Revisi Undang-Undang (UU) Pemilu masuk menjadi salah satu agenda program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020. Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memasukkan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke dalam revisi UU Pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019 ditafsirkan telah mengakhiri dualisme pilkada dengan pemilu sehingga Pilkada merupakan bagian dari pemilu.
“Kami dorong agar UU Pilkada disatukan dengan UU Pemilu menjadi satu kitab. Saya dengar memang ada keinginan partai untuk menggabungkan. Kami dukung gagasan ini, dan kami dorong untuk segera dilakukan. Ini kan masuk agenda Prolegnas 2020, jadi bahas di 2020. Alasan mengalami reses, ada pilkada, yang penting adalah memenuhi target prioritas Prolegnas 2002,” tandas Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari, pada diskusi “Omnibus Law dan Paket UU Pemilu” di Diskusi Kopi, Guntur, Jakarta Selatan (3/3).
Feri kemudian menjelaskan bahwa paket UU Pemilu bukanlah omnibus law, melainkan kodifikasi undang-undang. Pola omnibus law tak dikenal dalam konsep hukum di Indonesia yang diatur di dalam UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Konsep omnibus law yang dikmapanyekan pemerintah dan partai politik tidak dikenal. Lampiran 268 UU No.12/2011, yang dikenal adalah konsep kodifikasi undang-undang, bukan omnibus law. Dan, omnibus law itu single subject topic,” jelasnya.
Menurut Feri, pembahasan revisi UU Pemilu berpotensi digabungkan dengan pembahasan enam undang-undang lain, yakni UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, UU MPR dan DPR, UU Keuangan Negara, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU Partai Politik. Ia dan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, meminta agar DPR membahas ketujuh undang-undang ini secara bersamaan untuk menghindari inkonsistensi norma.
“Meskipun Prolegnas itu revisi UU Pemilu, tapi DPR mestinya merespon progresif Putusan MK No.55/2019 dengan memasukkan substansi pilkada di revisi UU Pemilu, sehingga nanti kita punya satu naskah yang ada pengaturan pileg (pemilihan legislative), pilpres (pemilihan presiden), penyelenggara pemilu, dan pilkada. Nah, kalau itu digabung, ada implikasi ke undang-undang lain. Maka, kepada tujuh undang-undang lain, mesti ada keserentakkan pembahasan agar jangan sampai aturnya nanti beda-beda,” tukas Titi pada diskusi yang sama.
UU Pemilu No.7/2017 telah menyatukan tiga undang-undang terkait pemilu, yakni undang-undang tentang Pilpres, undang-undang tentang Pileg, dan undang-undang tentang Penyeleggara Pemilu. Dengan keluarnya Putusan MK No.55/2019 yang secara eksplisit menyatakan pilkada merupakan rezim pemilu melalui model pemilu serentak yang menggabungkan pilkada dengan pemilihan legislatif di tingkat daerah, pengaturan pilkada dipandang semestinya disatukan dengan pemilu.
Model pemilu serentak perlu simulasi memadai
Dorongan masyarakat sipil agar pembahasan revisi UU Pemilu berikut pilkada segera dilakukan ditujukan agar pembahasan tidak terburu-buru. Sesuai amanat dari MK, penetapan model pemilu serentak mesti dilakukan sejak dini agar ada cukup waktu untuk simulasi dan agar tercipta sistem pemilu yang berdaya laku panjang.
Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati mengatakan bahwa setiap model pemilu serentak yang disebutkan oleh MK dalam putusannya No.55/2019 memiliki dampak beruntun masing-masing. Tiga diantaranya, masa jabatan kepala daerah, beban teknis penyelenggara pemilu, dan desain surat suara.
“Perlu disimulasikan, model serentak yang mana yang cocok. Apa yang tiga kotak, empat kotak, atau dibuat tiga tingkat, atau dua tingkat?” ujar Khoirunnisa.
Terkait masa jabatan, Titi mencontohkan, jika yang ditetapkan pembentuk undang-undang adalah pemilu serentak nasional pada 2024 dan pilkada serentak lokal pada 2022 untuk daerah yang telah menyelenggarakan pilkada di tahun 2018, maka ada kepala daerah yang tak menjabat secara penuh selama lima tahun. Kepala daerah yang terpilih pada 2018 semestinya mengakhiri tugas pada 2023. Pun, masa jabatan anggota DPR Daerah (DPRD) periode 2019-2024 dapat berkurang atau bertambah jika pemilihannya dibarengkan dengan pilkada, dalam konsep pemilu serentak lokal, pada 2022 atau 2026.
“Pembentuk undang-undang harus memastikan siklus pilkada di 272 daerah yang kemarin pilkada di 2017 dan 2018. Kami mendorong agar tetap ada pilkada, apakah disatukan pada akhir 2022 atau awal 2023 agar tidak mengganggu persiapan 2024. Daerah yang pilkada di 2022 juga akan hanya empat tahun kalau jeda waktu pemilu serentak nasional dan lokal dua tahun, yaitu di 2026. Nah, apakah akan pakai pendekatan memotong masa jabatan atau pelantikannya tetap mengikuti akhir masa jabatan. Opsi ini harus disimulasikan oleh pembentuk undang-undang,” urai Titi.
Peneliti Pusako Universitas Andalas, Charles Simabura mengingatkan resiko penyalahgunaan wewenang jika masa jabatan kepala daerah diperpanjang. Jika pelantikan kepala daerah dilakukan jauh setelah penetapan pemenang kepala daerah, amat mungkin terjadi konflik didalam relasi kepala dan wakil kepala daerah.
“Kalau mereka belom dilantik padahal masa jabatan sudah habis, dan kepala sama wkailnya sama-sama maju di pilkada, ketika si wakil menang dan si kepala daerah kalah, igu kan sudah sungkan. Akan ada konflik. Nah, jadi pilihan desain pemilu serentak memang dampaknya tidak sederhana,” kata Charles.
Pembahasan harus partisipatoris dan inklusif
Perludem dan Pusako Universitas Andalas mengingatkan DPR untuk membahas revisi UU Pemilu secara terbuka dan partisipatoris. Salah satu amanah dalam Putusan MK No.55/2019 yakni, melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dan memiliki perhatian pada pemilu. Resistensi banyak pihak terhadap Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja dan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat pembahasan undang-undang yang tertutup dan tidak partisipatif diharapkan tak terjadi pada RUU Pemilu.
“Bukan tidak mungkin akan menghasilkan kegaduhan yang sama kalau pembuatan RUU Pemilu sama seperti Omnibus Law. Pertama, ketergesaan karena ingin proses yang cepat. Kan naskah omnibus law tergesa-gesa, hampir tanpa proses pelibatan publik. Sehigga, ketika naskah itu jadi, para pihak menolak. RUU Pemilu adalah produk politik. Ketika dia tidak disiapkan dengan proses yang baik dan partisipatoris, rentan mendapatkan penolakan juga,” ucap Titi.
Menambahkan Titi, Charles meminta DPR untuk terbuka kepada publik terkait naskah akademik RUU Pemilu. Pasalnya, RUU yang masuk Prolegnas adalah RUU yang telah memiliki naskah akademik.
“Belajar dari kasus RUU Ketahanan Keluarga, tiba-tiba muncul naskah akademiknya. Termasuk Omnibus Law. Nah, kalau masuk Prolegnas biasanya ada kajiannya. DPR dan Pemerintah kan selalu bilang, syarat RUU masuk Prolegnas adalah sudah ada naskah akademiknya. Jangan-jangan RUU Pemilu ini sudah ada nashkah akademiknya,” pungkas Charles.
Penyelenggara pemilu jangan pasif
Charles mendorong agar penyelenggara pemilu aktif memberikan masukan dan mendorong segera dibahasnya RUU Pemilu. Sebagaimana lembaga negara yang memiliki kepentingan akan terbitnya suatu undang-undang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dapat meyurati DPR untuk membahas RUU Pemilu.
“Revisi undang-undang biasanya kan ada pemrakarsa. Nah, KPU Bawaslu ini kok jadi lembaga pasif sekali? MK, KY (Komisi Yudisial), MA (Mahkamah Agung), itu punya inisiatif sebagai pemrakarsa, mereka mneyurati pemerintah dan DPR agar undang-undang mereka dibahas. Kan mereka yang merasakan bebannya teknis pemilu. Masa yang merasakan gak ngomong?” tukas Charles.
KPU dan Bawaslu diharapkan memberikan catatan akademiknya kepada pembentuk undang-undang. Beban teknis penyelenggaraan pemilu dari masing-masing model desain sistem pemilu dinilai hanya dapat diidentifikasi dengan baik oleh penyelenggara pemilu.