December 14, 2024

MK Tolak Empat Permohonan Mengenai Ambang Batas Pencalonan Presiden

Kamis (25/10), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan empat perkara permohonan uji materi mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang terdapat pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilu. Dua perkara, yakni No.49/2018 dan No.54, seluruh argumentasinya dinyatakan tak beralasan menurut hukum. Sementara perkara No.58/2018 dan No.61/2018 dinyatakan ditolak karena legal standing pemohon tak memenuhi syarat.

Dalam pertimbangan putusannya, MK menegaskan beberapa argumentasi yang menyatakan ketidaksepahaman dengan para pemohon. Pertama, dalam melakukan penilaian terhadap Pasal 6A ayat (1), MK melihat konteks desain sistem presidensial dan penguatannya. Kedua, tak ada perubahan ketatanegaraan yang membuat MK harus merubah sikap. Ketiga, MK menilai penetapan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden sebagai open legal policy yang merupakan hak pembentuk Undang-Undang.

Argumentasi-argumentasi yang disampaikan MK tersebut merupakan penekanan ulang dari pertimbangan yang disampaikan MK dalam putusan-putusan MK sebelumnya mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, yaitu Putusan MK No.51,52,56, 59/2008, Putusan MK No.26/2009, Putusan MK No.4,14,46,56,108/2013, Putusan MK No.49/2014, serta Putusan MK No.53,59,71,72/2017. Repetisi kalimat “menegaskan kembali” dalam putusan MK seolah menyiratkan bahwa MK tak ingin ada permohonan uji materi lain  mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden.

“Mahkamah secara implisit menegaskan kembali pendiriannya bahwa norma undang-undang yang memuat persyaratan perolehan suara atau kursi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum adalah konstitusional,” tertulis dalam Putusan MK No.49/2018.

Desain sistem presidensial dan tujuan penyederhanaan partai

Hak untuk memilih presiden-wakil presiden, kata MK, adalah milik semua orang yang telah berhak pilih. Namun hak untuk dipilih sebagai presiden-wakil presiden ditentukan dengan sejumlah syarat sebagaimana tertuang di dalam Pasal 6A ayat (2) UU Dasar (UUD) 1945. Untuk itu, pembatasan oleh Pasal 222 yang juga dimuat dalam Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

MK menolak argumentasi pemohon, di antaranya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Rocky Gerung, dan ,bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi parlemen menyebabkan Pemilu Serentak 2019 tidak diselenggarakan secara adil. Menurut MK, pencapaian partai atas terpenuhinya ambang batas pencalonan diperoleh partai melalui proses demokrasi yang juga diserahkan kepada pemilih. Ambang batas pencalonan juga dinilai sebagai bukti bahwa partai atau partai-partai pengusung calon presiden-wakil presiden memiliki dukungan kuat dari pemilih.

Selain itu, MK mejelaskan bahwa keberadaan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden adalah constitusional engineering untuk memperkuat sistem presidensial dan menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen. Logika versi MK, untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, partai-partai politik sejak awal akan mencari kawan partai yang dapat bersepakat mendukung pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden dan mengisi personalia kabinet yang akan dibentuk. Dengan kompromi politik tersebut, hal fundamental mengenai program kerja paslon terpilih tak akan terkorbankan dan konsolidasi politik di awal dengan sendirinya akan menyederhanakan jumlah partai politik dan mereduksi sistem presidensial rasa parlementer.

“Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik…untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai ….pendukung pasangan calon di DPR, dan kedua, penyederhanaan jumlah partai politik,” kata hakim MK, Wahiduddin Adams, saat membacakan pertimbangan putusan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat.

Open legal policy dan constitusional engineering

MK mengutip putusannya No.14/2013 dan No.51,52,59/2008 yang menyebutkan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang dapat dibentuk oleh pembuat UU. Pasal 222 dinilai MK hadir sebagai constitutional engineering dengan tujuan memperkuat sistem presidensial.

“Argumentasi para pemohon bahwa syarat pasangan calon bukan open legal policy melainkan close legal policy telah tertolak oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan Mahkamah No.51-52-59/2008 yang kemudian ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah berikutnya…”

Selain menyatakan Pasal 222 sah sebagai constitutional engineering, MK juga menilai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden yang dapat dipilih pemilih. Pasalnya, tak ada regulasi yang membatasi pendirian partai politik sepanjang dapat memenuhi syarat pendirian partai, sehingga kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik yang akan memunculkan presiden-wakil presiden alternatif tetap terbuka.

“Kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini, sejak dijaminnya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan perubahan UUD 1945,” ucap hakim MK, Saldi Isra.

MK nilai tak ada pembohongan publik di Pasal 222

Effendi Ghazali, salah satu pemohon yang untuk kedua kalinya menggugat Pasal 222 mendalilkan bahwa ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang diambil dari hasil pemilihan legislatif (pileg) lima tahun lalu dalam konsep pemilu serentak yang baru diumumkan setelah pelaksanaan Pileg 2014 selesai adalah pembohongan dan penipuan kepada publik oleh pembentuk UU. Pembentuk UU tak pernah menginformasikan kepada pemilih bahwa hasil Pileg 2014 akan dijadikan ambang batas pencalonan presiden pada Pemilu 2019.

MK menyatakan tak sepakat dengan argumentasi Effendi. Penggunaan hasil pemilihan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, dinilai MK, sebagai bukan hal baru sehingga tak dapat dikatakan pembohongan dan merupakan transisi dari pileg dan pemilihan presiden (pilpres) terpisah menuju pemilihan serentak.

Argumen Effendi yang menyatakan bahwa tak ada satu pun negara di dunia dengan pemilu serentak yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden dari hasil pileg lima tahun lalu dibalas oleh MK dengan pernyataan, “Berbicara tentang sistem pemerintahan presidensial, kendatipun secara doktriner dapat ditemukan ciri-cirinya secara umum, dalam praktik terdapat variasi yang beragam sesuai dengan pertimbangan kebutuhan masing-masing negara yang mengadopsi ini.”

MK mencontohkan Amerika Serikat, negara dengan sistem presidensial yang memilih presiden-wakil presiden secara langsung seperti Indonesia. Namun tak serupa dengan negara ini, keterpilihan presiden ditentukan melalui mekanisme electoral college, bukan popular vote atau suara terbanyak.

“Jika dalam mekanisme pemenuhan ciri “pemilihan presiden secara langsung” dimungkinkan terjadi perbedaan, maka tentu dimungkinkan pula terjadinya perbedaan dalam mekanisme pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih secara langsung itu.”

MK tak memutus secara kasuistis

Dalam putusan-putusan ini, secara implisit MK menegaskan sikapnya untuk menutup ruang bagi pihak lain untuk menyatakan pencalonan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, dengan argumentasi apa pun sebagai inkonstitusional. Pandangan MK terhadap ambang batas pencalonan didasarkan pada pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintah presidensial  menurut desain UUD 1945. MK tak memutus secara kasuistis atau menjawab sesuai dengan argumentasi yang diajukan masing-masing pemohon.

“…bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-peristiwa konkret.”

MK menyinggung jarak antara Putusan MK No.53/2017 dengan permohonan-permohonan baru mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Dalam jarak beberapa bulan ini, tak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan di dalam UUD 1945, sehingga tak ada alasan bagi MK untuk merubah pendiriannya.

Para pemohon: MK mengecewakan!

Denny  Indrayana, kuasa hukum para pemohon perkara No.49/2018, dan Effendi Ghazali menyampaikan kekecewaan terhadap MK. Denny menyebut Indonesia sebagai satu-satunya negara yang menerapkan pemilu serentak dengan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden dari hasil pileg lima tahun lalu. Denny juga mengkritik tak dibacakannya dissenting opinion dari dua hakim MK, Suhartoyo dan Saldi Isra. Pembacaan dissenting opinion berguna untuk menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan di MK dan memeriksa transparansi pembuatan keputusan.

“Dulu dissenting opinion itu dibacakan, sekarang tidak. Tadi disampaikan kalau ada dissenting dari Suhartoyo dan Saldi Isra, tapi karena tidak dibacakan, kita gak yakin, benar ada atau tidak,” tukas Denny.

Komentar tajam diutarakan oleh Effendi. Sebagai pemohon yang mengajukan pemilu serentak dan dikabulkan oleh MK, Effendi menuding MK dan pembentuk UU sebagai dua pihak yang menyebabkan keterbelahan masyarakat akibat kebuntuan kekuatan politik yang disebabkan oleh ambang batas pencalonan 20 persen dari perolehan suara sah nasional. Jika tahu ambang batas pencalonan akan kembali diterapkan dalam konsep pemilu serentak, Effendi mengaku tak akan mengajukan pemilu serentak.

“Melaksanakan pemilu seperti ini sangat menyesatkan. Ada partai-partai yang sebentar lagi akan hilang karena dia tidak dapat coattail effect dari pemilu serentak yang punya presidential threshold. Jadi, kalau pemilu serentak ini betul jadi pemilu yang paling kacau, bukan salah saya Effendi Ghazali yang mengajukan judicial review, tapi salah pembentuk UU dan MK. Bangsa kita akan terus berkelahi, terbelah. Presidential threshold melahirkan calon yang hanya dua,” tegas Effendi.

Effendi juga mengkritik keras MK yang mengkomparasi pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden pada pemilu serentak di Indonesia dengan sistem pemilihan electoral college di Amerika Serikat. Poinnya, rakyat Amerika sudah tahu bahwa sekalipun secara popular vote seorang kandidat menang, tetapi yang akan terpilih adalah kandidat dengan kemenangan electoral college terbanyak.

“Analogi yang diambil tadi itu keliru total. Diambil contoh di AS, bahwa sekalipun yang menang itu popular vote, belum tentu jadi presiden. Bukan begitu logikanya! Mereka sudah tahu sistemnya electoral college. Jadi itu gak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sontoloyo,” tandas Effendi.