Maret 19, 2024
iden

Meski Digelar di Masa Pandemi, Pilkada Diharapkan Tetap Demokratis

Pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak diharapkan tetap dapat berjalan demokratis meski diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19. Asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil tetap harus terpenuhi, selain kesehatan dan keselamatan petugas, peserta, dan pemilih pilkada.

Harapan itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (ratas) virtual membahas persiapan pelaksanaan pilkada serentak 2020, Rabu (5/8/2020). ”Karena pilkada ini diselenggarakan di tengah situasi pandemi, kita harapkan tetap berjalan secara demokratis, luber, dan jurdil. Tetapi, yang paling penting tetap aman dari Covid-19,” kata Presiden yang memimpin ratas dari Istana Merdeka, Jakarta.

Karena pilkada ini diselenggarakan di tengah situasi pandemi, kita harapkan tetap berjalan secara demokratis, luber, dan jurdil. Tapi yang paling penting tetap aman dari Covid-19. (Presiden Jokowi)

Pilkada serentak tahun ini digelar di 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Dua hal yang ditekankan Presiden terkait pilkada adalah demokratis dan aman dari ancaman Covid-19.  Oleh karena itu, penyelenggara pemilihan, peserta, dan juga pemilih mesti tetap menjaga kualitas demokrasi. Begitu pula aspek kesehatan dan keselamatan petugas penyelenggara, peserta, dan pemilih harus menjadi prioritas.

Protokol kesehatan harus benar-benar diterapkan dalam setiap tahapan pilkada, tanpa kecuali. Jangan sampai pilkada justru menjadi penyebab munculnya kluster penularan atau bahkan gelombang baru Covid-19.

”Penerapan protokol kesehatan harus betul-betul menjadi sebuah kebiasaan baru dalam setiap tahapan di pilkada sehingga nantinya tidak menimbulkan kluster baru atau gelombang baru dari Covid-19 yang kontraproduktif,” kata Presiden dalam ratas yang juga diikuti Wakil Presiden Ma’ruf Amin serta para menteri Kabinet Indonesia Maju dari kantor masing-masing.

Pengalaman negara lain, seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan, dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi dapat menjadi pelajaran. Pemilu tetap berkualitas dengan tingkat partisipasi yang relatif baik.

Penerapan protokol kesehatan harus betul-betul menjadi sebuah kebiasaan baru dalam setiap tahapan di pilkada sehingga nantinya tidak menimbulkan kluster baru atau gelombang baru dari Covid-19 yang kontraproduktif. (Presiden Jokowi)

Karena itulah, lanjut Presiden, hal yang juga penting dilakukan adalah meyakinkan masyarakat bahwa Komisi Pemilihan Umum dan pemerintah sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat dari Covid-19. Salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam setiap tahapan pilkada. Dengan demikian, masyarakat akan merasa aman dan tingkat partisipasi pemilih pun tetap baik.

Lebih lanjut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun mengharapkan pilkada serentak kali ini bisa dijadikan momentum untuk menampilkan cara-cara baru dalam pemilu.  Hal tersebut termasuk inovasi-inovasi yang baik dalam praktik berdemokrasi di masa pandemi yang dilakukan penyelenggara maupun pemilih.

Sosialisasi maksimal

Sementara secara terpisah, peneliti senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpandangan, harapan Presiden akan pilkada demokratis akan sulit terpenuhi. Pasalnya, tidak semua pemilih memiliki akses untuk mengikuti pemungutan suara dengan mudah.

”Pilkada pada masa pandemi ini justru berpotensi tidak demokratis karena akses untuk kelompok rentan pasti terganggu, salah satunya penyandang disabilitas,” katanya.

Pilkada di masa pandemi ini justru berpotensi tidak demokratis karena akses untuk kelompok rentan pasti terganggu, salah satunya penyandang disabilitas. (Nurlia Dian Paramita, JPPR)

Tempat Pemungutan Suara (TPS) model Covid-19 yang berpedoman pada protokol kesehatan, lanjut Mita, hanya bisa diaplikasikan pada pemilih yang sehat dan tidak memiliki keterbatasan fisik. Selain itu, pengaturan jam kedatangan pemilih ke TPS juga akan menyulitkan para pemilik suara.

Karena itu, sudah seharusnya KPU melakukan sosialisasi jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Sebab, banyak cara-cara baru dalam penyelenggaraan pilkada karena penyesuaikan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan. Jangan sampai masyarakat kehilangan hak pilih karena keterbatasan akses.

”Meski sifatnya tidak wajib, KPU semestinya melakukan sosialisasi secara maksimal kepada para pemilih. Ini penting untuk menjamin  hak pilih,” ujar Mita.

Antisipasi kerawan

Dalam ratas virtual itu, Presiden juga mengingatkan tentang pentingnya antisipasi keamanan dan kerawanan dalam pilkada. ”Saya akan meminta laporan antisipasi keamanan dan kerawaran dalam pilkada, karena ini menyakut kurang lebih 270 pilkada, baik pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota,” kata Presiden.

Kerawanan setidaknya ditemukan di tiga tahapan pilkada, yakni tahapan pemutakhiran daftar pemilih, pendaftaran calon perseorangan, dan tahapan kampanye.

Sementara, menurut JPPR, kerawanan setidaknya ditemukan di tiga tahapan pilkada, yakni tahapan pemutakhiran daftar pemilih, pendaftaran calon perseorangan, dan tahapan kampanye. Tahapan pemutakhiran data pemilih dianggap rawan karena pencocokan dan penelitian data pemilih tidak dilakukan dengan mendatangi masyarakat dari pintu ke pintu, tetapi dengan melihat daftar kartu kepala keluarga (KK) penduduk. Pada tahapan ini pula rawan terjadi penularan Covid-19, baik dari petugas lapangan penyelenggara pemilu ke penduduk maupun sebaliknya.

Tahapan pendaftaran calon perseorangan, lanjut Mita, juga mengalami banyak kendala, salah satunya dukungan masyarakat yang ditunjukkan dengan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Sebab, sering kali ditemukan salinan KTP yang dilampirkan dalam formulir dukungan berasal dari masyarakat yang bekerja sebagai aparatur sipil negara atau bahkan penyelenggara pemilu.

Titik rawan lain adalah tahapan kampanye di mana KPU memperbolehkan peserta Pilkada melakukan kampanye secara daring atau virtual. Kampanye secara daring itu dikhawatirkan tidak efektif untuk menyosialisasikan visi, misi, serta program kerja para kandidat.

”Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, kampanye daring itu dari segi audience siapa yang ikut bergabung? Masyarakat pemilih atau masyarakat umum di luar daerah? Fungsi kampanye kan menyosialisasikan ide dan program di wilayah tertentu, bagaimana agar pesan itu bisa sampai kepada masyarakat setempat?” kata Mita.

Kampanye secara daring itu dikhawatirkan tidak efektif untuk menyosialisasikan visi, misi, serta program kerja para kandidat.

Selain itu, mekanisme pengawasan kampanye daring juga dipertanyakan. Sebab masa kampanye dilanjut masa tenang berlangsung relatif panjang, yakni 170 hari. (ANITA YOSSIHARA)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/08/05/meski-digelar-di-masa-pandemi-pilkada-diharapkan-tetap-demokratis/