Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan mempertimbangkan pengalaman para penyelenggara ad hoc Pemilihan Umum 2019 dalam memutuskan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Beban berat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pemungutan Suara, dan Panitia Pemilihan Kecamatan dalam menyelenggarakan pemilu lima kotak diharapkan tidak terulang saat Pemilu 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945, Rabu (9/6/2021). Gugatan itu diajukan mantan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atau penyelenggara ad hoc pada Pemilu 2019.
Para pemohon meminta MK menyatakan keserentakan pemilu tidak dengan menggabungkan pemilu presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah dengan Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pengujian terhadap keserentakan pemilu ini merupakan yang kedua setelah pada 2019 MK memutuskan menolak permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem. Namun, dalam amar putusannya, MK menyatakan ada lima pilihan model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, saat diskusi bertajuk ”Konstitusionalitas Pemilu Lima Kotak dan Beban Kerja Penyelenggara Ad Hoc”, Minggu (6/6/2021), menyatakan, gugatan uji materiil yang diajukan oleh mantan penyelenggara ad hoc Pemilu 2019 kali ini berbeda dengan gugatan yang pernah diajukan Perludem.
Menurut dia, gugatan Perludem dua tahun lalu merupakan bentuk evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu lima kotak pertama di Indonesia. Saat itu, mereka membandingkan antara tujuan penyelenggaraan pemilu serentak dan hasil di lapangan. Argumen yang dikemukakan kepada hakim mayoritas dari sisi teoretis dan perbandingan dengan negara lain.
Adapun pada permohonan kali ini, di mana Perludem menjadi kuasa hukum pemohon, menggunakan perspektif dari penyelenggara pemilu ad hoc. Sebab, mereka merasakan langsung dampak dari pemilu lima kotak.
”Apalagi, ada kondisi hukum baru sebelum memutuskan desain keserentakan, salah satunya mempertimbangkan beban penyelenggara yang wajar,” ujar Khoirunnisa.
Dalam diskusi itu juga hadir sebagai narasumber para pemohon uji materiil UU No 7/2017 dan Direktur Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan.
Khorunnisa berharap nantinya hakim MK mendengarkan keterangan dari perspektif penyelenggara ad hoc pemilu. Keterangan itu penting untuk meyakinkan hakim bahwa pemilu lima kotak mengakibatkan penyelenggara mengalami beban yang relatif berat. Bahkan, dalam catatan Komisi Pemilihan Umum, sebanyak 722 penyelenggara meninggal dan 798 penyelenggara sakit saat Pemilu 2019.
Merujuk pada kajian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, lanjut Khairunnisa, meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu itu dipengaruhi oleh model keserentakan yang berimplikasi pada pekerjaan teknis penyelenggara di lapangan. Perbaikan manajemen tidaklah cukup untuk mencegah hal itu berulang sehingga perubahan model keserentakan dinilai sebagai solusi terbaik.
”MK perlu segera memutuskan perkara ini agar tidak mengganggu tahapan pemilu yang rencananya dimulai pada Maret 2022,” ucapnya.
Pemohon uji materi, Dimas Permana Hadi, mengatakan, pelaksanaan pemilu lima kotak membuat beban penyelenggara ad hoc relatif berat. Mereka sudah mulai bekerja sehari sebelum pemungutan suara dilanjutkan pada hari pemungutan suara yang rata-rata selesai hingga 23 jam sejak pembukaan tempat pemungutan suara.
”TPS dibuka pukul 07.00 dan penghitungan suara selesai sekitar pukul 24.00. Masih dilanjutkan mengisi formulir-formulir sehingga paling cepat meninggalkan TPS pukul 02.00, bahkan ada yang sampai pukul 06.00 keesokan harinya,” kata mantan PPK Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Pemilu 2019 itu.
Oleh sebab itu, ia berharap agar model keserentakan pemilu lima kota pada Pemilu 2019 tidak diulang lagi pada Pemilu 2024. Dengan demikian, beban kerja penyelenggara ad hoc bisa lebih manusiawi. ”Jangan sampai niat kami untuk berpartisipasi menyukseskan demokrasi justru membahayakan kesehatan diri sendiri,” kata Dimas.
Pemohon lainnya, Heri Dermawan, mengatakan, penghitungan surat suara setidaknya membutuhkan waktu hingga 10 jam. Lamanya tahapan itu mengakibatkan sejumlah KPPS kelelahan sehingga tidak fokus saat mengisi berbagai formulir rekapitulasi suara. Hal ini sering kali berdampak pada munculnya kesalahan pengisian formulir.
”MK perlu mendengar kendala di lapangan yang dialami penyelenggara. Waktu kerja yang sangat lama membuat kelalahan dan fokus kami menurun,” katanya.
Menurut Djayadi, penyelenggaraan Pemilu 2019 sangat berat dan membahayakan keselamatan penyelenggara. Oleh sebab itu, model keserantakan harus diubah agar teknis penyelenggaraan tidak terlalu rumit dan beban penyelenggara tetap manusiawi.
Ia mengusulkan agar penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah dilakukan dalam tiga tahap, pertama pemilu nasional memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Dilanjutkan pemilu DPRD provinsi dan gubernur, terakhir pemilu DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota. Desain keserentakan ini sesuai dengan model kelima yang diputuskan MK.
”Penumpukan pemilu membuat parpol hanya ada lima tahunan. Jika pemilu dilaksanakan tiga kali, setidaknya parpol hadir minimal tiga kali dalam lima tahun di masyarakat karena mereka berkepentingan memenangkan pemilu,” ujar Djayadi.
Sementara itu, dalam rapat konsinyering tim kerja bersama antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, Kamis (3/6/2021) malam, disepakati, pemilu presiden, pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota akan digelar pada 28 Februari 2024. Artinya, pemilu tetap direncanakan lima kotak.
Adapun pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak disepakati untuk digelar pada 27 November 2024. Dasar pencalonan kepala daerah adalah perolehan suara partai politik pada pemilu legislatif tahun 2024.
Rapat konsinyering juga menyepakati, tahapan pilpres dan pileg dimulai 25 bulan sebelum pemungutan suara. Hal itu berarti tahapan pilpres dan pileg sudah dimulai pada Maret 2022.
Namun, kesepakatan yang diambil dalam rapat konsinyering tim kerja bersama Komisi II DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu itu masih harus dibahas dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan penyelenggara pemilu. (IQBAL BASYARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/06/06/mk-diharap-pertimbangkan-pengalaman-penyelenggara-ad-hoc-pada-pemilu-2019/