December 9, 2024

Pelanggaran Protokol Kesehatan Kampanye Naik

Pelanggaran terhadap protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19 pada masa kampanye Pilkada 2020 mulai meningkat.   Peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu dibutuhkan untuk   memperkuat  penanganan dan sanksi bagi  pelanggar protokol kesehatan karena telah  mengancam keselamatan  publik dan kualitas pilkada.

Saat ini, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang pelaksanaan tahapan pilkada di masa pandemi Covid-19 menjadi pegangan dalam menangani pelanggar protokol kesehatan. Pasal 88 A PKPU No 13/2020 menyebutkan, jika ada yang melanggar kewajiban protokol kesehatan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat memberi peringatan tertulis. Apabila sudah diperingatkan tertulis, tetapi protokol kesehatan tetap tak dijalankan, Bawaslu bisa menyampaikan rekomendasi ke kepolisian. Rekomendasi berisi permintaan agar pelanggar diberi sanksi sesuai perundang-undangan.

Berdasarkan data  Bawaslu yang diterima Kompas,  Rabu (30/9/2020) malam, pada 28-30 September, kampanye terjadi di 177 daerah, dengan temuan pelanggaran protokol kesehatan di 34 daerah. Pelanggaran, antara lain, terkait pertemuan tatap muka dengan peserta lebih dari 50 orang, tak menggunakan masker, dan tak menjaga jarak. Angka itu  naik dari temuan pelanggaran  protokol kesehatan pada 26-27 September, yakni  di 19  daerah. Kampanye  berlangsung hingga 5 Desember

Tidak bisa bubarkan

Di sejumlah daerah, Bawaslu setempat  mengeluarkan teguran tertulis kepada pasangan calon ataupun tim sukses yang melanggar protokol kesehatan. Di sebagian daerah, kampanye yang melanggar protokol bisa dibubarkan aparat, tetapi ada pula yang tidak.

Di Sulawesi Utara, tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur  Vonnie Anneke Panambunan-Hendry Runtuwene mendapat surat peringatan dari panitia pengawas Desa Wori, Kecamatan Wori, Minahasa Utara.

Anggota Bawaslu Minahasa Utara, Rahman Ismail, mengatakan, tim kampanye Vonnie dan Hendry melanggar protokol kesehatan karena mengumpulkan lebih dari 50 orang dan melampaui waktu kampanye sesuai izin yang diterbitkan. Panitia pengawas  memberikan surat peringatan dan rekomendasi kepada Polsek Wori untuk membubarkan kegiatan.

”Setelah satu jam surat keluar, pembubaran tak terjadi karena Polsek Wori tidak mau mengambil langkah. Namun, kami sudah menjalankan PKPU Nomor  13 Tahun 2020. Kami tidak bisa membubarkan karena kewenangan itu ada di kepolisian,” kata Rahman.

Ketua tim kampanye Vonnie-Hendry, Victor Mailangkay, tidak menjawab saat dihubungi via telepon. Melalui pesan teks, ia menyarankan untuk menghubungi sekretaris tim kampanye, Decky Senduk, tetapi tidak menyertakan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Di Jambi, Bawaslu Jambi menegur pasangan Al Haris dan Abdullah Sani karena menciptakan kerumunan massa menjelang kampanye. Ketua Bawaslu Provinsi Jambi Asnawi mengatakan,  dua kali pasangan calon itu didapati melakukan pertemuan yang menimbulkan kerumunan pada 24 dan 25 September di posko pemenangan pasangan calon.

Juru bicara tim sukses pasangan calon Al Haris dan Abdullah Sani, Musri Nauli, mengaku  masih mencari tahu pertemuan  yang dimaksudkan.

Di Pekalongan, Jawa Tengah, dua  pasangan calon  bupati dan wakil bupati, Asip Kholbihi dan Sumarwati serta Fadia A Rafiq dan Riswadi, mendapatkan surat peringatan dari Bawaslu setempat karena dianggap melanggar protokol kesehatan.

Asip membenarkan, pihaknya sempat mendapat peringatan akibat ada massa pendukung yang arak-arakan saat pengundian nomor urut.  ”Namun, itu murni inisiatif mereka, bukan kami yang mengerahkan. Karena bukan kami yang mengerahkan, untuk mencegahnya juga sulit,” ujar Asip.

Pertimbangkan perppu

Anggota Bawaslu RI, M Afifuddin, mengatakan, pihaknya tak bisa bertindak lebih  di luar sanksi yang  ditetapkan dalam PKPU. Karena itu, sanksi hanya sebatas memberikan peringatan. Untuk sanksi lebih dari itu,  diperlukan perppu.

Namun, lanjut Afifuddin, demi menjaga kepatuhan pada protokol kesehatan, melalui surat edaran  Bawaslu, pengawas hingga tingkat kecamatan telah diminta berkoordinasi dengan kepolisian atau TNI setempat. Temuan pelanggaran di lapangan langsung dilaporkan ke tingkat kabupaten. Apabila ditemukan sanksi pidana, itu jadi kewenangan kepolisian.

Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, menambahkan, ada dua cara penindakan. Pertama, polisi melalui ataupun tanpa melalui rekomendasi Bawaslu bisa membubarkan kerumunan.

”Jadi, yang perlu dicegah itu kerumunannya. Untuk menghindari kerumunan besar, kerumunan kecil bisa mulai dibubarkan. Seharusnya, itu bisa dilakukan kepolisian karena mereka ada di tingkat kecamatan,” kata Bagja.

Pola kedua, jika terjadi kerumunan besar, sanksi pidana harus ditegakkan, sesuai Undang-Undang Wabah Penyakit, UU Kekarantinaan Kesehatan, atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies Jakarta,  Arya Fernandes, mengatakan, pelanggaran terhadap protokol kesehatan akan terus muncul jika tidak terdapat aturan yang detail terkait proses penindakan pelanggaran di lapangan. Peraturan lembaga, melalui PKPU atau surat edaran Bawaslu, menurut dia, tak akan cukup menakuti pasangan calon. Sanksi yang diatur  tidak terlalu berpengaruh pada calon sehingga tak memberi efek jera.

Arya melihat, kejelasan koordinasi juga sangat dibutuhkan dalam penanganan tersebut, selain penegasan jenis pelanggaran dan sanksi. Hal itu, katanya, bisa diatur dalam perppu. Hal ini agar penyelenggara pemilu memiliki posisi yang kuat dalam penindakan.

Menurut Arya, masalah pilkada ini telah menjadi keprihatinan nasional. Pertama, pelanggaran protokol kesehatan terus terjadi. Kedua, komitmen kandidat dalam mematuhi aturan juga masih sangat lemah. Ketiga, potensi lempar tanggung jawab sangatlah besar.

Seharusnya, pengambil kebijakan cepat tanggap membaca situasi tersebut dengan mengeluarkan perppu. Jika ingin lebih cepat, menurut Arya, setidaknya ada keputusan bersama antara penyelenggara pemilu, kepolisian, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Ini pemerintah terkesan masih sangat lambat. Padahal, kita terus maju pilkada dengan dihantui virus. Kalau tidak ada kepastian soal garansi kesehatan kepada pemilih, dan pemilih melihat ternyata proses tahapan rentan pelanggaran protokol kesehatan atau tidak ada kepastian penindakan, mereka akan takut ikut kampanye, takut memilih karena khawatir tertular virus,” ucap Arya.

Sementara itu,  Pelaksana Harian Ketua KPU Ilham Saputra meyakini, sejak diterbitkan PKPU No 13/2020, lempar tanggung jawab antarsetiap instansi tak terjadi lagi. ”Bawaslu bisa memberikan rekomendasi sanksi. Dalam PKPU No 13/2020 juga disebutkan polisi punya kewenangan melakukan pembubaran jika dilaporkan sesuai aturan yang berlaku,” katanya.

Ilham berharap, pelaksanaan protokol kesehatan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab KPU, tetapi juga seluruh pemangku kepentingan di pilkada. Semua harus konsisten dengan kepatuhan tersebut.

Sudah mulai batasi

Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna termasuk salah satu dari 83 kepala daerah yang kembali mengikuti pilkada yang ditegur Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Dia melanggar protokol kesehatan dengan menggelar arakan massa sewaktu pendaftaran bakal pasangan calon.

Pradi menjelaskan, pihaknya sebenarnya sudah membatasi jumlah pendukung. Ketika perjalanan menuju kantor KPU, terdapat masyarakat yang turut berkerumun sehingga terlihat massa dalam jumlah banyak. Belajar dari hal ini, dia tidak lagi melakukan hal tersebut ketika pengambilan nomor urut.

“Kami cuma sembilan orang saja totalnya ketika pengambilan nomor urut,” ujarnya.

Pradi bersama tim sukses pun berkomitmen untuk mematuhi protokol kesehatan di saat kampanye. Dia selalu berkoordinasi dengan Satuan Tugas Covid-19 untuk memetakan wilayah rawan penularan. Bila di sebuah wilayah terdapat temuan kasus Covid-19 tinggi, dia dan tim tak akan menghadiri pertemuan langsung dengan warga.

Dia mengakui, aturan terkait kampanye di tengah Covid-19 memang tak leluasa dibanding situasi normal. Dia dan tim tak bisa lagi melibatkan massa besar. Di Pilkada 2015 lalu, dia dan tim bisa mengumpulkan orang sekecamatan dalam sebuah lapangan. Kegiatan kampanye bisa berbentuk lomba olahraga dan kegiatan budaya.

Kini, dia pun ikut beradaptasi. Dia memaksimalkan penggunaan internet. Dalam sehari, dia bisa dua hingga tiga kali melakukan pertemuan daring. Kemudian, dia hanya mengundang koordinator per wilayah saja dalam pertemuan terbatas.

“Kami juga gencar sosialisasi melalui media sosial,” katanya.

Tunda pilkada

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyebutkan, seharusnya pilkada ditunda karena pemerintah belum berhasil mengendalikan pandemi. Bahkan, saat ini, Indonesia masih berstatus bencana nasional dan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, menurut Pandu, jika pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan pilkada, maka status tersebut harus dicabut terlebih dahulu. Namun, itu pun menjadi ironis karena penularan akan semakin tak terkendali. Situasi akan semakin parah karena kapasitas pelayanan kesehatan saat ini sangat terbatas.

Apalagi, Pandu sangat menyayangkan masih banyak paslon yang melanggar protokol kesehatan. Ini, menurutnya, juga diakibatkan aturan penyelenggara pemilu yang terkesan mendadak sehingga tidak bisa menutup celah pelanggaran.

“Karena itulah, kita dalam status kedaruratan. Apakah cukup bijak, kita sebagai bangsa masih mau melanjutkan pilkada dengan manajemen tambal sulam? Dan inilah yang memprihatinkan. Jika pilkada diteruskan, kasus akan meningkat,” tutur Pandu.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia juga meminta agar pelaksanaan pilkada pada Desember ditunda hingga pandemi Covid-19 transmisinya melandai. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, disebutkan penundaan demi menjaga keselamatan jiwa manusia (hifzhu an-nafsi).

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2020 di halaman 1 dengan judul “Pelanggaran Protokol Kesehatan Kampanye Naik” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/01/pelanggaran-protokol-kesehatan-kampanye-naik/