December 9, 2024

Palestina, Pemilu, dan Kudeta

Palestina hingga kini masih mengalami apa yang disebut demokrasi sebagai kebiadaban: perang. Merupakan pemahaman umum, saat suatu negara ikut dalam hubungan internasional berarti saat itu demokrasi menjadi prasyarat. Maka pergantian pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat hanya sah melalui penyelenggaraan pemilu. Kontestasi politik kuasa dalam pemilu merupakan praktek beradab pergantian pemerintahan secara berkala dan partisipatif terhadap rakyat.

Jika dikaitkan dengan konteks Palestina, pemilu lebih merupakan sebuah legitimasi intervensi kuasa Amerika Serikat (AS). Yang dimaksud AS di sini adalah kepentingan politik ekonomi ideologi kapitalisme. Ini dasar berjalannya standar ganda AS dalam kerjasama internasional dengan pemerintahan Negara lain hasil pemilu. Jika kontestasi ideologi pemilu suatu negara bertentangan dengan kepentingan kapitalistik AS, pemerintahan negara tersebut bisa dikudeta.

Tepatnya pada Pemilu 2006 Palestina. Pemungutan suara pemilu kedua sejak 1996 ini, diselenggarakan 25 Januari untuk memilih Dewan Legislatif Palestina (PLC) dan Dewan Perwakilan Rakyat Otoritas Nasional Palestina (PNA). Hasilnya Partai Hamas memperoleh 74 kursi dari 132 kursi. Sementara Partai Fatah sebagai pemenang pemilu sebelumnya (1996, 88,2%), di Pemilu 2006 hanya memperoleh 45 kursi. Hamas, Fatah, dan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) berbagi suara total nasional dengan persentase 44,45%, 41,43%, dan 4,25%.

Pada 2007, AS mengkudeta pemerintahan hasil Pemilu 2006. Berdasar dokumen yang didapatnya, jurnalis David Rose melalui tulisannya “The Gaza Bombshell” memaparkan, kudeta di Palestina dijalankan Amerika Serikat bersama Israel dengan mengerahkan kekuatan militer melalui pihak Partai Fatah di pemerintahan. Kudeta ini oleh filusuf Amerika Serikat, Noam Chomsky disebut sebagai bagian dari “Nightmare in Gazza” (2014). Chomsky mengingatkan, para pemimpin Hamas telah berulang kali menegaskan, Hamas akan menerima penyelesaian dua-negara sesuai dengan konsensus internasional yang telah diblokir AS dan Israel selama 40 tahun.

Hamas sebagai singkatan dari Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) merupakan organiasi berideologi Islam. Kepesertaan Hamas sebagai partai di Pemilu 2006 merupakan yang pertama sejak pemilu pertama Palestina 1996. Hamas didirikan pada 1987 oleh Sheik Ahmed Yassin sebagai cabang gerakan kebangkitan Islam, Al Ikhwanul Muslimin (persaudaraan muslim) pimpinan Hasan Al Bana.

Piagam Hamas 1988 menegaskan, Hamas didirikan untuk membebaskan Palestina dari kolonialisasi militer oleh Israel. Konteks ini mendorong Hamas membentuk sayap militer, Ad-Din Al-Qassam. Di sini dipakai pemahaman, senjata api merupakan hal yang dibutuhkan dalam pembebasan melawan penjajahan Israel.

Latar belakang Hamas itulah yang menjadi dasar Amerika Serikat dan (tentu saja) Israel menggagalkan pemerintahan hasil pemilu. Hamas diyakini hanya menjadikan demokrasi sebagai alat meraih kuasa pemerintahan Palestina untuk menerapkan agenda Islamis. Kepentingan Amerika Serikat yang tercermin dalam perluasan Negara Israel merasa terancam dengan kemenangan Hamas di pemilu. Kemerdekaan Palestina dari pendudukan Israel sebagai dasar berdirinya Hamas akan mempersulit bertambahnya (bahkan mengurangi) luasan Negara Israel.

Jika para akademisi (orientalis) AS dan Eropa suka bertanya mengenai relasi Islam dan Demokrasi, Pemilu Palestina 2006 merupakan jawaban, Islam (bahkan dengan terma fundamentalis[me] yang dinisbatkan orientalis pada Hamas) bisa menerima pemerintahan berpaham kedaulatan ada di tangan rakyat (bukan Allah) itu.

Kita tahu, dalam perspektif tradisi referensi suci Islam, demokrasi bukan sistem pemerintahan yang berasal atau secara mendasar sesuai dengan Islam. Tapi Hamas menerima demokrasi serta mengikuti dan menjalankan tahapan pemilu sebagai prosedur demokrasi.

Menyertakan sejarah kudeta hasil Pemilu Palestina 2006 ini dengan sejarah kudeta Mesir 2013 menguatkan makna pemilu sebagai legitimasi intervensi kuasa AS. Kita tahu, Mohamed Morsi merupakan presiden pertama Mesir yang dipilih melalui pemilu. Ternyata, tak sampai satu tahun, pemerintahan hasil prosedur demokrasi itu digulingkan massa dan militer serta dukungan AS atas dasar perbedaan ideologi.

Morsi berasal dari Partai Kebebasan dan Keadilan berbasis massa gerakan Al Ikhwanul Muslimin dan berideologi Islam yang memenangkan pemilu legislatif 2012. Morsi bersama partainya yang menguasai parlemen dinilai menerapkan dan memperluas agenda Islam ke banyak aspek pemerintahan dan negara.

Ini pun bukan soal Islam dan Timur Tengah saja. Kisah kudeta hasil pemilu dan intervensi kuasa AS pun terjadi di negara sosialis Amerika Latin yang pemerintahannya dipilih melalui prosedur demokrasi. 1973, Salvador Allende di Chili yang menjalankan program nasionalisasi perbankan, pertambangan, dan industri Chili berhasil dikudeta Jenderal Pinoche atas dukungan AS. Tuduhan tak demokratis hanya stempel karena kita bisa membandingkan betapa tak demokratisnya sosial-politik Arab Saudi dan Singapura tapi tak ada kudeta karena secara ekonomi menguntungkan AS.

Perang ideologi

Politik luar negeri AS menyertakan klaim, menyebarkan demokrasi berarti menawarkan perdamaian. Tapi standar ganda diterapkan AS. Perang menjadi bagian demokrasi saat pemilu menghasilkan pemerintahan yang tak terbuka terhadap kuasa kapitalistik AS. Apa yang diterapkan AS di Palestina, Mesir dan Chili pun diterapkan di Indonesia.

Dengan perspektif ideologis, pemilu pada dasarnya merupakan perang ideologis. Prosedur dari, oleh, dan untuk rakyat ini dirancang oleh elite kuasa untuk mempertahankan kuasanya dan menutup kuasa lain. Jika Pemilu 1955 Indonesia yang sangat ideologis itu menerapkan sistem mayoritarian (kemenangan distrik), Indonesia berpotensi menjadi negara Islam melalui Masyumi dan partai berideologi Islam lainnya. Maka sistem proporsional didorong untuk memungkinkan partai nasionalis memenangkan pemilu karena basis massanya di Pulau Jawa yang berpenduduk banyak.

Indonesianis, Max Lane dalam “Malapetaka di Indonesia” (2012) menjelaskan, pasca-Pemilu 1955 yang ideologis, pemerintahan di jelang pemilu berikutnya dikudeta militer. Tragedi 30 September 1965, merupakan tanda ideologi lain bernama komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) berpotensi menguasai pemerintahan jika pemilu bisa diselenggarakan. Soekarno yang dekat dengan PKI merapatkan hubungan bileteral ke China. Ucap “Go to hell with your aid” dari Soekarno menutup banyak kerjasama Indonesia dengan AS beserta lembaga dana moneter internasional melalui nasionalisasi perusahaan.

Kudeta 1965 terhadap pemerintahan Soekarno juga merupakan pembantaian ideologi sekaligus massa komunisme. Ini awal berdirinya pemerintahan otoriter Orde Baru yang dilegitimasi Pemilu 1971. Sejak itu, rezim pemerintahan Soeharto langgeng 30-an tahun terpilih melalui pemilu yang pura-pura pemilu. Jika AS mau konsisten dengan klaim demokrasinya, jelas, otoritarian Orde Baru merupakan praktek pemerintahan paling tak demokratis dalam sejarah Indonesia. Tapi selama hampir setengah usia Indonesia itu, AS mendukung Soeharto karena sejalan dengan intervensi Super Power.

Sikap Soekarno yang menutup intervensi kuasa AS pun dilakukan Soeharto di era krisis moneter 1997-98. Soeharto sadar, menjual atau memberikan jaminan aset nasional dalam keadaan krisis kepada AS dan lembaga dana moneter internasional untuk mendapatkan pinjaman dana malah memperburuk ekonomi Indonesia. Soeharto lalu dikudeta melalui militer dan skenario demonstran dan kemarahan massa. Pemilu 1999 harus diselenggarakan untuk menggantikan Soeharto. Tujuannya, pemerintahan terpilih harus terbuka terhadap privatisasi aset nasional.

Pemilu ideologis

Merujuk pemilu Palestina, Mesir, dan tragedi 65, hadirkan pertanyaan, mungkinkah pemilu menjadi kontestasi ragam ideologi? Apakah bisa ideologi seperti Islamisme dan Komunisme berprospek menang di pemilu dan menjalankan pemerintahan hingga pemilu berikutnya? Atau mungkin kudeta adalah kepastian terhadap pemerintahan atau hasil pemilu yang cenderung menolak intervensi kuasa AS?

Pemilu 1999, ragam ideologi tumbuh dalam pemilu setelah 30 tahun dibunuh Orde Baru. Melihat hasilnya, partai ideologis ternyata mendapat respon yang sangat sedikit dari warga. Beberapa kali pemilu pasca-Reformasi diselenggarakan, ideologi justru semakin hilang. Intervensi kuasa kapital semakin menguatkan pragmatisme partai dan parlemen. Modal uang dinilai jauh lebih penting dibandingkan modal massa yang nyata dididik politik.

Pemilu Palestina 2006 sebetulnya bisa menjadi inspirasi partai dan pemilu Indonesia. Sejatinya, ideologi merupakan konsepsi dari kesadaran dan pengalaman penindasan secara kolektif. Dengan ini, konsep berpikir dan massa bisa meraih kuasa untuk menghasilkan kebijakan yang menjadi solusi permasalahan masyarakat dan negara.

Jauh/dekat-nya pemilu dengan cita kemerdekaan rakyat diukur dari seberapa intim partai dengan massa yang akan memilihnya di pemilu. Hamas dan Palestina merupakan pengingat bahwa politik yang berkepentingan publik harus berasal dari pengalaman dan kebutuhan publik. Hal ini menjadikan partai dengan ideologinya bisa menghubungkan politik yang kultural dengan yang struktural melalui pemilu.

Pengalaman kolektif warga Palestina adalah penindasan berupa kolonialisasi dan perang oleh Israel. Kesadaran permasalahan ini menumbuhkan kebutuhan akan kemerdekaan Palestina. Hamas dengan ideologi (kebangkitan) Islam lahir dari konteks pengalaman dan kesadaran itu. Sehingga, Hamas bisa memenangkan pemilu meski sebagai kontestan baru.

Pasca-pemilu, partai seharusnya kembali pada rakyat untuk memenangkan pemilu berikutnya. Partai harus mengalami permasalahan rakyat. Dengan ini ideologi kembali dirumuskan agar bisa relevan dengan kebutuhan rakyat. Islamisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme, atau apapun. Menangkan lah pemilu untuk menerapkan ideologi itu di pemerintahan terpilih. Jika dikudeta, berarti benar pemilu adalah legitimasi intervensi kuasa AS. []

USEP HASAN SADIKIN