Maret 19, 2024
iden

Muncul Desakan Penundaan Parsial Pilkada, Pemerintah Bergeming

Pemerintah bergeming terhadap usulan penundaan parsial maupun penundaan menyeluruh Pilkada 2020 di tengah masih terus meningkatnya penyebaran Covid-19. Di sisi lain, perumusan sanksi lebih tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan Covid-19 di tahapan pilkada juga belum dilakukan.

Usulan penundaan Pilkada 2020 antara lain muncul dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta dari kelompok masyarakat sipil. Dorongan ini kembali muncul setelah tahapan pendaftaran calon peserta Pilkada 2020 di 270 daerah pada 4-6 September. Banyak pasangan bakal calon melanggar protokol kesehatan dengan menggelar arak-arakan dan pengumpulan massa pendukung.

Direktur Jenderal Politik Umum dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar dalam diskusi virtual, Selasa (15/9/2020) mengatakan, pilkada harus tetap dilanjutkan. Hal itu sudah menjadi keputusan politik bersama pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu.

Setelah evaluasi pencegahan dan pengendalian Covid-19, kata dia, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar seluruh pihak tertib menaati protokol kesehatan. Penegakan aturan hukum maupun administratif didorong lebih tegas.

“Ada atau tidak ada pilkada, protokol kesehatan wajib dilaksanakan. Sudah ada aturan yang baik dibuat untuk mematuhi protokol kesehatan. Ini cuma masalah penegakan hukum saja,” kata Bahtiar.

Data dari Satgas Penanganan Covid-19, per 13 September, dari seluruh daerah yang menyelenggarakan 9 pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati dan walikota, 22 kabupaten/kota masuk risiko tinggi. Sementara itu, 176 kabupaten/kota dalam risiko sedang, 82 kabupaten/kota risiko rendah, 17 kabupaten/kota tidak ada kasus baru, dan 12 kabupaten/kota tidak terdampak.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengatakan, idealnya pilkada ditunda dulu selama beberapa bulan. Penundaan dilakukan untuk memperbaiki prosedur pilkada terutama untuk menghilangkan pertemuan langsung yang berpotensi kerumunan.

Sejumlah prosedur harus diubah untuk menjamin keselamatan dan kesehatan publik. Perubahan regulasi itu mendesak diperlukan agar seluruh pihak dapat menjalankan protokol kesehatan. Sebab menurutnya, memastikan protokol kesehatan dalam tahapan pilkada yang rumit dan kompleks di Indonesia sangat sulit.

“Misalnya pengundian nomor urut, kampanye dalam bentuk rapat umum, pertemuan tatap muka, dialog. Bila perlu buka opsi pemungutan suara lewat pos, pemungutan suara lebih awal. Ini semua diperlukan sebagai jaminan semua pihak dapat menaati protokol kesehatan,” kata Hadar.

Terus dipantau

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, tahapan Pilkada 2020 harus terus dipantau untuk memastikan protokol kesehatan Covid-19 dapat diterapkan dengan baik. Namun, untuk memutuskan dapat atau tidaknya penundaan pilkada secara parsial, hal itu tergantung pada kondisi yang sedang berjalan saat ini. Persoalannya ialah status zonasi kerentanan penularan Covid-19 itu sangat dinamis.

“Ada daerah yang hari ini merah, lalu besoknya oranye, dan besoknya lagi merah, dan hari berikutnya bisa saja berubah jadi hijau. Maka itu harus diikuti perkembangannya dan mencari solusi mengantisipasi hal-hal yang bisa mengganggu tahapan pilkada, terutama protokol kesehatan,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menambahkan, belum ada pembicaraan penundaan pilkada secara parsial maupun keseluruhan. Dari hasil evaluasi, DPR juga belum menemukan adanya penularan Covd-19 yang muncul akibat dari pelaksanaan tahapan pilkada. Kluster pilkada sebagaimana dikhawatirkan berbagai pihak itu belum ditemui, sekalipun kewaspadaan ketat harus ditingkatkan di tengah pandemi yang belum teratasi ini.

Terpisah, anggota KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, sepanjang belum ada keputusan lain, KPU melanjutkan tahapan pilkada sesuai PKPU 5/2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada. Masukan dari masyarakat termasuk petisi dan usulan penundaan pilkada secara parsial dianggap sebagai kepedulian terhadap pemilu. Karena itu, KPU berkomitmen, meski pilkada diselenggarakan di tengah amuk virus korona penyebab Covid-19, jangan sampai kualitasnya menurun. Partisipasi masyarakat harus terjaga.

Dewa juga mengatakan sesuai UU 6/2020 tentang Penetapan Perppu 2/2020, wewenang penundaan pilkada ada di tangan pemerintah, KPU, dan DPR. KPU tidak bisa memutuskan secara sepihak.

Terkait pelanggaran terhadap protokol kesehatan Covid-19, anggota Badan Pengawas Pemilu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, penerapan sanksi administratif sebenarnya sudah diatur di PKPU 6/2020. Namun, bentuk sanksinya belum diatur jelas di PKPU tersebut. Temuan Bawaslu, saat pendaftaran, bakal calon yang sudah dinyatakan positif Covid-19 tetap hadir di KPU dan berkasnya diterima. Ada pula, bakal paslon yang positif Covid-19, saat pendaftaran diwakili suaminya

“Kami usulkan agar KPU juga merumuskan jenis sanksi itu secara tegas, agar ada efek jeranya,” kata Dewi.

Tanpa rumusan sanksi yang jelas dan tegas, kata dia, Bawaslu kesulitan menindak pelanggaran protokol kesehatan.

Sementara itu, Kepala Subdit IV Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar Agus Hermawan mengatakan, kepolisian dapat menindak pelanggar protokol kesehatan. Kepolisian dapat berpedoman pada UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta pasal 212 dan 218 KUHP.

Polri juga dapat melakukan penyelidikan apabila ada temuan pelanggaran pidana yang disertai bukti oleh Bawaslu. Sanksi tindak pidana ringan (tipiring) juga dapat diterapkan apabila diatur dalam perda. Namun, apabila hanya ada peraturan kepala daerah, tidak ada sanksi pidananya. (DIAN DEWI PURNAMASARI/RINI KUSTIASIH/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 September 2020 di halaman 2 dengan judul “Pemerintah Bergeming.” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/16/pilkada-tetap-lanjut-namun-sanksi-pelanggar-protokol-kesehatan-tak-tegas/