Kampanye tatap muka dengan pertemuan terbatas masih menjadi metode yang paling diminati peserta Pemilihan Kepala Daerah 2020. Padahal, metode ini sangat rentan menjadi media penularan virus Covid-19 apalagi kandidat tidak mematuhi protokol kesehatan. Sanksi tegas diperlukan agar gelaran ”pesta demokrasi” di daerah mampu memberikan rasa aman kepada pemilih.
Potensi penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 akan meningkat ketika masyarakat tidak menerapkan protokol kesehatan. Terlebih, sebagian pasien tidak menunjukkan gejala sehingga penularan lebih tinggi jika ada kerumunan yang melanggar protokol kesehatan.
Bahkan, pada masa pandemi, ada enam kandidat yang telah terpapar Covid-19 pada periode seusai melakukan pendaftaran, tiga di antaranya meninggal. Tiga kandidat yang meninggal adalah bakal calon bupati Berau (Kalimantan Timur), Muharram (22/9/2020); calon wali kota Bontang (Kaltim), Adi darma (1/10); dan calon bupati Bangka Tengah (Bangka Belitung), Ibnu Saleh (4/10).
Selain itu, ada tiga kandidat lain yang tertular. Calon wakil bupati Bangka Tengah, Herry Erfian, diduga tertular karena melakukan kontak erat dengan pasangannya, Ibnu Saleh, yang meninggal akibat Covid-19. Kemudian pasangan calon bupati dan wakil bupati Purbalingga nomor urut 1 Muhammad Sulhan Fauzi–Zaini Makarim Supriyatno yang keduanya terkonfirmasi positif Covid-19 dan kini telah sembuh.
”Kalau mau Bawaslu memberikan (sanksi) lebih dari itu, dorongannya perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Akan tetapi, semua sudah jalan begini. Sejauh ini juga belum ada wacana (perppu) itu.”
Berdasarkan pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 10 hari pertama masa kampanye, dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada, kampanye tatap muka masih ditemukan di 256 kabupaten/kota (95 persen). Hanya 14 kabupaten/kota (5 persen) yang tidak terdapat kampanye tatap muka.
Adapun di 256 kabupaten/kota itu terdapat 9.189 kegiatan kampanye dengan metode tatap muka atau pertemuan terbatas. Dalam pengawasannya, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota. Atas pelanggaran tersebut, Bawaslu telah membubarkan sebanyak 48 kegiatan. Selain itu, Bawaslu juga melayangkan 70 surat peringatan tertulis terhadap kandidat.
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/10/2020), mengatakan, dengan aturan yang ada saat ini, Bawaslu hanya bisa sebatas memberikan surat peringatan. Jika peringatan tersebut diabaikan, Bawaslu baru akan menyerahkannya kepada kepolisian untuk dikenai sanksi pidana.
”Kalau mau Bawaslu memberikan (sanksi) lebih dari itu, dorongannya perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Akan tetapi, semua sudah jalan begini. Sejauh ini juga belum ada wacana (perppu) itu,” ujar Afifuddin.
Untuk mencegah pelanggaran terulang kembali, Afifuddin melanjutkan, kelompok kerja (pokja) penanganan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 telah meminta kepada peserta dan partai untuk menahan diri agar tidak melakukan mobilisasi massa. Peserta dan partai harus mampu memberikan edukasi yang baik kepada publik.
Menurut Afifuddin, peringatan itu penting disampaikan karena nyatanya pasien positif terinfeksi Covid-19 meningkat di daerah-daerah yang terdapat kampanye tatap muka.
Di Kabupaten Tangerang Selatan, misalnya, ada 74 kegiatan kampanye tatap. Pasien positif terinfeksi Covid-19 pun meningkat dari 26 orang (17-25 September) menjadi 85 orang (26 September-6 Oktober). Kemudian di Kabupaten Kendal terdapat 82 kegiatan kampanye tatap muka. Pasien positif Covid-19 meningkat dari 139 orang (17-25 September) menjadi 182 orang (26 September-6 Oktober).
”Dari evaluasi kami, di mana terjadi kampanye tatap muka, ada kenaikan kasus positif Covid-19. Artinya, harus lebih hati-hati lagi ke depan. Kan, kita mau mencegah, bukan malah menyebarkan virus,” kata Afifuddin.
Ironisnya, metode kampanye yang paling didorong untuk dilakukan pada masa pandemi, yaitu kampanye dalam jaringan (daring) justru paling sedikit dilakukan oleh kandidat. Kampanye daring hanya ditemukan di 37 kabupaten/kota dari 270 daerah (14 persen). Sisanya, 233 kabupaten/kota (86 persen) tidak didapati kampanye dengan metode daring.
Afifuddin menjelaskan, berdasarkan analisis Bawaslu, kampanye daring masih minim karena beberapa kendala. Di antaranya, jaringan internet di daerah yang kurang mendukung, keterbatasan kuota peserta dan penyelenggara kampanye, keterbatasan kemampuan penggunaan gawai peserta dan penyelenggara kampanye, keterbatasan fitur dalam gawai, serta kurang diminati sehingga hanya diikuti oleh sedikit peserta kampanye.
Selain soal metode kampanye, Bawaslu juga mengevaluasi bahan kampanye yang digunakan oleh kandidat. Menurut amatan Bawaslu, kandidat lebih kerap membagikan masker sebagai bahan kampanye karena beririsan dengan metode kampanye pertemuan terbatas. Bahan kampanye lain yang sering digunakan adalah stiker. Pembagian stiker ini juga berpotensi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan.
”Hal itu karena pemberian bahan kampanye itu memungkinkan orang bertemu antarmuka dan bersentuhan tangan,” tutur Afifuddin.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 sudah sangat maksimal.
”Sekarang tinggal bagaimana komitmen pasangan calon untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam setiap tahapan pemilu.”
Aturan sudah mengantisipasi potensi penularan saat masa kampanye dengan memperhatikan protokol kesehatan. Bahkan, aturan terkait kampanye sudah diubah untuk mengurangi risiko penularan Covid-19 saat masa kampanye yang berlangsung selama 71 hari. ”Sekarang tinggal bagaimana komitmen pasangan calon untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam setiap tahapan pemilu,” katanya.
Mengenai kekhawatiran penularan saat kampanye, ia mengingatkan bahwa pasangan calon harus mengikuti pedoman protokol kesehatan yang berlaku secara umum. Jika ada pasangan calon yang positif Covid-19, ia harus menjalani isolasi dan tidak diperkenankan mengadakan kampanye tatap muka dengan mengumpulkan pemilih.
”Jika kandidat bisa mengadakan tes Covid-19 berkala secara mandiri, tentu akan lebih baik karena hal itu belum diatur sehingga kami tidak memiliki anggaran,” ucap Raka.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan bahwa sejauh ini masa kampanye pilkada berjalan cukup baik meski masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran kecil di sejumlah tempat.
”Pelanggaran tetap ada, tetapi tetap bisa dikendalikan dan tidak besar, seperti soal jaga jarak, kapasitas jumlah orang, dan ada yang lupa pakai masker. Pelanggaran yang biasa terjadi ditempat-tempat lain yang tidak ada pilkada,” ujar Mahfud.
Mahfud tetap meminta kepada TNI, Polri, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), pemerintah daerah, dan seluruh aparat, dapat terus menjaga proses pilkada agar tidak memunculkan kluster baru Covid-19. ”Tertibkan keseluruhan jalannya pilkada ini terutama tertibkan dalam konteks pelaksanaan disiplin protokol kesehatan,” katanya.
Mahfud juga meminta kepada pasangan calon untuk berkampanye sekreatif mungkin demi menyukseskan disiplin protokol kesehatan di tengah masa kampanye pilkada.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandes, menilai, sanksi tegas sangat dibutuhkan untuk memastikan semua kandidat melaksanakan kampanye yang taat protokol kesehatan. Sanksi yang ada saat ini berupa teguran dan pembubaran kampanye dinilai masih lemah sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelanggar.
”Pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye pada masa pandemi Covid-19 seharusnya diatur dalam undang-undang atau perppu agar lebih mengikat para kandidat.”
”Pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye pada masa pandemi Covid-19 seharusnya diatur dalam undang-undang atau perppu agar lebih mengikat para kandidat,” katanya.
Jika terus berlarut, dia khawatir setiap pemangku kepentingan seperti pasangan calon, penyelenggara, dan pengawas pemilu akan saling lempar tanggung jawab. Pelanggaran yang terjadi pada 10 hari pertama kampanye berpotensi terus berulang dan merugikan masyarakat.
Dia menilai, presiden masih cukup waktu untuk menerbitkan perppu sebab kampanye masih berlangsung hingga 5 Desember 2020 atau tersisa 60 hari. Masa-masa ini menjadi amat krusial dan berpotensi menjadi kluster penularan jika tidak segera diantisipasi.
”Penegakan hukum hanya bisa terlaksana bila didukung dengan payung hukum kuat. Dalam hal ini, Presiden harus menerbitkan perppu agar pilkada tidak menimbulkan korban lebih banyak,” ujar Arya.