Maret 28, 2024
iden

Oportunisme Politik Menjadi Tantangan

JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah serentak 2018 bisa gagal berkontribusi dalam memperkuat demokrasi jika tidak mampu mengatasi oportunisme politik. Oportunisme politik yang menimbulkan pasangan calon tunggal, politik uang, dan eksploitasi isu primordialisme sempit bisa memicu apatisme masyarakat dan politik populis.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, Selasa (13/2) sekitar pukul 22.00, atau sehari setelah penetapan pasangan calon dalam pilkada serentak 2018 di 171 daerah, ada 20 bakal pasangan calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Sementara itu, data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan, ada 42 bakal pasangan calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU sehingga punya kesempatan mengajukan sengketa.

Mereka yang telah ditetapkan sebagai pasangan calon, kemarin, melakukan pengundian nomor urut. Mewujudkan pilkada yang aman dan tertib menjadi komitmen yang muncul saat pengundian nomor urut di Pilkada Jawa Tengah, yang diikuti dua pasangan. Pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin mendapat nomor urut satu, sedangkan Sudirman Said-Ida Fauziyah mendapat nomor urut dua,

Di Pilkada Jawa Timur, acara pengundian nomor urut juga dimanfaatkan untuk menyosialisasikan visi dua pasang kandidat yang ikut kontestasi. Visi kerja sama diusung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto yang mendapat nomor urut 1. Visi perubahan berkelanjutan diusung Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang mendapat nomor urut 2.

Catatan

Data KPU menunjukkan, ada kenaikan jumlah daerah yang menggelar pilkada dengan hanya satu pasangan calon. Pada pilkada serentak 2015 di 269 daerah, ada tiga daerah menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal, sedangkan Pilkada 2017 di 101 daerah ada sembilan pasangan calon tunggal.

Anggota KPU, Ilham Saputra, menuturkan, pada Pilkada 2018 ada 10 daerah yang dipastikan menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal. Selain itu, ada empat daerah lain yang juga hanya punya satu pasangan calon, tetapi masih ada kesempatan menambah pasangan calon. Daerah itu adalah Lebak (Banten), Bone (Sulsel), Deli Serdang (Sumut), dan Kapuas (Kalteng).

Umumnya pasangan calon tunggal terjadi karena petahana yang kembali mencalonkan diri ”memborong” dukungan partai politik sehingga menutup kesempatan pasangan calon lain.

Dua kandidat di Pilkada 2018 juga telah ditangkap KPK karena kasus dugaan korupsi yang diduga untuk mendanai pilkada, yakni calon gubernur NTT Marianus Sae dan calon bupati Jombang (Jatim) Nyono Suharli Wihandoko. Keduanya beserta pasangannya sudah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU. Bawaslu juga mulai menemukan penggunaan isu suku, ras, agama, dan antargolongan dalam spanduk terkait pilkada di Kalimantan Barat. Muncul pula penggunaan isu putra daerah untuk melawan kandidat yang dianggap bukan berasal dari daerah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menuturkan, dua penyakit besar dalam kontestasi politik lokal di daerah ialah politik uang dan politik identitas.

Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, persoalan politik uang, pilkada dengan calon tunggal, dan politisasi politik identitas, jika tidak bisa diatasi, bisa memicu apatisme masyarakat terhadap demokrasi, sekaligus memperkuat politik populis. Hal ini juga bisa membuat pilkada gagal melahirkan hasil yang bisa berkontribusi terhadap penguatan demokrasi.

Titi juga khawatir, kegagalan mengatasi tiga hal itu akan dimanfaatkan elite untuk menyatakan bahwa demokrasi elektoral langsung telah gagal memberi dampak positif kepada masyarakat hingga berpotensi ada usulan agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Padahal, inti persoalan bukan di sana, melainkan ada di partai politik.

Karena itu, dia mendorong penyelenggara pemilu untuk melakukan apa yang bisa dilakukan saat ini semaksimal mungkin. Misalnya terkait pasangan calon tunggal, masyarakat perlu diberi informasi bahwa mereka tetap punya pilihan jika tidak setuju dengan calon tunggal yang ada.

Terkait politik uang dan politisasi primordialisme sempit, pengawas pemilu dan penegak hukum perlu serius menindaklanjuti berbagai nota kesepahaman yang telah dibuat. Parpol juga mesti didorong lebih serius melakukan pengaderan dan perekrutan.

(BRO/NSA/KRN/SEM/REN/GAL)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 14 Februari 2018 di halaman 1 dengan judul “Oportunisme Politik Menjadi Tantangan”. https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/02/14/oportunisme-politik-menjadi-tantangan/