Di tengah pandemi Covid-19 yang belum reda, masyarakat masih menunjukkan kepercayaannya pada demokrasi. Puluhan juta pemilih pada 9 Desember 2020, mendatangi tempat pemungutan suara pemilihan kepala daerah. Semangat itu perlu disambut elite dengan mendengar suara rakyat serta merumuskan kebijakan yang baik dan relevan bagi mereka.
Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah untuk memilih 9 gubernur/wakil gubernur dan 261 bupati/wali kota berjalan relatif baik dan aman. Berdasar data sementara Komisi Pemilihan Umum RI, Senin (14/12/2020), rata-rata tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,83 persen. Angka itu masih minus data 25 kabupaten/kota di tiga provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Papua.
Jika persentase itu bertahan hingga semua data masuk, artinya ada sekitar 75 juta pemilih mengambil risiko hadir di TPS di tengah ancaman Covid-19. Capaian partisipasi ini juga lebih tinggi dibanding tiga gelombang pilkada di era normal, yakni tahun 2015 (69,2 persen), 2017 (74,5), dan 2018 (73,2). Angka 75 persen ini melebihi perkiraan sejumlah peneliti politik yang khawatir partisipasi akan rendah karena pandemi membuat daya tolak (push factor) lebih besar ketimbang daya tarik (pull factor) bagi pemilih untuk mendatangi TPS.
Di sejumlah negara yang lebih dahulu menyelenggarakan pemilihan di tengah Covid-19, tingkat partisipasi pemilih memang cenderung turun, kendati ada pula yang naik.
Di Pemilu 2019, tingkat partisipasi pemilih di Indonesia juga tinggi, yakni 81 persen. Partisipasi pemilih yang tinggi dalam kontestasi elektoral menunjukkan aspek “dari rakyat” dalam demokrasi relatif terpenuhi. Namun, tak ada jaminan hal itu akan dibalas pemenuhan aspek “oleh rakyat” dan “untuk rakyat” dari para elite yang terpilih menduduki posisi eksekutif maupun legislatif.
Beberapa data empiris mengindikasikan masih ada gap antara ekspektasi rakyat dengan perilaku elite yang terpilih. Idealnya, elite dipilih untuk mewakili rakyat dalam membuat kebijakan dengan melibatkan dan mendengar masukan dan harapan rakyat (“oleh rakyat”), sehingga kebijakan itu relevan bagi mereka (“untuk rakyat”).
Kepentingan privat
Kesenjangan ekspektasi publik dan sikap elite menjadi persoalan kronis menahun. Delapan tahun lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 Mahfud MD dalam pidato “Batas Kuasa Rakyat” mengingatkan adanya reduksi atas demokrasi. Demokrasi bukan lagi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, tetapi “dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite” (mkri.id, 19/10/2012).
Beberapa kasus korupsi yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah pandemi mendukung refleksi itu. Kebijakan diambil pejabat publik bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat, tetapi untuk kepentingan privat elite. Dengan kata lain, kebijakan yang seharusnya “untuk rakyat” dibajak oleh uang suap.
Misalnya, dalam penangkapan Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo dan Bupati Kutai Timur (Kaltim) Ismunandar, uang suap terkait pengadaan barang dan jasa dari pihak swasta diduga digunakan untuk kepentingan pilkada. Selain juga ada dugaan penggunaan pribadi.
Selain itu, dugaan korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara menimbulkan ironi di tengah kondisi banyak rakyat yang kehilangan pekerjaan. Dalam penangkapan Edhy, ada cukup banyak barang mahal yang disita penyidik KPK, seperti sepeda, tas, dan jam tangan. Barang itu diduga dibeli dari uang suap.
Sementara itu korupsi yang diduga dilakukan Juliari terkait langsung dengan bantuan bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. Juliari diduga menerima fee Rp 10.000 per paket bantuan sosial senilai Rp 300.000. Dia diduga menerima uang Rp 17 miliar dari rekanan. Uang disebut KPK digunakan untuk kepentingan pribadi.
Kasus ini melukai masyarakat. Padahal, publik mengapresiasi langkah pemerintah yang mengalokasikan dana besar untuk jaring pengaman sosial bagi warga terdampak Covid-19. Survei Litbang Kompas, Agustus 2020, menunjukkan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin cukup tinggi; 58,9 persen.
Di sisi lain, legislatif juga disorot publik karena membahas secara cepat rancangan undang-undang yang dinilai kontroversial, salah satunya UU Cipta Kerja. Gelombang unjuk rasa sempat mewarnai persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Seperti disampaikan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif dalam “Tujuan dan Cara Etis” yang dimuat di Kompas (22/10/2020), boleh jadi pihak yang mendukung dan kontra pada UU itu punya tujuan yang benar. Namun, untuk sampai pada tujuan yang benar, harus pula ditempuh jalan yang benar. Dalam kondisi pandemi, kendala perjumpaan bisa menyebabkan kurang terakomodasinya suara kelompok marjinal. UU yang semula didesain untuk kepentingan publik, justru “jadi kurang responsif terhadap aspirasi keseluruhan”.
Regresi demokrasi
Di tahun 2020, diskursus di ruang publik juga diwarnai kekhawatiran masyarakat sipil dan akademisi atas dampak pandemi Covid-19 yang dapat mempercepat regresi demokrasi di Indonesia. Kekhawatiran ini tidak terlepas dari tren gelombang kemunduran demokrasi di sejumlah negara yang terakselerasi oleh pandemi. Sejumlah negara melanggar standar demokrasi sebagai langkah darurat merespons Covid-19.
Dalam the Pandemic Democratic Violations Index, yang disusun Varieties of Democracy Institute, Swedia, berdasar data Maret-September 2020, Indonesia mendapat skor 0,25 atau terdapat sejumlah pelanggaran, tetapi tak berskala besar (skor lebih dari 0,3). Indonesia berada di peringkat 61 dari 144 negara yang dikaji.
Di sisi lain, kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir disoroti peneliti politik dari dalam dan luar negeri. Ada yang menganggap demokrasi Indonesia stagnan, tetapi ada pula yang menganggap Indonesia mengalami regresi demokrasi.
Masyarakat sipil antara lain khawatir pada kecenderungan menyempitnya ruang kebebasan sipil. Pandemi Covid-19 dinilai membuat ruang mengemukakan ketidaksetujuan jadi terbatas, kendati di sisi lain penggunaan teknologi daring dapat memfasilitasi perjumpaan virtual.
Persoalan lain yang juga berdampak pada regresi demokrasi ialah pembelahan masyarakat yang belum kunjung meluruh. Polarisasi salah satunya disebabkan kesenjangan (Grechyna, 2016; On the Determinants of Political Polarization). Pandemi Covid-19, berpotensi memperlebar kesenjangan itu.
Ian Goldin dan Robert Muggah dalam analisisnya yang diterbitkan di laman daring World Economic Forum (9/10/2020), menyebut Covid-19 mempertajam kesenjangan pendapatan, kesenjangan berbasis gender, kesenjangan antaretnis, dan kesenjangan antarnegara. Menggunakan data Amerika Serikat, Goldin dan Muggah menyebut, di satu sisi jutaan orang kehilangan pekerjaan dan angka pengangguran menyentuh 15 persen antara April dan Juni 2020, di sisi lain, kekayaan lima orang terkaya naik 26 persen.
Keseimbangan
Kesenjangan antara ekspektasi warga dan perilaku elite, penyempitan kebebasan sipil, kesenjangan pendapatan yang mempertajam polarisasi, bisa menggerus kepercayaan horizontal; sesama warga dan kepercayaan vertikal; masyarakat dengan institusi negara.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan elite ialah berusaha mencari keseimbangan baru. Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) mengingatkan pentingnya keseimbangan tiga hal, yakni negara kuat, penegakan hukum, dan akuntabilitas.
Negara yang kuat tidak dilihat dari sikap yang represif, tetapi bagaimana negara memastikan adanya tertib sosial dan mampu memberikan pelayanan kepada warga negaranya. Namun, dalam menjalankan kekuasannya, negara harus berada dalam batas-batas hukum. Hukum berlaku untuk semua warga negara dan tidak ada keistimewaan bagi elite. Sementara akuntabilitas bermakna pemerintah responsif terhadap kepentingan seluruh masyarakat.
Bisakah kita memperkuat keseimbangan ini, dimulai dari tahun 2021?