Pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan masih ditemukan pada masa awal kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020. Jika pelanggaran terus terjadi, bukan tidak mungkin pemilih akan semakin bersikap apatis terhadap pelaksanaan pilkada.
Berdasarkan catatan pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 26-27 September 2020, yang disampaikan kepada Kompas pada Senin (28/9/2020), total terdapat 18 kegiatan kampanye yang tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Jenis pelanggaran itu meliputi tidak membatasi jumlah peserta kampanye, peserta tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak, serta tidak terdapat fasilitas cuci tangan di area kampanye.
Berdasarkan catatan Bawaslu pada 26-27 September 2020, terdapat 18 kegiatan kampanye yang tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Pada hari pertama kampanye (26/9), misalnya, di Kabupaten Bandung (Jawa Barat) dan Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat), pasangan calon didapati menggelar pertemuan tatap muka dengan total peserta lebih dari 50 orang.
Hal serupa terjadi di Kota Medan (Sumatera Utara). Salah satu pasangan calon menghadiri kegiatan sukarelawan di sebuah kafe yang jumlah pesertanya lebih dari 50 orang. Belakangan diketahui, pasangan tersebut adalah Bobby Nasution dan Aulia Rachman. Bobby merupakan menantu Presiden Joko Widodo.
Sementara pada hari kedua kampanye, pelanggaran ditemukan di Kabupaten Solok Selatan (Sumatera Barat), Kabupaten Pasaman Barat (Sumatera Barat), Kabupaten Mukomuko (Bengkulu), Kabupaten Pelalawan (Riau), Kota Sungai Penuh (Jambi), Kabupaten Lamongan (Jawa Timur), Kabupaten Purbalingga (Jawa Timur), Kabupaten Bantul (Yogyakarta), dan Tojo Una-Una (Sulawesi Tengah).
Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, saat dihubungi di Jakarta, Senin ini, mengatakan, dilihat dari frekuensi pelanggaran, sebenarnya trennya membaik dibandingkan dengan tahap pendaftaran. Namun, hal itu tidak bisa menjadi jaminan bahwa calon akan terus mematuhi protokol kesehatan hingga masa kampanye selesai pada 5 Desember 2020.
”Kami tidak bisa menjamin hari ke depan karena semakin hari nanti akan semakin dekat dengan masa pemilihan. Kampanye bisa saja lebih dimaksimalkan oleh setiap calon. Bisa jadi karena sekarang masih jarang yang memanfaatkan untuk kampanye atau sedang menyusun strategi kampanyenya,” ujar Afifuddin.
Afifuddin menyampaikan, sejauh ini proses penertiban kampanye yang melanggar protokol kesehatan masih berlangsung kondusif. Sebab, setiap penindakan dilakukan bersama kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) daerah setempat. Bahkan, di sejumlah tempat, tim dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga ikut turun mengawasi.
”Itu mempermudah kerja kami. Termasuk, nanti kalau kami ingin merekomendasi penghukuman tiga hari tidak boleh kampanye terhadap calon yang mengabaikan teguran, kami bisa sampaikan langsung ke KPU,” ucap Afifuddin.
Rasionalitas pemilih
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya berpendapat, pandemi Covid-19 tentu akan menaikkan rasionalitas pemilih. Rasionalitas pemilih ini bisa dilihat dari dua kacamata, yakni kesehatan dan ekonomi.
Dari sisi kesehatan, misalnya, pemilih yang mengutamakan kesehatan akan cenderung marah terhadap kandidat yang melanggar protokol kesehatan.
Dari sisi kesehatan, misalnya, pemilih yang mengutamakan kesehatan akan cenderung marah terhadap kandidat yang melanggar protokol kesehatan. Namun, kemarahan itu tidak bisa serta-merta diartikan bahwa pemilih tersebut akan menjatuhkan pilihannya kepada calon lain yang patuh pada protokol kesehatan. Kemungkinan besar pemilih tersebut justru semakin apatis terhadap pilkada.
”Ujungnya malah partisipasi pemilih yang berkurang. Karena akhirnya orang lebih melihat ketika masih terjadi pelanggaran meski hanya dilakukan oleh salah satu kandidat di pilkada tersebut, mereka akan memandang rendah pelaksanaan pilkada atau bahkan menganggap pilkada seharusnya tidak dilakukan,” tutur Yunarto.
Kedua, dari kacamata ekonomi, situasi pandemi malah menaikkan rasionalitas dalam konteks negatif. Pemilih menjadi semakin pragmatis. Artinya, mereka langsung meminta bayaran di depan demi pemenuhan kebutuhan besarnya, entah itu berupa uang, bantuan sosial, atau kebuuhan pokok.
”Nah, pada titik itu, pilkada berpotensi menjadi sangat brutal dari sisi pragmatisme. Kualitas pilkada akan diwarnai oleh pragmatisme pemilih yang paling tinggi sepanjang sejarah karena semua lapisan masyarakat sekarang merasa kondisinya jauh lebih sulit. Dan, itu menyebabkan, orang yang tadinya tidak pragmatis pun cenderung bisa menjadi pragmatis. Orang yang cenderung selama ini menerima, tetapi tidak bisa dibeli suaranya, sekarang jangan-jangan suaranya bisa dibeli karena kebutuhan yang lebih mendesak,” kata Yunarto
Dari kacamata ekonomi, situasi pandemi malah menaikkan rasionalitas dalam konteks negatif. Pemilih menjadi semakin pragmatis.
Oleh karena itu, jalan keluarnya, lanjut Yunarto, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pengetatan protokol kesehatan di pilkada. Menurut dia, psikologi politik akan berbeda ketika protokol keseharan diatur di dalam perppu dibandingkan lewat peraturan KPU.
”Artinya, keseriusan payung hukum tentang protokol kesehatan adanya di level presiden atau negara, bukan diserahkan kepada pemikiran KPU. Toh, kalau perppu, lebih kuat. Kita selama ini punya keterbatasan dalam penegakan sehingga orang ahirnya melihat aturan itu dengan psikologi politik yang sama, ketakutan yang serba nanggung,” ucap Yunarto.
Selain itu, Yunarto mengusulkan agar kampanye monologis dihapus total. Pasangan calon harus dipaksa melangkah lebih maju menghadapi situasi pandemi. Dengan begitu, kampanye akan fokus pada debat yang akan disiarkan melalui media elektronik dan kampanye daring.
”Harus diakui tak mudah proses penyesuaian terhadap aturan ketika elemen dalam kampanye banyak sekali dan kompleks, seperti sukarelawan, partai, simpatisan, sehingga sulit untuk berharap komitmen dari kandidat. Komitmen dari kandidat pun tidak serta-merta memastikan kondisi teknis di lapangan, apalagi dilengkapi dengan tidak adanya ketakutan secara psikologi politik terhadap aturan selama ini,” tutur Yunarto. (NIKOLAUS HARBOWO)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/28/pelanggaran-protokol-kesehatan-masih-terjadi/