Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tengah dipertanyakan. DPD, sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen dinilai tak memiliki wewenang yang kuat sebagai penyeimbang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD hanya dapat mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR dan ikut membahas RUU bersama DPR dan presiden, tetapi tidak memiliki hak veto untuk menyetujui suatu produk regulasi.
“DPD ini, di satu sisi punya sistem rekrutmen yang hebat, yang bersandar pada dukungan konstituen di daerah, tetapi wewenangnya sangat lemah. Di negara lain, senat itu powerfull, tapi di Indonesia macam macan ompong,” kata pakar hukum tata negara, Refly Harun, pada diskusi “Kembalikan Marwah DPD” di Slipi, Jakarta Barat (7/3).
Refly kemudian menjelaskan bahwa DPD dibentuk pada 2004 untuk menghadirkan perspektif dan pengaruh daerah di dalam parlemen. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang jumlah perwakilan di setiap daerah pemilihan (dapil) ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, merupakan representasi kepentingan partai. Oleh karena itu, dibutuhkan kamar kedua sebagai kekuatan penyeimbang yang tak menyuarakan kepentingan partai, tetapi kepentingan daerah.
Prinsip dan tujuan pembentukan DPD tersebut tengah diselewengkan. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol), Yuda Irlang, 28 dari 132 anggota DPD merapat kepada Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sebelumnya, Refly menyebutkan bahwa banyak anggota DPD yang disokong oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada saat kampanye pemilihan anggota DPD.
“Tujuan membentuk DPD pada akhirnya tidak tercapai. Hanya menghadirkan orang saja, tapi menghadirkan persepektif atau pengaruh daerah tidak tercapai. DPR dan DPD, kalau gak ada bedanya (sama-sama dari dan untuk kepentingan partai), gak ada gunanya,” tukas Refly.
Diharapkan DPD menyadari hakikat pembentukannya sebagai lembaga negara yang merepresentasi kepentingan-kepentingan daerah dan bebas dari aktivitas partai. DPD harus menunjukkan kinerjanya kepada lembaga negara lain dan masyarakat umum, untuk kemudian mendorong penguatan wewenang lembaga.