Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah mengkaji desain penataan sistem politik ke depan yang ingin dibenahi melalui pembahasan beragam rancangan undang-undang di bidang politik. Namun, hingga sejauh ini belum ada konsep yang jelas dari DPR dan pemerintah mengenai desain koheren penataan sistem politik, kepemiluan, dan pemerintahan.
Ada tujuh undang-undang (UU) yang akan dibenahi dalam konteks penataan sistem politik dan pemerintahan ke depan. Ketujuh UU itu adalah UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pemilihan Kepala Daerah, UU MPR, DPR, DPD (MD2), UU Pemerintahan Daerah, UU Pemerintahan Desa, serta UU Keuangan Pusat dan Daerah.
Kebutuhan akan reformasi sistem politik saat ini menjadi penting di tengah kompleksitas persoalan demokrasi dewasa ini. Oligarki partai yang menguat, sistem politik yang minim transparansi dan meritokrasi, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) berbiaya tinggi, korupsi politik yang semakin menjadi-jadi, serta pemerintahan yang tidak efektif adalah beberapa dari sekian banyak persoalan di bidang politik.
Oleh karena itu, Komisi II DPR menargetkan membahas sejumlah UU tersebut dalam waktu satu tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri mengusulkan rancangan UU berkonsep omnibus law (sapu jagat). Artinya, satu rancangan UU untuk menyinkronkan dan meleburkan sejumlah regulasi yang dinilai tumpang tindih dan bertentangan.
“Hingga kini belum ada gambaran mengenai substansi RUU paket politik dan reformasi sistem yang ingin dicapai”
Meski demikian, sampai sekarang, DPR dan pemerintah belum punya konsep yang jelas mengenai penataan sistem politik seperti apa yang diinginkan ke depan. Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, mengatakan, hingga kini belum ada gambaran mengenai substansi RUU paket politik dan reformasi sistem yang ingin dicapai.
”Belum ada desainnya, baru ada kesepakatan mau menata sistem politik dan undang-undang mana saja yang mau dibahas untuk itu. Setelah itu, baru kami bicara desain,” kata Doli, Selasa (7/1/2020), di Gedung Parleman, Jakarta.
Menurut Doli, DPR dan pemerintah akan berbagi tugas untuk menyusun konsep naskah akademik dari sejumlah UU tersebut. Agar fokus, pembahasan UU akan dibagi menjadi beberapa kluster.
Kluster pertama menyangkut proses politik, yang terdiri dari paket UU kepemiluan, yaitu UU Pemilu dan UU Pilkada, serta paket politik, yaitu UU Partai Politik dan UU MD2. Kluster kedua menyangkut hasil politik, terdiri atas paket pemerintahan, yaitu UU Pemda, UU Pemdes, dan UU Keuangan Pusat-Daerah.
”Kami dengan Kemendagri sudah berbagi tugas siapa yang akan buat naskah akademik dan draf RUU. UU paket pemilu akan menjadi tanggung jawab DPR. Sementara pemerintah menyiapkan konsep untuk UU paket politiknya,” ujar Doli.
Pelibatan publik
Sejauh ini, diskursus penataan sistem politik dan pemilu berkisar pada sejumlah isu. Hal itu, antara lain, mencakup sifat keserentakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, sistem pemilihan legislatif proporsional tertutup atau terbuka, serta penataan partai politik dari kelembagaan internal sampai penyederhanaan sistem multipartai. Penataan sistem politik secara komprehensif perlu menyasar banyak persoalan dan isu lain untuk mendorong demokrasi yang lebih substansial.
“Penataan sistem politik secara komprehensif perlu menyasar banyak persoalan dan isu lain untuk mendorong demokrasi yang lebih substansial”
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa menilai, desain besar penataan sistem politik saat ini masih dikaji oleh DPR dan pemerintah. Pada masa sidang mendatang, setiap fraksi di DPR akan mengadakan diskusi serta berkonsultasi kepada berbagai institusi, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta sejumlah kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang demokrasi dan kepemiluan.
”Memang kita belum bicara resmi, tetapi gambarannya sudah ada. Oleh karena itu, sekarang tiap fraksi sedang melakukan kajian, dan tentunya publik, akademisi, akan dilibatkan. Masukan publik akan dijadikan bahan masukan,” kata Saan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan pentingnya pelibatan publik dalam proses pembahasan UU paket politik ini. Hal itu karena isu-isu dalam UU ini berkaitan erat dengan hak rakyat dalam sistem politik yang demokratis.
”Untuk menghindari pembahasan secara parsial, pembahasan undang-undang ini harus dalam jangka waktu yang memadai dan melibatkan banyak aktor, termasuk masyarakat sebagai pemilih,” kata Titi. (AGE, NIA)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2020/01/08/konsep-penataan-belum-jelas/