October 15, 2024

Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”

Syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden kembali diperbincangkan. Di tengah persaingan pemilihan presiden yang terbuka dan lebar di Pemilu 2024 karena disinyalir tanpa ada petahana, semua kekuatan partai politik berpeluang mengajukan pasangan calon yang diinginkannya. Mungkinkah ini terjadi ketika regulasi disepakati tanpa ada revisi?

Keputusan pemerintah dan DPR tidak melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mempertegas bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 tak akan jauh berbeda dengan Pemilu 2019.

Dengan basis regulasi yang sama, peluang hadirnya sosok pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lebih banyak, sebagai alternatif pilihan buat rakyat, kecil kemungkinan akan terjadi.

Meskipun demikian, harapan untuk memperjuangkan hadirnya banyak calon alternatif untuk pemilihan presiden tak berhenti meskipun di Pemilu 2024 peluangnya sudah tertutup dengan tidak adanya revisi UUpemilu tersebut.

Salah satunya terpotret dengan sebuah webinar yang digelar oleh Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertajuk ”Pilpres 2024: Menyoal Presidential Threshold”, Minggu  (14/11/2021) malam.

Peneliti senior di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Siti Zuhro, yang menjadi narasumber dalam webinar tersebut menjelaskan, ambang batas pencalonan presiden seharusnya tidak diperlukan lagi.

Menurut dia, presidential threshold membuat kompetisi tidak berlangsung adil. Pasangan calon yang muncul kemungkinan besar hanya nama-nama lama dan sangat terbatas.

Selain itu, menurut Siti, berdasarkan pengalaman Pemilu Serentak 2019 ditemukan adanya persoalan polarisasi sosial politik sebagai akibat calon presiden dan wakil presiden yang hanya ada dua calon.

”Untuk menghindari polarisasi yang mengancam masa depan demokrasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap partai politik yang memiliki kursi di parlemen (DPR) dapat mencalonkan calon presiden/wakil presiden,” kata Siti Zuhro.

Soal ambang batas pemilihan presiden ini, merujuk hasil jajak pendapat Kompas Juni 2020 disebutkan perlunya pemilih diberikan banyak pilihan calon presiden. Namun, dukungan yang kuat dari partai politik tetap tidak bisa dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hasil jajak pendapat juga mencatat perlu ada keberimbangan di antara kebutuhan akan dukungan partai politik yang kuat dan perlunya pemilih diberikan lebih banyak pilihan (Kompas, 29/6/2020).

Pendek kata, hasil jajak pendapat merekam bahwa ambang batas pemilihan presiden masih perlu untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Meskipun demikian, respons ini tidak tunggal karena dari kelompok responden lainnya justru berharap pemilihan presiden berikutnya bisa memunculkan lebih banyak pasangan calon.Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden. Sebaliknya, bagi kelompok responden yang cenderung menganggap tidak perlu lagi diterapkan beralasan, agar pasangan calon presiden lebih banyak dan tidak dimonopoli oleh kekuatan partai politik besar atau pemenang pemilu.

Jika kita kembali pada konteks pemilihan presiden, secara sederhana bisa kita baca ada keinginan untuk mempertahankan agar ambang batas pemilihan presiden tetap ada, tetapi bisa jadi jangan sampai ambang batas itu justru menghalangi munculnya pasangan calon alternatif.

Ada harapan agar ambang batas pemilihan presiden bisa tetap menjamin iklim kontestasi yang sehat dengan membuka ruang bagi pemilih untuk memilih presiden yang lebih baik. Namun, banyak pihak meragukannya karena dengan ambang batas pemilihan presiden, ruang kontestasi semakin terbatas.

Problem norma

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti yang juga menjadi salah satu narasumber dalam webinar menyebutkan, norma ambang batas parlemen melahirkan gap antara pembuat UU dan publik.

Menurut dia, dengan seringnya norma ambang batas pemilihan presiden ini diuji di Mahkamah Konstitusi, berarti ada yang salah dengan norma tersebut. ”Dengan banyaknya norma itu dimintakan pengujian, itu potret bahwa rakyat tidak puas dengan norma tersebut, artinya norma tersebut bermasalah. Terjadi gap keberterimaan norma tersebut antara rakyat dan DPR,” kata Susi.

Susi mempertanyakan, jika ambang batas pemilihan presiden diberlakukan, apakah benar yang terjadi adanya partisipasi sebagai basis dari demokrasi. Ia khawatir yang terjadi justru penggiringan semata karena pemilih dipaksa hanya memilih dari apa yang sudah ada dengan pilihan yang terbatas.

Menurut dia, presidential threshold akan menghilangkan kesempatan rakyat untuk memilih siapa yang terbaik untuk memimpin mereka.

Apalagi ada kecenderungan dengan adanya ambang batas pemilihan presiden, sebenarnya ada dua lapis persyaratan yang harus dipenuhi untuk maju menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Syarat pertama jelas sudah tertuang dalam UUD 1945 hasil amendemen pada 10 November 2001. Terkait peran partai politik, di Pasal 6A Ayat 2 jelas disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Di pasal ini tidak disebutkan syarat khusus bagi partai politik yang akan mengusung.

Kemudian lapis berikutnya syarat pencalonan presiden disebutkan di Pasal 222 UU No 7/2017 yang menyatakan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Di pasal inilah kemudian ada syarat tambahan bagi partai politik.

Jadi jelas ada dua lapis persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon presiden untuk maju dalam pemilihan presiden, khususnya terkait syarat bagi partai politik pengusungya.

Susi Dwi Harijanti pun mempertanyakan dua lapis persyaratan ini. Jika UU boleh menambahkan syarat-syarat yang sebelumnya ada di UUD, sejauh mana hal itu dapat dibenarkan agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam UUD.

Salah satu putusan MK terkait ambang batas pemilihan presiden ini menyebutkan bahwa pembuat UU memiliki open legal policy, sebuah kewenangan yang sangat terbuka bagi pembentuk UU.

Namun, menurut Susi, yang perlu ditegaskan adalah sejauh mana batasan penambangan syarat itu. Menurut dia, UU semestinya hanya menjelaskan teknis prosedur dari apa yang sudah disyaratkan dalam UUD, bukan menambahkan syarat.

Implikasi hukumnya, jika ada persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 dan kemudian syarat tambahan juga ada di UU,  yang di UU tersebut senantiasa dapat dijadikan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi.

”Kita semua tahu MK sudah berkali-kali memutus perkara yang berkaitan dengan presidential threshold ini, dan tidak pernah dikabulkan. Sepanjang dia diatur di UU, maka tetap terbuka diajukan ke MK selama batu ujinya berbeda,” ujar Susi.

Pada akhirnya, upaya membuka kembali wacana penghapusan ambang batas pemilihan presiden tidak lepas dari semangat mengembalikan hak demokrasi ini kepada rakyat.

Jika semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden, pemilih akan mendapatkan banyak kesempatan untuk memilih yang terbaik, bukan kemudian sejak awal diberikan pilihan yang terbatas.

Di satu sisi dengan banyaknya calon presiden, juga sedikit banyak membuka ruang bagi partai politik berlomba-lomba meningkatkan kualitas kadernya karena ruang kompetisi dalam pemilihan presiden semakin terbuka.

Namun, rasanya di 2024 harapan itu belum bisa diterapkan selama UU No 7/2017 tidak direvisi karena ambang batas pemilihan presiden masih memakai desain yang sama dengan Pemilu 2019. Di Pemilu 2029 bisa jadi harapan itu terbuka. Semoga. (LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/riset/2021/11/15/menyoal-kembali-presidential-threshold