October 4, 2024

Merumuskan “Kondisi Tertentu” dan Alat Bukti Baru Selain e-KTP untuk Menyelamatkan Hak Pilih

Dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat ketentuan yang potensial menghalangi sebagaian warga negara untuk mengaktualisasikan hak politiknya (hak untuk memilih dan dipilih). Tulisan ini berfokus pada potensi hilangnya hak pilih sebagian warga negara akibat adanya pembatasan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) untuk membuktikan hak pilih warga serta bagaimana antisipasinya.

Kontruksi hukum dalam UU Pemilu Pasal 348 ayat (1) a sampai dengan d merupakan ketentuan tentang siapa yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS yang bersifat alternatif. Artinya klasul yang terdapat dalam huruf a sampai dengan d merupakan pilihan dan tidak saling menentukan satu sama lain. Ketentuan tersebut, satu sisi (pada huruf a, b, c), secara tegas membatasi hak pilih harus dibuktikan dengan KTP elektronik, akan tetapi sisi yang lain (huruf d) tidak menyebutkan secara tegas tentang alat bukti apa yang harus digunakan untuk membuktikan klausul penduduk yang telah memiliki hak pilih. Hal tersebut bisa saja menunjukan bahwa Undang-Undang hendak memberikan kelonggaran bahwa dimungkinkan ada instrumen lain yang dapat digunakan untuk membuktikan seorang penduduk memiliki hak pilih.

Ketentuan huruf a, b dan c menegaskan bahwa warga berhak pilih (berumur lebih dari 17 tahun atau sudah/pernah menikah) harus mempunyai alat bukti dan alat bukti tersebut secara ketat hanya dibatasi pada kepemilikan KTP elektronik.  Konsekuensi dari ketentuan ini yaitu pemilih yang tidak memiliki KTP elektronik dapat dihapus dari daftar pemilih dan tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.

Khusus klasul yang terdapat dalam huruf d penduduk yang telah memiliki hak pilih” tidak diikuti ketentuan yang mensuratkan secara tegas tentang instrumen apa yang digunakan untuk membuktikan penduduk yang telah memiliki hak pilih. Dengan demikian secara tersirat dapat dimaknai bahwa Undang-Undang hendak memberikan alternatif lain selain KTP elektronik sebagai alat bukti sebagai pemilih. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 348 huruf d ini dapat berfungsi sebagai pengecualian ketika terdapat kondisi tertentu dimana syarat kepemilikan KTP elektronik tidak terpenuhi.

Ketentuan yang membatasi alat bukti hak pilih hanyalah KTP elektronik tidak akan menimbulkan persoalan ketika administrasi kependudukan sudah baik dan tuntas. Justru faktanya saat ini menunjukan kondisi sebaliknya. Administrasi kependudukan yang belum baik dan tuntas terutama terkait perekaman dan pencetakan e-KTP dapat menjadi penyebab terpenuhinya kondisi tertentu yaitu tidak terpenuhinya syarat kepemilikan e-KTP.

Berdasarkan kondisi di atas, perlu dirumuskan kriteria dan unsur-unsur “kondisi tertentu” (tidak terpenuhinya syarat kepemilikan e-KTP) dan antisipasinya seperti apa agar hak pilih dan dipilih warga negara tidak hilang. Hak pilih warga merupakan hal yang prinsip dan tidak boleh dinegasikan hanya karena aspek administrasi.

Hak pilih adalah pengejawantahan hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang juga secara spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dengan demikian, pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Kaitan dengan hal tersebut, merujuk pada pertimbangan hukum hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Demi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dalam hal penjaminan hak pilih warga dalam pelaksanaan pemilu, maka diperlukan langkah-langkah strategis dari para pemangku kebijakan terutama dari aspek regulasi.

Merumuskan “kondisi tertentu”

Kondisi tertentu dapat dimaknai sebagai sebuah keadaan dimana warga negara yang telah memenuhi syarat tidak memiliki KTP elektronik sebagai alat bukti untuk membuktikan hak pilihnya. Kedaan tersebut bisa disebabkan diantaranya karena:

  1. Diluar kehendak manusia, misalnya karena bencana alam, kebakaran dan bentuk force majeure lainnya yang menyebabkan KTP elektronik dan semua dokumen kependudukannya lenyap;
  2. Warga negara yang tinggal atau merupakan anggota suku pedalaman atau terasing atau kelompok adat yang tinggal dikawasan hutan lindung dan konservasi yang sama sekali tidak memiliki e-KTP dan dokumen kependudukan lainnya;
  3. Warga negara yang menjelang hari pemungutan suara genap berusia 17 Tahun dan tidak sempat melakukan perekaman KTP elektronik;
  4. Narapidana yang dengan sengaja telah menghapus atau membuang KTP elektroniknya serta dokumen kependudukan lainnya.

Merumuskan Alat Bukti Baru Selain e-KTP: Analogi terhadap Pasal 184 KUHAP

Dalam terminologi hukum alat bukti merupakan instrumen yang digunakan untuk mencari kebenaran dan menumbuhkan keyakinan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan Ketentuan Pasal 184 KUHAP macam-macam alat bukti itu terdiri dari alat bukti surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Ketentuan Pasal 184 KUHAP di atas bisa digunakan secara analogis untuk membuktikan kebenaran seorang warga negara yang telah memiliki hak pilih akan tetapi karena kondisi tertentu tidak memiliki e-KTP. Dalam hukum, Penafsiran analogis merupakan penafsiran hukum yang menganggap suatu hal atau ketentuan dapat disamakan atau diberlakukan pada hal yang mirip.

Merujuk pada Ketentuan Pasal 184 KUHAP, secara analogis e-KTP merupakan alat bukti surat untuk membuktikan hak pilih warga. Ketika e-KTP tidak dimiliki oleh warga, maka seharusnya Undang-Undang memberikan alternatif berupa dokumen kependudukan lainnya yang diakui oleh Peraturan Perundang-undangan sebagai alat bukti surat untuk membuktikan hak pilih. Pada kondisi ekstrim, ketika seorang warga sama sekali tidak memiliki dokumen kependudukan, misalnya warga suku pedalaman atau narapidana yang membuang semua dokumen kependudukannya, maka untuk membuktikan hak pilih warga tersebut bisa saja dibuktikan dengan keterangan saksi berupa kesaksian dari aparatur yang bertanggungjawab membawahi wilayah hukum warga tersebut. Kesaksian tersebut bisa dilengkapi dengan surat pernyataan atau berita acara sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah dan meyakinkan.

Merumuskan Alat Bukti Baru Selain e-KTP: Mengacu pada Putusan MK

Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 merupakan uji materiil atas Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap  Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 yang dalam pokok putusannya menyatakan dalam pelaksanaannya Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU 42/2008 yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih atau tercantum dalam DPT untuk dapat memilih telah menghilangkan hak memilih sebagian warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” serta Pasal 28D ayat (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Lebih lanjut Mahklamah Konstitusi memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:

  1. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
  2. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
  3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara(TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukkan tempat pemberian suara dari PPLN setempat;
  4. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
  5. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat.

Yang perlu digarisbawahi dari Putusan MK di atas adalah mengenai perintah mahkamah yang memerintahkan KPU untuk mengatur alternatif lain selain “terdaftar dalam DPT” untuk membuktikan dan menjamin hak pilih warga yang tidak terdaftar dalam DPT, yaitu menggunakan KTP yang dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK). Kondisi pada saat sebelum adanya Keputusan MK, pengakuan hak pilih hanya terpaku pada apakah terdaftar pada DPT atau tidak dan alat bukti yang digunakan untuk membuktikan apakah seorang warga memiliki hak pilih berupa dokumen DPT.

Saat ini kondisi serupa juga terjadi, yaitu berdasarkan UU 7/2017 satu-satunya alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan hak pilih adalah KTP elektronik. Dikarenakan masih ada sebagian warga yang belum memiliki KTP elektronik atau bahkan belum dilakukan perekaman sama sekali, maka ketentuan yang mengkontruksi bahwa KTP elektronik satu-satunya alat bukti hak pilih bisa berpotensi menjadi ketentuan inkonstitusional. Dengan demikian perlu dilakukan terobosan dengan merumuskan ketentuan mengenai dokumen kependudukan selain e-KTP sebagai alat bukti atau dokumen kesaksian dari aparat yang berwenang bagi warga negara yang sama sekali tidak memiliki dokumen kependudukan.

Pranata hukum apa yang bisa digunakan

Dalam perspektif hukum konstitusi, pengaturan yang terkait dengan pemenuhan hak warga bisa diberlakukan dengan Undang-Undang atau peraturan yang sederajat dengan Undang-undang. Dengan demikian, terkait dengan perumusan “kondisi tertentu” dan menentukan instrumen administrasi selain e-KTP dalam rangka menjamin pemenuhan hak politik warga, maka pranata hukum yang bisa digunakan selevel undang-undang. Apabila menggunakan pranata hukum dibawah undang-undang akan riskan dan dari sisi kepastian dan keberlangsungan akan lemah. Termasuk apabila dirumuskan dalam Peraturan KPU.

Berharap Undang-undang 7/2017 direvisi rasanya cukup sulit dan membutuhkan waktu yang cukup panjang karena melibatkan dua cabang kekuasaan yaitu eksekutif dan legislatif. Sedangkan apabila pemberlakukan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya.

Yang paling memungkinkan yaitu menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi, dengan begitu, berarti harus ada judicial review terhadap ketentuan yang dianggap membatasi pemenuhan hak politik warga terutama tentang syarat kepemilikan e-KTP sebagai alat bukti pemenuhan hak pilih. Putusan MK ini lebih menjamin keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, mengingat waktu yang singkat sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara. Mahkamah dapat memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. ***

UDIN SYAHRULDIN, Fungsional Umum pada Sekjen KPU RI