October 8, 2024

MK Tolak Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden, Para Pemohon Kritik Argumentasi MK

Putusan uji materi ambang batas pencalonan presiden dikritik oleh para pemohon. Pasalnya, argumentasi yang digunakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan bahwa keberadaan ambang batas sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bermasalah baik secara logika maupun hukum.

Effendi Ghazali, pakar komunikasi politik, mengatakan bahwa MK hanya menjawab argumentasi yang diajukan oleh Partai Islam Damai Aman (Idaman), dan mengabaikan argumentasi para pemohon lainnya. Pihaknya, di dalam permohonan, menandaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden tidak dapat diterapkan pada Pemilu 2019 karena tak pernah ada sosialisasi di tahun 2014 bahwa hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 akan dijadikan dasar penentuan ambang batas pencalonan presiden di 2019. Jawaban dari argumentasi ini tak ditemukan di dalam putusan penolakan MK.

“Karena yang dijawab lebih dulu adalah permohonan dari Partai Idaman, maka struktur pembahasan oleh MK lebih banyak ke struktur yang diajukan Partai Idaman. Sama sekali tidak menyinggung apa yang saya ajukan,” ujar Effendi di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (11/1).

Effendi kemudian menegaskan bahwa tak ada satu pun mahkamah konstitusi di dunia yang mengizinkan hak pilih warga negara dialihkan untuk dasar penentuan suatu pemilihan tanpa memberi tahu terlebih dulu. Effendi, akan kembali mengajukan permohonan dengan argumentasi ini.

Selain Effendi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga melontarkan kritik keras kepada MK. Ketika ditemui setelah pembacaan putusan, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan bahwa logika yang dibangun MK di dalam putusannya jauh dari logika konstitusi. MK seperti pengamat politik yang membahas pemerintahan presidensial rasa parlementer dan penyederhanaan sistem kepartaian. MK tidak berhasil membangun argumen logis bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional sekalipun merujuk pada hasil pemilu sebelumnya. Pun, MK tidak dapat mengaitkan ambang batas pencalonan presiden di dalam konsep pemilu serentak dengan penguatan sistem presidensial.

“MK terlihat tidak fokus dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun soal ambang batas pencalonan presiden. MK sama sekali tidak menyentuh rasionalitas dan relevansi ambang batas terkait dengan keberadaan pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Logika MK melompat-lompat dan sangat memaksakan argumennya dengan menarik-narik ke isu penyederhanaan partai dan isu open legal policy,” jelas Titi.

Effendi dan Titi memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra, yang melakukan dissenting opinon atau berbeda pendapat terhadap Putusan. Argumentasi yang digunakan keduanya dinilai lebih logis dan menyinggung tepat pada apa yang perlu diperiksa secara konstitusional.

“Logika ini membuat saya bahagia sekali. Tadi jernih sekali dissenting opinionnya,” tukas Effendi.