap individu dapat mengakses informasi yang mereka perlukan untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses demokrasi.

Akibat Disinformasi bagi Integritas Pemilu

Ketidakjelasan atau terbatasnya akses terhadap informasi caleg bisa memicu ketidakpercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri. Haris (2020) mengingatkan bahwa pemilu yang tidak transparan dapat menciptakan ruang bagi manipulasi informasi yang pada gilirannya mengarah pada disinformasi dan hasil yang tidak representatif. Masyarakat, yang tidak bisa mendapatkan informasi yang jelas tentang caleg, mungkin akan memilih berdasarkan informasi yang salah atau bahkan berdasarkan klaim yang tidak terbukti.

Tidak hanya itu, ketidaktransparanan ini juga dapat meningkatkan tingkat apatisme politik di kalangan pemilih. Jika masyarakat merasa bahwa mereka tidak dapat mengakses informasi yang relevan, mereka akan merasa tidak memiliki kendali atau pemahaman yang cukup tentang calon yang mereka pilih, yang pada akhirnya dapat mengurangi partisipasi dalam pemilu.

Menjaga Keseimbangan antara Perlindungan Data dan Keterbukaan Informasi

Agar tidak terjadi disinformasi dalam pemilu, penting bagi negara untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan data pribadi dan keterbukaan informasi publik. Seperti yang diungkapkan oleh Suwarno (2020), kebijakan terkait dengan perlindungan data pribadi caleg harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat bahwa jabatan legislatif adalah jabatan publik yang harus transparan. Oleh karena itu, akses informasi mengenai caleg yang relevan untuk pemilu seharusnya tidak dibatasi oleh alasan perlindungan data pribadi.

Penting juga untuk mengingat bahwa disinformasi tidak hanya berhubungan dengan informasi yang salah, tetapi juga dengan informasi yang tidak dapat diakses oleh publik. Dengan memastikan akses terbuka terhadap informasi yang relevan tentang caleg, negara dapat membantu mencegah disinformasi dan memastikan bahwa pemilu dapat berlangsung secara transparan dan demokratis.