Isu ambang batas parlemen di Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu akan diputuskan pada Selasa, 13 Juni 2017. Ada empat opsi yang dipertimbangkan, yakni ambang batas 3,5 persen, 4 persen, 5 persen, dan 7 persen dari perolehan suara sah nasional.
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi massa terbesar di tanah air, menyelenggarakan konferensi pers guna memberikan masukan kepada Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu. Terkait isu ambang batas parlemen, Muhammadiyah mengusulkan 0 persen. Diterapkannya ambang batas parlemen dinilai tak efektif menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen, tetapi justru menghilangkan mandat rakyat.
“Kalau ada ambang batas parlemen, calon-calon anggota DPR yang memiliki perolehan suara besar tapi tidak memenuhi ambang batas nasional, tidak bisa masuk ke DPR. Itu pelanggaran terhadap mandat yang diberikan rakyat,” tegas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bachtiar Effendy, di Menteng, Jakarta Pusat (9/6).
Muhammadiyah memandang bahwa yang perlu diterapkan adalah ambang batas pembentukan fraksi. Dalam konsep ini, anggota legislatif terpilih yang tak cukup memenuhi ambang batas pembentukan fraksi dapat bergabung dengan anggota lain untuk membentuk fraksi bersama.
“Ambang batas pembentukan fraksi pernah diberlakukan pada Pemilu 1999. Pada waktu itu, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) hanya memperoleh kursi enam dan tidak cukup membentuk fraksi sendiri. Maka, PKS bergabung dengan PAN (Partai Amanat Nasional) membentuk Fraksi Reformasi,” jelas Bachtiar.
Dalam persepsi Muhammadiyah, ambang batas pembentukan fraksi lebih demokratis daripada ambang batas parlemen. Ambang batas fraksi bermanfaat untuk efisiensi dalam pengambilan keputusan. Usulan ini didukung pula oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang akan berkompetisi di Pemilu 2019.