Warga negara yang sudah/pernah kawin meskipun berusia di bawah 17 tahun dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempunyai hak untuk memilih sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada). Ketentuan sudah/pernah kawin bukanlah satu-satunya syarat yang harus dipenuhi bagi seorang warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Ketentuan tersebut harus diakumulasikan dengan keterpenuhan persyaratan lain yaitu terdaftar sebagai pemilih.
Terdaftar dalam daftar pemilih ditentukan oleh apakah seorang warga negara memiliki KTP atau identitas lain. Dalam UU Administrasi Kependudukan, warga negara yang sudah/pernah kawin meskipun berusia di bawah 17 tahun wajib memiliki KTP. Oleh karena itu, yang bersangkutan terdaftar dalam daftar pemilih dan berhak untuk memilih.
“Dengan merujuk ketentuan tersebut [Pasal 63 ayat (1) UU Adminduk–red], maka Warga Negara Indonesia, yang telah memiliki KTP, meski belum berusia 17 tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin, yang bersangkutan memiliki hak untuk memilih dan dapat didaftarkan sebagai pemilih,” kata Suhartoyo, hakim MK, saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019, di ruang sidang MK (29/1).
MK menolak pokok permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Mereka menggugat syarat pemilih yang diatur dalam Pasal 1 Angka 6 UU Pilkada.
“Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin, yang terdaftar dalam pemilihan dan yang kami uji adalah sepanjang frasa sudah/pernah kawin terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945,” kata Fadli Ramadhanil, kuasa hukum Perludem dan KPI, dalam persidangan di MK (3/12).
Menurut Perludem dan KPI sebagai pemohon, pemberian hak pilih bagi yang sudah/pernah kawin meskipun berusia di bawah 17 tahun—atau masih tergolong dalam usia anak—dalam UU Pilkada dinilai bertolak belakang dengan upaya memperkecil angka pernikahan di usia anak di UU Perkawinan. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan telah mengatur usia minimal perkawinan adalah 19 tahun.
Status sudah/pernah menikah juga dinilai tidak bisa dijadikan parameter bahwa yang bersangkutan sudah dewasa dan oleh karena itu berhak diberi hak pilih.
“Bagi warga negara yang sudah melakukan ikatan perkawinan ketika belum berusia 19 tahun atau utamanya yang belum berusia 17 tahun—karena syarat menjadi pemilih adalah 17 tahun—cukuplah menjadi ketentuan di dalam ketentuan perkawinan saja dan tidak dikaitkan dengan syarat warga negara sebagai pemilih,” tegas Fadli.
Namun, MK menilai ketentuan ukuran kedewasaan dengan menggunakan frasa “sudah kawin” atau “pernah kawin” terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain, salah satunya Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata). Pasal 330 menyatakan, “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum usia mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.”
“Undang-undang a quo menegaskan bahwa status sudah menikah atau pernah menikah adalah juga merupakan parameter alternatif untuk menentukan kedewasaan seseorang,” kata Suhartoyo, hakim MK, dalam putusan.
Dengan adanya berbagai ketentuan hukum tersebut, frasa sudah/pernah kawin di UU Pilkada bisa diberlakukan dalam konteks untuk menyatakan bahwa yang bersangkutan menjadi individu yang dianggap dewasa. Pada hakikatnya, orang yang dipandang sudah dewasa dianggap mampu melakukan perbuatan hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan tesebut termasuk untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum.